Kamis, 28 November 2013

BANK DAN RIBA


A.    Pendahuluan


Latar Belakang
Dewasa ini, Bank sudah tak asing lagi bagi semua masyarakat, karena seluruh masyarakat telah mengenalnya. Istilah Bank berasal dari bahasa Italia yaitu banko. Pada awalnya merupakan kegiatan para penukar uang (money-changer) di pelabuhan-pelabuhan, yang banyak kelasi kapal dan para wisatawan yang datang dan pergi. Mulanya kegiatan itu dilakukan dengan cara meletakan uang penukar diatas meja ditempat-tempat umum. Meja tempat meletakkan uang itulah yang disebut banko.
Dengan demikian, istilah bank merupakan pengembangan lebih lanjut dari istilaah banko, yang sebenarnya dimaksudkan sebagai simbol bagi alat penukaran.
Menurut Undang-undang Nomer 7 Tahun 1992 tetang perbankan yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka mengangkat taraf hidup rakyat banyak (Pasal 1 angka 1).[1]
Larangan riba dalam al-Qur’an diturunkan secara bertahap, hal ini memang salah satu karakteristik al-Qur’an dalam memberlakukan hukum, adalah menggunakan pendekatan berangsur-angsur atau bertahap (at-tadrij fi at-tasyri’). Ayat al-Qur’an tentang pelarangan riba dimaksud adalah surat ar-Rum:39, surat an-Nisa:160-161, surat Ali ‘Imran:130, dan surat al-Baqarah:275-280. Urutan ayat al-Qur’an tetang pelarangan riba tersebut mengacu tafsir al-Maragi dan as-sabuni. (Shihab, 1992:260). Riba yang dibicarakan dalam surat ar-Rum, pelarangannya belum sekeras larangan riba di ayat lain.
Shihab, setelah mnguraikan panjang lebar tentang pengertian yang terkandung dalam ayat-ayat riba, menarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan riba adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah hutang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan (Shihab, 1992:267).[2]
Makalah ini akan membahas tetang seluk-beluk  berdirinya Bank, pembagian Bank, riba dan hukum riba. Karena tidak dapat kita pungkiri bahwa sanya masyarakat Indonesia masih tergantung pada bank-bank yang mengusung konsep riba (bunga). Dari sinilah kami tertarik untuk menyusun makalah yang berjudul Bank dan Riba.

B.     Pokok  masalah


Dari latar belakang yang ada pada makalah ini, bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana masyarakat serta mendistribusikan dana kepada badan usaha atau masyarakt. Sedangkan riba sendiri yaitu  kelebihan yang dipungut bersama jumlah hutang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan  dapat di tarik akar pokok masalahnya yaitu: 
1)      Sejak kapan berdirinya bank ?
2)      Bagaimana jenis dan sistem pengelolaan bank ?
3)      Bagaimana hukum bermuamalah dengan bank konvensional?
4)      Apa Pengertian riba menurut para ulama ?
5)      Apakah hukum riba itu ?

C.    Tujuan penulisan


1)      Untuk mengetahui sejarah berdirinya Bank
2)      Mengerti jenis atau sistem pengelolaan Bank
3)      Guna mengetahui bagaimana hukum bermuamalah dengan bank konvensional
4)      Agar dapat memahami pengrtian Riba secara mendalam
5)      Untuk lebih paham tetang hukum Riba

D.    pembahasan


1.      Sejarah Berdirinya Bank
Istilah Bank berasal dari bahasa Italia yaitu banko. Pada awalnya merupakan kegiatan para penukar uang (money-changer) di pelabuhan-pelabuhan, yang banyak kelasi kapal dan para wisatawan yang datang dan pergi. Mulanya kegiatan itu dilakukan dengan cara meletakan uang penukar diatas meja ditempat-tempat umum. Meja tempat meletakkan uang itulah yang disebut banko.
Sedangkan menyangkut proses kelahiran bank. Pada awalnya merupakan wujud dari perkembangan cara penyimpanan harta benda. Para saudagar khawatir membawa perhiasan dan barang berharga lainnya dari kejaran pencuri. Dari keadaan seperti itulah kemudian berkembanglah bank sebagaimana dewasa ini.
Bank pertama kali berdiri pada awal abad ke 14 dikota dagang Venesia dan Genoa di Italia. Dari kedua kota itu kemudian sistem bank menjalar ke Eropa Barat, dan kemudian pada tahun 1696 di Inggris berdiri pula sebuah bank yang bernama Bank Of  England.
Sedangkan di Indonesia, bank pertama kali didirikan pada tahun 1824. Ketika itu pemerintah Hindia Belanda mendirikan sebuah bank yang diberi nama Handel maatschappij (NHM), yang dewasa ini dikenal dengan nama Bank Ekspor Impor Indonesia (BEI). Kemudian pada tahun 1827 pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan De Javasche Bank sekarang dikenal dengan nama Bank Indonesia dan NV Escompto Bank cikal bakal bank swasta, yang sekarang ini dikenal dengan nama Bank Dagang Negara.[3]
2.      Jenis Dan Sistem Pengelolaan Bank
Dilihat dari segi jenis atau sistem pengelolaannya, bank dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu bank konvensional dan bank Islam (syari’ah)
a)      Bank Konvensional
Bank konvensional yaitu sebuah lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan dana, baik perorangan atau badan usaha guna investasi dalam usaha-usaha yang produktif dan lain-lain dengan sistem bunga. Sistem bunga merupakan sistem yang pergunakan oleh bank konvensional. Di Indonesia, ia merupakan satu-satunya sistem yang menjadi landasan kegiatan usaha perbankan dan berlangsung sampai tahun 1992 atau sampai ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. UU menyebutkan dua pilihan dalam mengembalikan kredit; dengan bunga atau dengan imbalan pembagian hasil keuntungan.  Bunga merupakan ciri khas dari perbankan konvensional yang berdasarkan sistem ekonomi kapitalis dan dinilai sebagai kunci untuk keberhasilan usaha perbankan.[4] 
b)      Bank Islam (Syari’ah)
Bank Islam, ialah sebuah lembaga keuangan yang menjalankan operasinya menurut hukum syariat Islam. Sudah tentu Bank Islam tidak memakai sistem bunga, sebab bunga dilarang oleh Islam. Sebagai pengganti sistem bunga, Bank Islam menggunakan berbagai cara yang bersih dari unsur riba, antara lain ialah sebagai berikut:
                                  i.            Wadiah (titipan uang, barang dan surat berharga atau deposito). Bisa diterapkan Bank Islam dalam operasinya menghimpun dana dari masyarakat, dengan cara menerima deposito berupa uang, barang dan surat-surat berharga sebagai amanat yang wajib dijaga keselamatannya oleh Bank Islam. Bank berhak menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus membayar imbalannya (rente/riba), tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu pada waktu pemiliknya (depositor) memerlukannya
                                ii.            Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dengan pelaksana atas dasar perjanjian profit and loss sharing). Dengan mudharabah ini, bank islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya dengan perjanjian bagi hasil dan rugi yang perbandingannya sesuai dengan perjanjian, misalnya fifty-fifty. Dalam mudharabah ini, bank tidak mencampuri manajemen perusahaan
                              iii.            Musyarakah/syirkah (persekutuan). Dibawah kerja sama musyarakah/syirkah ini, pihak dan pihak pengusaha sama-sama mempunyai andil (saham) pada usaha patungan (join venture). Karena itu, kedua pihak berpartisipasi mengelola usaha patungan ini dan menanggung untung ruginya bersana atas dasar perjanjian profit and loss sharing (PLS agreement)
                              iv.            Murabahah (jual beli barang dengan tambahan harga atau cost plus atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur). Dengan murabahah ini, orang pada hakikatnya ingin merubah bentuk bisnisnya dari kegiatan pinjam meminjam menjadi transaksi jual beli (lending activity menjadi sale and purchase transaction). Dengan system murabahah ini, bank bisa membelikan/menyediakan barang-barang yang diperlukan oleh pengusaha untuk dijual lagi, dan bank minta tambahan harga (cost plus) atas harga pembelinya. Syarat bisnis dengan murabahah ini ialah si pemilik barang, dalam hal ini bank harus memberi informasi yang sebenarnya kepada pembeli tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersihnya (profit margin) dari pada cost plus-nya itu
                                v.            Qard Hasan (pinjaman yang baik atau benefolent loan). Bank Islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga (benefolent loan) kepada para nasabah yang baik, terutama nasabah yang punya deposito di Bank Islam itu sebagai salah satu service dan penghargaan bank kepada para deposan, karena deposan tidak menerima bunga atas depositonya dari bank Islam.

3.      Hukum Bermuamalah Dengan Bank Konvensional

 

Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat Islam hampir tidak bisa menghindari diri dari bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai system bunga itu dalam segala aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misalnya ibadah haji di Indonesia umat Islam harus memakai jasa bank, apalagi dalam kehidupan ekonomi tidak  bisa lepas dari jasa bank. Sebab tanpa jasa bank, perekonomian Indonesia tidak selancar dan semaju seperti sekarang ini. Namun para ulama dan cendekiawan Muslim hingga kini masih tetap berbeda pendapat tentang hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga bank.
Perbedaan pendapat mereka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    Pendapat Abu Zahrah, Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Cairo, Abul A’la al-Maududi (Pakistan), Muhammad Abdullah al-A’rabi, Penasihat Hukum pada Islamic Congress Cairo dan lain-lain yang menyatakan bahwa bunga bank itu riba nasiah, yang dilarang oleh Islam. Karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai system bunga, kecuali kalau dalam keadaan darurat atau terpaksa. Dan mereka mengharapkan lahirnya bank Islam yang tidak pakai system bunga sama sekali
2.    Pendapat A. Hasan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persia) yang menerangkan bahwa bunga bank seperti di Negara kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana dinyatakan dalam Qs. Al-Imran:130
3.    Pendapat Majelis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo Jawa Timur tahun 1968 yang memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank negara kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya, adalah termasuk syubhat atau mutasyabihat, artinya belum jelas halal/haramnya. Maka sesuai dengan petunjuk hadits, kita harus berhati-hati menghadapi masalah-masalah yang masih syubhat itu. Karena itu, jika kita dalam keadaan terpaksa atau kita dalam keadaan hajah, artinya keperluan yang mendesak/penting, barulah diperbolehkan bermuamalah dengan bank dengan system bunganya itu sekadarnya saja.

Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa’, Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata Universitas Syiria, bahwa sistem perbankan yang kita terima selama ini, sebagai realitas yang tak dapat kita hindari. Karena itu umat Islam boleh bermuamalah dengan bank konvensional itu atas pertimbangan dalam keadaan darurat dan bersifat sementara. Sebab umat Islam harus berusaha mencari jalan keluar dengan mendirikan bank tanpa sistem bunga, demi menyelamatkan umat Islam dari cengkeraman bank bunga (conventional bank). [5]


4.      Riba Menurut Para Ulama
Al-Qur’an dan Hadis menggunakan istilah ‘riba’ yang oleh para ahli diterjemahkan sebagai ‘bunga’. Kita tidak menjumpai definisi bagi istilah tersebut baik di dalam Al-Qur’an maupun didalam Hadis Nabi SAW. Oleh karena itu, yang paling baik kita lakukan adalah mengutip pandangan para ahli tafsir Al-Qur’an dan para fuqaha Islam yang menerangkan arti dan hakikat riba. Diantaranya yaitu :
a.       Menurut Muhammad Asad
Dalam pengertian terminologi yang umum, istilah tersebut bermakna “tambahan” kepada atau “kenaikan” dari sesuatu melebihi dan di atas jumlah atau ukurannya yang asal. Didalam terminologi Al-Qur’an, istilah itu menunjukan tambahan haram apa pun, melalui bunga, terhadap sejumlah uang  atau barang yang dipinjamkan oleh seseorang atau lembaga kepada orang atau lembaga lain. 
b.      Menurut Syeh Abu A’la al-Maududi
Kata Arab ‘riba secara literal, berarti “peningkatan atas”, atau “tambahan untuk” apa pun juga. Secara teknis, istilah itu digunakan untuk menyebut sejumlah tambahan yang dikenakan oleh kreditor kepada debitor secara tetap pada pokok utang yang ia pinjamkan, yakni bunga.
c.       Menurut Afzalur Rahman
Afzalur Rahman menerangkan arti riba secara rinci berdasarkan beberapa pendapat fuqaha Islam klasik sebagai berikut:
Al-Qur’an menggunakan kata riba untuk bunga. Menurut kamus, arti riba adalah kelebihan atau peningkatan atau surplus, tetapi, dalam ilmu ekonomi, kata itu berarti surplus pendapatan yang didapat oleh pemberi utang dari pengutang, lebih tinggi dan diatas jumlah pokok utang.
Riba didalam Islam, secara khusus menunjuk pada kelebihan yang dituntut dengan suatu cara tertentu.[6]

d.      Menurut Qurais Shihab
 Bahwa yang dimaksud deangan riba adalah kelebihan yang dipungut bersama   jumlah hutang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan.[7]

5.      Hukum Riba Dalam Al-Qur’an Dan Assunnah

Riba (usury atau interest, bhs. Inggris) yang berasal dari bahasa Arab, artinya tambahan (ziyadah, Arab/addition, Inggris), yang berarti: tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman.
Ada yang membedakan antara riba dan renta/bunga seperti Mohammad Hatta, mantan Wakil Presiden RI, bahwa riba adalah untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedang rente/riba untuk pinjaman yang bersifat produktif. Demikian pula istilah usuary dan interest, bahwa usuary ialah bunga pinjaman yang sangat tinggi, sehingga melampaui suku bunga yang diperbolehkan oleh hukum. Sedangkan interest ialah bunga pinjaman yang relative rendah.
Semua agama samawi (reveled religion) melarang praktik riba, karena dapat menimbulkan dampak bagi masyarakat pada umumnya dan bagi mereka yang terlibat riba pada khususnya. (footnote)
Dalil dari Al-Qur`an di antaranya adalah:
3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)

Ayat inilah yang menjadi hukum mengenai status riba. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Juga dalam firman-Nya: 
  

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (Al-Baqarah: 278-279)

Nabi muhammad SAW bersabda dalam sebuah hadisnya yang diriwayatkan dari jabir :

ل
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
 
dari Jabir dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat pemakan riba, orang yang menyuruh makan riba, juru tulisnya dan saksi-saksinya." Dia berkata, "Mereka semua sama."
 
Dari ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW jelaslah bahwa sanya bunga/riba itu hukumnya haram.[8]

Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Bunga  

setelah MUI menimbang, mengingat dan memperhatikan kemudian memutuskan bahwa hukum bunga itu haram. Seperti pada praktik pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktik pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya. Praktik penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Koperasi dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Selain itu pula dikalangan organisasi Islam di Indonesia dan para cendikiawan nusantara terdapat perbedaan pendapat, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.    Keputusan Muktamar Tarjeh Muhammadiyah Tahun 1989 di Malang
Dari lembaga ini menyatakan bahwa ilat keharaman riba itu adalah ekploitasi pihak pemodal (bank) terhadap yang lemah. Sebagaimana keputusan muktamar lembaga tersebut bahwa bunga bank itu bersifat musytabihah (meragukan), apabila banknya adalah bank swasta, bahkan cenderung mengharamkan bunga bank swasta. Berbeda dengan bunga bank pemerintah yang bunga dari peminjam digunakan untuk kemaslahatan bersama bangsa Indonesia. Namun hal itu dibantah oleh Kasman Singodimedjo, bahwa menurutnya berdasarkan Konsideran Keputusan Tarjeh Muhammadiyah tersebut dengan ilat zalim, sebenarnya juga tidak dijumpai dalam bank swasta, maka keduanya semestinya dihalalkan, asal tidak ada unsur penganiayaan atau penindasan.
b.    Keputusan Lajnah Bahsul Masail Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung
Keputusan Lajnah Bahsul Masail yang dilaksanakan di Bandar Lampung, para musyawirin masih berbeda pendapat tentang hukum bunga
bank konvensional, yaitu dapat disimpulkan antar lain:
1.     Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingganya hukumnya haram.
2.    Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga           hukumnnya boleh.
3.    Ada pendapat yang menyatakan hukumnya syubhat (tidak identik dengan haram)
Maka dari berbagai pendapat dikalangan Nahdlatul Ulama, Lajnah memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih berhati-hati adalah yakni menyebut bunga bank adalah haram. Namun, pada akhirnya dikalangan Nahdlatul Ulama Indonesia, mereka telah menyepakati bahwa bunga bank tidak termasuk riba yang diharamkan, baik bunga bank yang terdapat pada bank pemerintah maupun pada bank swasta.
c.   Pendapat Cendikiawan Nusantara yaitu:
1.      Ahmad Hassan (Tokoh Persis)
Menurutnya bahwa bunga bank yang ada di Indonesia, tidak termasuk riba yang diharamkan Al-Qur'an, karena unsur penganiayaan tidak ada.
2.      Angku Mudo Abdul Hamid Hakim (Tokoh Pembaharu Dari Sumatra Barat)
Menurut beliau bahwa bunga bank itu termasuk kepada kategori riba fadl, dan diperbolehkan apabila dalam keadaan darurat. Karena menurutnya, riba fadl merupakan jalan kepada riba an-Nasi'ah. Oleh sebab itu keharaman riba fadl lebih bersiafat preventif dan dibolehkan apabila darurat atau kebutuhan mendesak; sesuai dengan kaidah fikih yang mengatakan "darurat itu membolehkan yang dilarang" dan " kebutuhan mendesak dapat menempati posisi darurat".
3.       Syarifuddin Prawiranegara (Tokoh Masyumi)
Beliau menyatakan bahwa bunga bank tidak termasuk riba, karena pada dasarnaya bunga bank adalah jasa yang dikeluarkan atau dipungut dari dan untuk pembiayaan
administrasi dari bank tersebut. (dikas)

E.     Kesimpulan

 Dari pembahasan diatas dapat kiranya penyusun menyimpulkan beberapa hal mengenai Bank dan Riba. Adapun hal-hal tersebut sebagai berikut:
a.     Bank pertama kali berdiri pada awal abad ke 14 dikota dagang Venesia dan Genoa di Italia. Sedangkan di Indonesia, bank pertama kali didirikan pada tahun 1824. Oleh pemerintah Hindia Belanda mendirikan sebuah Bank yang diberi nama Handel maatschappij (NHM).
b.      Bank dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu bank konvensional dan bank Islam (syari’ah). Bank Islam menggunakan beberapa cara yang bersih dari unsur riba, antara lain ialah: wadiah, mudharabah, musyarakah/syirkah, murabahah dan qard hasan.
c.       Diantara para ulama dan cendekiawan Muslim  masih terdapat perbedaan pendapat tentang hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga bank. Seperti Abu Zahrah dan Majelis Tarjih Muhammadiyah melarang umat Islam bermuamalah dengan bank yang memakai system bunga, karena menurutnya bunga bank termasuk riba nasiah, yang dilarang oleh Islam. Tetapi,  A Hasan dan Mustafa A Zarqa, memperbolehkan umat Islam untuk bermuamalah dengan bank konvensional dengan pertimbangan dalam keadaan darurat dan bersifat sementara.
d.      Riba yaitu tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. Berdasarkan fatwa MUI bahwa hukum riba (bunga bank) itu haram.



Daftar Pustaka

Thamrin Abdullah, Francis Tantri.2012 ” bank dan lembaga keuangan,” Jakarta rajawali pers
Zuhdi, M. 1994.“Masail Fiqhiyah”, Jakarta: Haji Masagung
Didik Ahmad Supadie, 2013. Sistem Lembaga Keuangan Ekonomi Syari’ah Dalam Pemberdayaan Ekonimi Rakyat, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra
Lubis, Suharwadi K. 2000.“Hukum Ekonomi Islam”, Jakarta: Sinar Grafika
Syarif, Muhammad Chaudhry. Penerjemah, Suherman Rosyidi 2012, Sistem Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana Perdana


[1]  Lubis, Suharwadi K. 2000.“Hukum Ekonomi Islam”, Jakarta: Sinar Grafika
[2] Didik Ahmad Supadie, 2013. Sistem Lembaga Keuangan Ekonomi Syari’ah Dalam Pemberdayaan Ekonimi Rakyat, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra
[3] Lubis, Suharwadi K. 2000.“Hukum Ekonomi Islam”, Jakarta: Sinar Grafika
[4] Atang Abd. Hakim. 2011, Fiqih Perbankan Syari’ah, Bandung: PT Rafika Aditama
[5] Zuhdi, M. 1994.“Masail Fiqhiyah”, Jakarta: Haji Masagung
[6] Syarif, Muhammad Chaudhry. Penerjemah, Suherman Rosyidi 2012, Sistem Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana Perdana Media Group
[7] Didik Ahmad Supadie, 2013. Sistem Lembaga Keuangan Ekonomi Syari’ah Dalam Pemberdayaan Ekonimi Rakyat, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra

[8] Syarif, Muhammad Chaudhry. Penerjemah, Suherman Rosyidi 2012, Sistem Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana Perdana Media Group

Tidak ada komentar:

Posting Komentar