Sabtu, 04 Januari 2014

PRESPEKTIF PENYELESAIAN PERKARA EKONOMI SYARI’AH DI PERADILAN AGAMA

PENGANTAR

A.    Latar Belakang


Hukum sebagia sub sistem sosial, sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence M. Friedmann, tersusun atas tiga komponen penting, yaitu substansi, struktur, dan kultur hukum. Substansi hukum berbentuk aturan hukum, yang dengannya relasi antara subyek hukum diatur. Struktur hukum merupakan lembaga yang membuat, mengelola, dan menegakan hukum. Sedangkan kultur hukum adalah sikap, prilaku dan respon dari subyek hukum yang diharapkan melaksanakan substansi hukum.
Substansi hukum suatu bangsa, harus mencerminkan bangsa itu sendiri. Begitu juga yang seharusnya terjadi di Indonesia. Seharusnya substansi hukum di Indonesisa mencermikan nilai moral dan falsafah mayoritas bangsa Indonesia, yaitu Islam. Karena fakta historis menjelaskan hukum Islam bahkan termasuk aspek pidananya pernah berlaku di Nusantara sampai datangnya penjajahan Belanda. Demikian juga, pasal 29 UUD 1945, menjadi landasan konstitusional bagi keberlakuan hukum Islam Indonesia, sebagai hukum nasional, meskipun hanya mengikat umat Islam saja.[1]
Dalam hukum perdata penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui jalur litigasi dan non litigasi. Penyelesaian sengketa melalui ligitasi yaitu penyelesaian perkara melalui badan peradilan. Sedangkan penyelesaian sengketa non litigasi yaitu penyelesaian perkara perdata yang diluar peradilan bisa dengan cara perdamain atau arbitrase.[2]
Dewasa ini pertumbuhan ekonomi syari’ah di Indonesia begitu pesat, khususnya dalam bidang perbankan dan lembaga keuangan lainnya yang berlandaskan  syari’ah. Berdirinya lembaga-lembaga perekonomian syari’ah tentunya sekaligus akan membuka kemungkinan terjadinya perselisiahan di antara para pihak.[3] Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) merupakan produk legislasi yang pertama kali memberikan kompetensi kepada peradilan agama dalam penyelesaian perkara ekonomi syariah. Kemudian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UUPS) diberlakukan untuk memperteguh kompetensi peradilan agama dalam menangani perkara ekonomi syariah, khususnya perbankan syariah.Berdasarkan UUPA dan UUPS  tersebut, semestinya peradilan agama sudah secara praktis memiliki kompetensi dalam menangani perkara ekonomi syariah.[4]

B.     Rumusan Masalah


Dari latar belakang  pada makalah ini, pemakalah akan merumuskan masalah yang dianggap pemakalah perlu untuk di rumuskan menjadi sebuah rumusan masalah sebagai berikut
1.      Apakah kompetensi Peradilan Agama di Indonesia?
2.      Bagaimna prespektif penyelesaian perkara ekonomi syari’ah di Peradilan Agama?

C.    Tujuan Penulisan


1.      Untuk mengetahui kompetensi Peradilan Agama di Indonesia
2.      Guna mengetahui prespektif penyelesaian perkara ekonomi syari’ah di Peradilan Agama


D.     Pembahasan

1.      Kompetensi Peradilan Agama di Indonesia  

Peradilan islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan “Peradilan Agama” telah ada di berbagai tempat di Nusantara, jauh sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan menurut pakar sejarah peradilan, Peradilan Agama sudah ada sejak abad ke-16. Dalam sejarah, tanggal 19 Januari 1882 ditetapkan sebagai hari jadinya, yaitu bersamaan dengan diundangkannya ordonantie Stbl. 1882-152, tentang Peradilan Agama di pulau Jawa dan Madura.[5]

Kompetensi Peradilan Agama telah mengalami dinamika yang cukup pelik serta mengarah pada pasang surut. Kendati tidak sampai dihapuskan, namun lingkup kompetensi peradilan agama kerap dibatasi pada perkara keperdataan tertentu. Kenyataan ini sesungguhnya tidak terlepas dari kehendak politik (political will) para penguasa pada masanya yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh penguasa bersangkutan. Takdapat dipungkiri bahwa faktor dinamika politik hukum dan kehendak politik (political will) penguasa dari masa ke masa telah menggoreskan catatan penting dalam dinamika peradilan agama di Nusantara, yang dalam kenyataannya tidak selalu berada dalam perjalanan yang relatif mulus.
Kompetensi Peradilan Agama pada dasarnya sangat terpaut erat dengan pelaksanaan hukum Islam sebagai hukum yang hidup di masyarakat (living law). Sekalipun demikian, sejak munculnya teori receptie produk Christian Snouck Hurgronje, kompetensi peradilan agama pernah dibatasi, tidak lagi menangani masalah waris karena dianggap belum menjadi hukum adat. Berdasarkan pengaruh teori ini, kompetensi peradilan agama hanya diperkenankan untuk menangani masalah perceraian, nafkah, talaq, dan rujuk.
Perubahan kompetensi mulai nampak dalam UU No. 1 Tahun 1974, yang meliputi perceraian, penentuan keabsahan anak, perwalian, penetapan asal usul anak, dan izin menikah. Tidak sebatas itu, kompetensi peradilan agama juga bertambah ketika keluar PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, terutama dalam ketentuan Pasal 12.[6] Bahkan pada tahun 1989, kompetensi Peradilan Agama disebutkan dalam pasal 49 Nomer 7 tahun 1989. Bahwasanya, Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah.[7]
Setelah di sahkannya Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang nomer 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kekuasaan atau kewenangan pengadilan agama diperluas, yang tidak hanya menyangkut perkara perdata (hukum perkawinan, hukum kewarisan, wasiat dan hibah, serta hukum perwakafan, zakat, infaq, dan shadaqah), tetapi juga meliputi bidang ekonomi syariah.[8] ArtinyaUndang-Undang No3 Tahun 2006 ini menegaskan secara eksplisit bahwa masalah ekonomi syariah telah menjadi kompetensi absolut peradilan agama. Dalam skala yang lebih luas, perluasan kompetensi peradilan agama sebagaimana diatur dalam undang-undangtersebut merupakan respon terhadap perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Muslim.

2.      Prespektif penyelesaian perkara ekonomi syari’ah di Peradilan Agama
Kewenangan mengadili sengketa dibidang ekonomi syari’ah merupakan wewenang peradilan agama melalui undang-undang no 3 tahun 2006, maka Peradilan Agama menjadi perangkat hukum bagi pelaksanaan ekonomi syari’ah. Artinya setiap terjadi sengketa ekonomi syari’ah, penyelesaianya melalui peradilan agama. Untuk dapat menyelesaikan suatu sengketa, peradilan agama akan melakukan kegiatan menerima perkara, memeriksa perkara, dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Sebagia perangkat hukum ekonomi syari’ah, kegiatan terpeenting peradilan agama adalah mengadili yakni memberi keadilan pada pihak-pihak yang bersengketa. Dalam memberikan keadilan peradilan agama akan mencari hukum atas peristiwa yang disengketakan melaluai berbagai sumber hukum, seperti hukum tertulis, yurispudensi, kebiasaan, perjanjian, dan ilmu pengetahuan atau doktrin hukum.
Secara konstitusional, dasar hukum ekonomi syariah berpijak pada Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi, bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa; dan (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan hukum formal yang mengatur pelaksanaan kegiatan ekonomi syariah di Indonesia adalah segala ketentuan yang telah melalui proses positivisasi oleh negara. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sebagai konsekuensi logis dari koherensi al-Qur’an dan Sunah sebagai satu bentuk konsistensi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945, maka: (1) sistem ekonomi syariah sebagai bagian utuh dalam totalitas sistem hukum ekonomi Indonesia kontemporer, sumber hukum dasarnya secara legal formal mencakup Pancasila, sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai sumber hukum dasar, dan UUD 1945,merupakan sumber hukum dasar tertulis; (2) sistem ekonomi sebagai satu sub-sistem hukum muamalah Islam yang didasarkan pada ketentuan normatif al-Qur’an dan Sunah sebagai sumber hukum fundamental yang utama dan pertama, pada hakikatnya merupakan konsistensi dan perwujudan nyata dari hakikat Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945.
Dengan demikian, sumber hukum dasar tertulis sebagai sandaran ekonomi syariah paling utama dan pertama dalam sistem hukum Indonesia kontemporer adalah ketentuan Pasal 29 UUD 1945. Adapun sandaran sumber hukum tertulis paling utama dan pertama dalam konteks sistem hukum ekonomi saat ini, tentu saja ketentuan UU No. 10 Tahun 1998, dengan segala produk peraturan pelaksanaannya berupa PP, PBI atau KBI dan lain sebagainya. Sandaran sumber hukum tertulis berupa PBI atau KBI ini, selain didasarkan pada ketentuan langsung UU No. 10 Tahun 1998, juga telah diperkuat oleh ketentuan Pasal 4 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000. Sedangkan sumber hukum tertulis dalam bentuk produk PP yang berlaku sebelum diundangkannya UU No. 10 Tahun 1998, dan secara langsung menjadi sandaran sistem operasional kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah, antara lain berupa PP No. 72 Tahun 1992. Selain itu, tentu saja segala produk peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai sumber hukum tertulis, baik yang secara langsung ataupun tidak langsung terkait dengan operasional kegiatan usaha ekonomi, juga dapat menjadi sumber hukum tertulis bagi sistem operasional ekonomi syariah, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip hukum syariah Islam. Dalam hal ini, fatwa DSN dapat dikategorikan sebagai sumber yang bersifat hukum dan menjadi sumber hukum tertulis.[9]
Setelah Peraturan Mahkamah Agung no 2 tahun 2008 disahkan maka, sumber hukum bagi peradilan agama untuk mengadili dan menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah adalah menggunakan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES). Berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam, KHES diberlakukan sebagai hukum terapan di peradilan agama melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) no 2 tahun 2008. KHES merupakan kompilasi hukum ekonomi yang dinukilkan dari sumber klasik hukum Islam (fiqh) yang dipadu dengan perkembangan hukum dan praktek bisnis modern, serta disusun dengan mengadopsi sistematika KUH perdata. KHES terdiri atas empat buku dan 1852 pasal, buku I mengatur tentang subyek hukum dan harta. Buku II mengatur tentang akad mulai dari asas-asas akad, akad yang dikenal dalam fiqh sampai akad multi jasa dan pembiayaan rekening Koran syari’ah. Buku III mengatur zakat dan hibah, dan buku IV mengatur akuntansi syari’ah yang meliputi antara lain akuntansi piutang, akuntansi pembiayaan, investasi dan akuntansi equitas. Meskipun masih banyak kekurangannya KHES dianggap cukup memadai sebagai hukum materii (terapan) untuk mengantisipasi sengketa ekonomi syari’ah yang diajukan ke peradilan agama.[10]



E.     Kesimpulan


Dari pembahasan makalah ini, pemakalah akan menyimpulkan isi makalah ini sebagai berikut
1.      Sebelum di sahkanya Undang-Undang No 3 tahun 2006 yang mengubah pasal 49 Undang-undang No 7 tahun 1989 tentang kompetensi peradilan agama, yang mana kompetensi peradilan agama yang semula hanya berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang meliputi: perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah, wakaf dan sadaqah. Setelah di sahkanya undang-undang No 3 tahun 2006 maka kompetensi peradialan agama menjadi diperluas dengan di tambahkannya ekonomi syari’ah di dalam kompetensi absolut peradilan agama.
2.      Perkara ekonomi syari’ah jelas menjadi wewenang Peradilan Agama, karena sudah jelas bahwa kompetensi peradilan agama lah yang mempunyai hak untuk mengadili perkara ekonomi syari’ah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang No 3 tahun 2006, juga diperkuat dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) no 2 tahun 2008 tentang  Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah yang menjadi hukum materiil ekonomi syari’ah bagi Peradilan Agama.



Daftar Pustaka



Lubis, Suharwadi K. 2000.“Hukum Ekonomi Islam”, Jakarta: Sinar Grafika

Rivai Veithzal dkk. 2009, “Ekonomi Syari’h, konsep praktek dan penguatan kelembagaannya”, Semarang: Pustaka Rizki Putra

Rosid, Roihan, 2010, “Hukum Acara Peradilan Agama”, Jakarta: Rajawali Pers

Usman, Rachmadi, 2009,”Produk dan Akad Perbankan Syariah di Indonesia”, Bandung: PT Citra Aditya Bakti
Wirdiyaningsih, SH., MH.,et.al, 2005,”Bank dan Asuransi Islam di Indonesisa” Jakarta: Kencana



[1] Rivai Veithzal dkk. 2009, “Ekonomi Syari’h, konsep praktek dan penguatan kelembagaannya”, Semarang: Pustaka Rizki Putra
[2] Usman, Rachmadi, 2009,”Produk dan Akad Perbankan Syariah di Indonesia”, Bandung: PT Citra Aditya Bakti
[3] Lubis, Suharwadi K. 2000.“Hukum Ekonomi Islam”, Jakarta: Sinar Grafika
[4] http://asosperkawinan.blogspot.com/2013/04/kompetensi-peradilan-agama-dalam.html
[5] Rosid, Roihan, 2010, “Hukum Acara Peradilan Agama”, Jakarta: Rajawali Pers
[6] http://asosperkawinan.blogspot.com/2013/04/kompetensi-peradilan-agama-dalam.html
[7] Rosid, Roihan, 2010, “Hukum Acara Peradilan Agama”, Jakarta: Rajawali Pers
[8] Usman, Rachmadi, 2009,”Produk dan Akad Perbankan Syariah di Indonesia”, Bandung: PT Citra Aditya Bakti
[9] http://asosperkawinan.blogspot.com/2013/04/kompetensi-peradilan-agama-dalam.html
[10] Rivai Veithzal dkk. 2009, “Ekonomi Syari’h, konsep praktek dan penguatan kelembagaannya”, Semarang: Pustaka Rizki Putra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar