Bab I
pendahuluan
A.
Latarbelakang
Buku
II KUH Pdt atau BW terdari dari suatu bagian umum dan bagian khusus. Bagian
umum bab I sampai dengan bab IV, memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi
perikatan pada umumnya, misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya
perikatan, macam-macam perikatan dan sebagainya. Buku III KUH Pdt menganut azas
“kebebasan berkontrak” dalam membuat perjanjian, asal tidak melanggar ketentuan
apa saja, asal tidak melanggar ketentuan Undang-Undang, ketertiban umum dan
kesusilaan. Azas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 KUH Pdt yang menyatakan
bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-Undang
bagi mereka yang membuatnya. Yang
dimaksud dengan pasal ini adalah bahwa semua perjanjian “mengikat” kedua belah
pihak.
Terjadinya prestasi,
wanprestasi, overmacht dan somasi, dikarenakan hukum perikatan menurut Buku III
B.W ialah: suatu hubungan hukum
(mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang
satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang lainnya
ini diwajibkan untuk memenuhi tuntutan
itu. Oleh karena sifat hukum yang termuat dalam Buku III itu selalu berupa
suatu tuntut-menuntut maka Buku III juga dinamakan hukum perhutangan. Pihak
yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur” sedangkan pihak
yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Adapun
barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi” yang menurut
undang-undang dapat berupa : 1. Menyerahkan suatu barang. 2. Melakukan suatu
perbuatan. 3. Tidak melakukan suatu perbuatan.
B.
Tujuan Makalah.
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas yang di berikan dosen mata kuliah Hukum perdata
II (Hukum perikatan atau perjanjian). Dalam makalah ini, kami ingin memperjelas
apa itu yang disebut Prestasi, Wanprestasi, Risiko, Overmach, dan Somasi yang
mana istilah-istilah ini muncul karena suatu perjanjian antara dua orang atau
lebih yang biasa di kenal dengan istilah hukum perikatan atau hukum perjanjian.
Dalam beberapa leteratur ditemukan pengertian-pengertian yang sudah kami
sebutkan, dengan leteratur inilah kami merujuk untuk penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini bisa membantu kita memahami istilah-istilah yang ada dalam
hukum perikatan.
Bab II
Pembahasan
A.
Prestasi
Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan
adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak
berbuat sesuatu”. Kemudian Pasal 1235 KUHPerdata menyebutkan: “Dalam tiap-tiap
perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk
menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang
bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan
Dari pasal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa
dalam suatu perikatan, pengertian “memberi sesuatu” mencakup pula kewajiban
untuk menyerahkan barangnya dan untuk memeliharanya hingga waktu penyerahannya.
Istilah “memberikan sesuatu” sebagaimana disebutkan di dalam
Pasal 1235 KUHPerdata tersebut dapat mempunyai dua pengertian, yaitu:
- Penyerahan
kekuasaan belaka atas barang yang menjadi obyek perjanjian.
- Penyerahan
hak milik atas barang yang menjadi obyek perjanjian, yang dinamakan
penyerahan yuridis.
Wujud prestasi yang lainnya
adalah “berbuat sesuatu” dan “tidak berbuat sesuatu”. Berbuat sesuatu adalah
melakukan suatu perbuatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Sedangkan
tidak berbuat sesuatu adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana juga
yang telah ditetapkan dalam perjanjian, manakala para pihak telah menunaikan
prestasinya maka perjanjian tersebut akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa menimbulkan
persoalan. Namun kadangkala ditemui bahwa debitur tidak bersedia
melakukan atau menolak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah
ditentukan dalam perjanjian.
Salah
satu unsur dari suatu perikatan adalah adanya suatu isi atau tujuan perikatan,
yakni suatu prestasi yang terdiri dari 3 (tiga) macam:
i.
Memberikan
sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang.
ii.
Berbuat sesuatu,
misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis suatu lukisan
untuk pemesan.
iii.
Tidak berbuat
sesuatu, misalnya perjanjian tindak akan mendirikan suatu bangunan, perjanjian
tidal alan menggunakan merk dagang tertentu.
Prestasi
dalam suatu perikatan tersebut harus memenuhi syarat-syarat:
a. Suatu
prestasi harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau sedikitnya dapat
ditentukan jenisnya, tanpa adaya ketentuan sulit untuk menentukan apakah
debetur telah memenuhi prestasi atau belum.
b. Prestasi harus
dihubungkan dengan suatu kepentingan. Tanpa suatu kepentingan
orang tidak dapat mengadakan tuntutan.
c. Prestasi
harus diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
d. Prestasi
harus mungkin dilaksanakan.
B.
Wanprestasi
Wanprestasi adalah
keadaan dimana seorang telah lalai untuk memenuhi kewajiban yang diharuskan
oleh Undang-Undang. Jadi wanprestasi merupakan akibat dari pada tidak
dipenuhinya perikatan hukum.
Pada umumnya debitur dikatakan wanprestasi manakala
ia karena kesalahannya sendiri tidak melaksanakan prestasi, atau
melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak diperbolehkan untuk dilakukan.
Menurut R.Subekti, melakukan prestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya
juga dinamakan wanprestasi. Yang menjadi persoalan adalah sejak kapan debitur
dapat dikatakan wanprestasi. Mengenai hal tersebut perlu dibedakan wujud
atau bentuk prestasinya. Sebab bentuk prestasi ini sangat menentukan
sejak kapan seorang debitur dapat dikatakan telah wanprestasi.
Dalam hal wujud prestasinya “memberikan sesuatu”, maka perlu
pula dipertanyakan apakah di dalam perjanjian telah ditentukan atau belum
mengenai tenggang waktu pemenuhan prestasinya. Apabila tenggang waktu pemenuhan
prestasi sudah ditentukan dalam perjanjian, maka menurut Pasal 1238
KUHPerdata, debitur sudah dianggap wanprestasi dengan lewatnya
waktu pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan bila tenggang waktunya
tidak dicantumkan dalam perjanjian, maka dipandang perlu untuk terlebih dahulu
memperingatkan debitur guna memenuhi kewajibannya, dan jika tidak
dipenuhi, maka ia telah dinyatakan wanprestasi.
Surat peringatan kepada debitur tersebut dinamakan somasi,
dan somasi inilah yang digunakan sebagai alat bukti bahwa debitur
telah wanprestasi. Untuk perikatan yang wujud prestasinya “tidak berbuat
sesuatu” kiranya tidak menjadi persoalan untuk menentukan sejak kapan seorang debitur
dinyatakan wanprestasi, sebab bila debitur melakukan sesuatu
perbuatan yang dilarang dalam perjanjian maka ia dinyatakan telah wanprestasi.
Wanprestasi berarti debitur tidak
melakukan apa yang dijanjikannya atau ingkar janji, melanggar perjanjian serta
melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan wanprestasi
berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Debitur
dianggap wanprestasi bila ia memenuhi syarat-syarat di atas dalam keadaan
lalai maupun dalam keadaan sengaja. Wanprestasi yang dilakukan debitur dapat berupa 4 (empat) macam:
- Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
- Melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
- Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
- Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak
boleh dilakukannya.
Ada
pendapat lain mengenai syarat-syarat terjadinya wanprestasi,
yaitu:
- Debitur sama sekali tidak berprestasi,
dalam hal ini kreditur tidak perlu menyatakan peringatan atau
teguran karena hal ini percuma sebab debitur memang tidak mampu
berprestasi;
- Debitur berprestasi tidak sebagaimana
mestinya, dalam hal ini debitur sudah beritikad baik untuk
melakukan prestasi, tetapi ia salah dalam melakukan pemenuhannya;
- Debitur
terlambat berprestasi, dalam hal ini debitur masih mampu memenuhi prestasi
namun terlambat dalam memenuhi prestasi tersebut.
Akibat hukum
dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau
sanksi sebagai berikut:
- Membayar
kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan
ganti-rugi;
- Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan
pemecahan perjanjian;
- Peralihan risiko. Benda yang dijanjikan obyek
perjanjian sejak saat tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung
jawab dari debitur;
- Membayar
biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Disamping debitur harus menanggung hal tesebut
diatas, maka yang dapat dilakukan oleh kreditur dalam menghadapi debitur
yang wanprestasi ada lima kemungkinan sebagai berikut:
- Dapat
menuntut pemenuhan perjanjian, walaupun pelaksanaannya terlambat;
- Dapat
menuntut penggantian kerugian, berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata, ganti
rugi tersebut dapat berupa biaya, rugi atau bunga;
- Dapat
menuntut pemenuhan dan penggantian kerugian;
- Dapat menuntut pembatalan atau pemutusan
perjanjian; dan
- Dapat
menuntut pembatalan dan penggantian kerugian.
C.
Risiko
Risiko
ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian diluar
kesalahan salah satu pihak. Barang yang diperjual belikan musnah diperjalanan
karena ada suatu kecelakaan misalnya perahu yang mengangkut barang itu karam.
Barang yang dipersewakan habis terbakar selama waktu dipersewakannya. Siapakah
yang harus memikul kerugian-kerugian itu? Inilah yang disebut risiko.
Dari apa yang sudah diuraikan tentang
pengertian risiko di atas, kita lihat peristiwa risiko berpokok pangkal pada
terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan satu pihak yang mengadakan
perjanjian. Dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang dalm hukum perjanjian
dinamakan : keadaan memaksa. Persoalan risiko adalah buntut dari suatu keadaan
memaksa, sebagai mana ganti rugi adalah buntut dari wanprestasi.
Bagaimana
soal risiko itu diatur dalam hukum perjanjian? Dalam buku ke III kitab
undang-undang hukum perdata, sebenarnya kita hanya dapat menemukan satu pasal,
yaitu pasal 1237. Pasal ini berbunyi sebagai berikut : “ Dalam hal adanya
perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, maka barang itu semenjak
perikatan dilahirkan, adalah tanggungan si berpiutang”. Perkataan tanggungan
dalam pasal ini sama dengan “risiko”. Dengan begitu, dalam perikatan untuk
memberikan suatu barang tertentu tadi, jika barang ini sebelum diserahkan,
musnah karena suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, kerugian ini
harus dipikul oleh “si berpiutang”, yaitu pihak yang menerima barang itu. Suatu perikatan untuk memberikan suatu barang
tertentu, adalah suatu perikatan yang timbul karena perjanjian sepihak. Dengan
kata lain, pembuat undang-undang tidak memikirkan perjanjian timbal-balik,
dimana pihak yang berkewajiban melakukan suatu prestasi juga berhak menuntut
suatu kontraprestasi! Dia hanya memikirkan pada suatu perikatan secara abstrak,
dimana ada satu pihak yang wajib melakukan suatu prestasi dan suatu pihak lain
yang berhak atas prestasi tersebut. Pasal 1237 hanya dapat dipakai pada perjanjian
sepihak saja.
D.
Keadaan Memaksa (Overmacht)
Overmacht artinya keadaan memaksa. Dalam suatu perikatan
jika Debitur dikatakan dalam keadaan memaksa sehingga tidak dapat memenuhi
prestasinya, Debitur tidak dapat dipersalahkan / di luaer kesalahan Debitur.
Dengan perkataan lain Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya karena
overmacht bukan karena kesalahannya akan tetapi karena keadaan memaksa, maka
Debitur tidak dapat dipertanggung gugatkan kepadanya. Dengan demikian Kreditur
tidak dapat menuntut ganti rugi sebagaimana hak yang dimiliki oleh Kreditur
dalam wanprestasi.
Pasal 1244 KUH Perdata menyebutkan:
“Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum mengganti biaya,
rugi, dan bunga, apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak
pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu
hal yang tak terduka, pun tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya, karenanya
itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”.
Pasal 1245 KUH Perdata:
“Tidaklah biaya
rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau
lantaran suatu kejadianntak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau
berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal yang sama telah melakukan
perbuatan yang terlarang”.
Berdasarkan pasal-pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa
keadaan memaksa adalah keadaan dimana Debitur terhalang dalam memenuhi
prestasinya karena suatu keadaan yang tak terduga lebih dahulu dan tidak dapat
dipertanggungkan kepadanya, debitur dibebaskan untuk membayar ganti rugi dan
bunga.
Unsur-unsur overmacht
1.
Ada halangan bagi Debitur untuk memenuhi kewajiban.
2.
Halangan itu bukan karena kesalahan Debitur.
3.
Tidak disebabkan oleh keadaan yang menjadi resiko dari
Debitur.
Dengan adanya Overmacht, mengakibatkan berlakunya perikatan
menjadi terhenti. Ini berearti bahwa:
1.
Kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi.
2.
Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai.
3.
Resiko tidak beralih
kepada Debitur.
Jadi, dengan adanya Overmacht tidak melenyapkan adanya
perikatan, hanya menghentikan berlakunya perikatan. Hal ini penting bagi adanya
Overmacht yang bersifat sementara. Dalam suatu perjanjian timbal balik, apabila
salah satu dari pihak karena Overmacht terhalang untuk berprestasi maka lawan
juga harus dibebaskan untuk berprestasi.
Teori/Ajaran Overmacht
- Ajaran Overmacht objektif atau ajaran
ketidakmungkinan yang mutlak. Ajaran ini menyatakan bahwa Debitur
dikatakan dalam keadaan Overmacht apabila pemenuhan prestasi itu ‘tidak
mungkin bagi siapapun bagi setiap orang”
Contoh : A harus menyerahkan sapi kepada B, sapi itu ternyata di
tengah jalan disambar petir, sehingga prestasi tidak mungkin dilaksankan bagi A
dan bagi siapapun.
Dalam hal demikian menurut ajaran Overmacht Objektif ada
Overmacht.
- Ajaran Overmacht Subjektif atau ajaran
ketidakmungkinan relatif.
Ajaran ini menyatakan bahwa Debitur dikatakan dalam
keadaan Overmacht, apapbila pemenuhan prestasi itu “bagi Debitur itu sendiri
memang tidak dapat dilakukan, tetapi orang lain mungkin masih bisa melakukan”.
Contoh : Seorang pedagang tertentu harus menyerahkan barang-barang
tertentu pada pedagang lain, kemudian ternyata harga barang itu sangat
meningkat, sehingga pedagang tersebut tidak mungkin untuk membeli barang yang
harganya tinggi tersebut akibatnya ia tidak bisa memenuhi barang-barang
tersebut pada pedagang yang lain itu.
Ketidakmungkinan Debitur untuk memenuhi prestasi menurut
ajaran Overmacht objektif disebu impossibilitas, sedangkan ketidakmungkinan
Debitur untuk memenuhi prestasi hanya bagi Debitur tertentu menurut ajaran
Overmacht Subjektif terdebbut difficultas (menimbulkan kaberatan).
Pada tahun 1904 ajaran Overmacht subjektif mulai menghadapi
serangan dari F.J.Houwing dengan teorinya “Inspanning Leer Theory” yang
kemudian memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap teori dan praktik.
Menurut ajaran Inspanning Leer dari F.J.Houwing
menyatakan bahwa Debitur dinyatakan bahwa tidak dapat melakukan prestasinya
karena Overmacht yang subjektif, dengan satu ketentuan yaitu Debitur harus
berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi prestasi tersebut.
Perlunakan-perlunakan dari ajaran-ajaran Overmacht
Kedua ajaran Overmacht objektif dan subjektif mengalami
perlunakan atau pergeseran, sehingga karenanya antara keduanya tersebut lalu
terdapat perbedaan yang mencolok, masing-masing tidak bersifat mutlak lagi.
Perlunakan ajaran Overmacht objektif
Sebagaimana tertera dalam pasal 1444 KUH Perdata, dimana
dalam pasl itu terdapat ketentuan bahwa jika barang-barang itu terjadi di luara
perdagangan atau hilang, maka keadaan tersebut itu pun termasuk Overmacht juga,
menurut ajaran overmacht objektif.
Ketika prestasinya bertentangan dengan moral atau bertentangan
dengan peraturan umum, keadaan ini juga disebut overmacht. Demikian juga jika
Debitur dengan pemenuhan prestasi itu kepentingan Debitur sendiri menjadi
sangat dirugikan termasuk juga overmacht.
Ajaran objektif tentang overmacht bukan lagi merupakan
ketidakmungkinan bagi tiap orang untuk melakukan prestasi, tidak lagi
berpangkal pada impossibilitas, tetapi
merupakan kesangatsukaran (Difficultas) bagi tiap-tiap orang untuk melakukan
prestasi.
Perlunakan ajaran overmacht subjektif
Ajaran ini berpendapat bahwa overmacht terjadi bila bagi
Debitur itu sendiri tidak mungkin atau tidak bisa memenui prestainya. Hal ini mengalami
perlunakan-perlunakan karena ternyata dalam lalu lintas masyarakat orang harus
berani menanggung resiko.
Kewajiban menanggung resiko yang demikian bisa terjadi
karena sudah diperjanjikan secara tegas sesuai dengan sifat perjanjian tadi,
maupun belum diperjanjikan secara tegas dalam perjanjian.
Contoh : Perusahaan pengangkutan yang pekerjaan
sehari-hari mengangkut barang-barang sesuai dengan sifat perusahaan tersebut,
maka perusahaan tersebut harus menanggung resiko bila kemudian terjadi
kerusakan-kerusakan mengenai barang-barang yang diangkutnya, sekalipun mengenai
kerusakan-kerusakan itu di luar kesalahannya.
Kewajiban atas menanggung atas resiko dalam perjanjian
pengangkutan disebut ajaran menimbulkan bahaya
(Gevaarzettingstheorie).
Dengan demikian ajaran overmacht subjektif juga mengalami
pergeseran atau perlunakan yaitu denngan adanya perjanjian yang membuat tidak
berlakunya overmacht dengan ajaran yang menimbulkan bahaya.
Overmacht dapat terjadi dengan adanya tiga kemungkinan :
1.
Karena kehilangan.
2.
Karena pencurian.
3.
Karena iklim.
Tetapi di samping salah satu dari ketiga hal tersebut Debitur harus memenuhi persyaratan bahwa :
1.
Dia tidak bersalah.
2.
Debitur tidak menanggung resiko, baik karena
undang-undang atau karena perjanjian.
3.
Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya dengan cara
lain.
Jadi di sini jelas bahwa yang membuktikan adanya overmacht
adalah debitur dan kreditur tidak perlu membuktikan bahwa tidak ada overmacht.
Bentuk khusus overmacht ini, kadang-kadang menimbulkan adanya
overmacht tetapi kadang-kadang tidak dilihat dari kasusnya :
1.
undang-Undang dan tindakan Pemerintah
Hal ini dikaitmkan dengan
larangan terhadap pengangkutan barang masuk ke Indonesia atau dari Indonesia.
Hal ini dapat menghalangi pemenuhan prestasi dan akan menimbulkan overmacht.
Bukannya prestasi itu tidak dapat dilakukan tetapi tidak boleh dilakukan karena
adanya larangan undang-undang dan peraturan pemerintah.
2.
Sumpah
Sumpah yang dilakukan dengan
terpaksa dapat menimbulkan overmacht, sedangkan sumpah yang dilakukan dengan
sukarela tidak akan menimbulkan overmacht.
3.
Perbuatan yang dilakukan oleh pihak ketiga
Orangtua bertanggung gugat atas
apa yang diperbuat anaknya yang melawan hukum, juga majikan terhadap perbuatan
melawan hukum dari bawahannya, dan lain-lain.
4.
Sakit
Kadang-kadang sakit dapat
dijadikan sebagai alasan untuk overmacht apabila prestasi yang dilakukan itu melekat pada
pribadi orang-orang itu.
5.
Pemogokan buruh
Pemogokan buruh dapat
menimbulkan overmacht apabila pemogokan buruh itu disebabkan oleh rasa
solidaritas terhadap buruh-buruuh yang lain sehingga perusahaan tidak dapat
memenuhi pesanan dari para pemesannya.
Lain halnya apabila pemogokan
itu disebabkan karena tuntutan dari para buruh yang layak ditolak oleh
majikannya itu sendiri, maka pemogokan
itu tidak dapat dijadikan sebagai alasan overmacht.
6.
Tidak memiliki uang
Tidak memiliki uang pada umumnya
tidak dapat menimbulkan overmacht, meskipun buikan kesalahan dari debitur dan
tidak dapat diduga lebih dulu.
Keempat hal ini merupakan alasan untuk adanya overmacht, namun
dalam kasus tertantu (tidak untuk semua kasus umum).
a.
sifat-sifat overmacht
Overmacht dapat dibedakan :
1.
Penuh (lengkap =>seluruh prestasi tidak dapat dipenuhi
oleh debitur.
2.
Sebagian =>hanya sebagian prestasi saja yang tidak
dapat dipenuhi debitur.
Misal :
v
Untuk melever satu kambing, kemudian mati disambar petir
overmacht penuh.
v
Untuk melever 10 kambing, mati juga disambar petir
overmacht sebagian.
Pembagian lain :
Overmacht definitive tetap terjadi jika prestasi sama sekali tidak
mungkin dilakukan:
Barang yang diserahkan menjadi binasa, atau jika
pemenuhan prestasi dilakukan sesudah berhentinya overmacht menjadi tidak
berharga lagi prestasinya.
Misal : pesan celana goni (sebelum kemerdekaannya) dan D
tidak ada kesempatan untuk menyerahkan, sehingga dapat menyerahkan sesudzh
kemerdekaan, maka penyerahan ini tidak ada artinya (karena bahan pakaian nyang
bagus banyak dan tidak layak lagi memakai goni).
Overmacht sementara terjadi jika penyebab timbulnya ovremacht
hanya sementara artinya kewajiban berprestasi akan timbul lagi setelah
berhentinya keadaan overmacht.
Misal: ada UU malarang untuk memperdagangkan barang
tertentu, kalau UU itu dicabut, maka prestasi berlaku lagi.
REBUS SIC STANTIBUS yaitu perjanjian yang dibuat mensyaratkan
keadaan seperti pada saat perjanjian itu dibuat tetap/tidak berubah.
Sekarang ajaran ini sudah ditinggalkan karena tidak sesuai dengan
asa etikad baik.
Pasal 1338 ayat 3.
Terkandung asas “etikad baik, yaitu perjanjian atau persetujuan itu
harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Itikad baik dalam perikatan ini sifatnya “objektif” dan
subjektif disesuaikan itikad baik dalam hukum benda bersifata “subjektif”.
E. Sommatie
Ketika
debitur dalam perjanjian tidak memenuhi
kewajiban (tidak mempresteerd), maka ia (debitur) harus ditegur atau diberi
tahu lebih dahulu oleh kreditur. Teguran atau yang disebut “sommatie” atau “aamaning”,
adalah teguran atau pemberitahuan yang dilakukan oleh kreditur kepada debitur,
bahwa perikatan itu harus ditepati sesuai dengan apa yang tercantum dalam
pemberitahuan tersebut. Jadi debitur dalam keadaan wanprestasi apabila ia tidak
mempresteerd dan telah ditegur oleh dissomert.
Sommatie
dapat dilakukan dengan bebas, misalnya dengan lisan, tulis, atau bisa melalui
telepon. Sehingga sommatie tidak terikat dalam bentuk tertentu. Somatie harus
berisi :
1. Jangka
waktu mempresteerd (somatie harus berisi jangka waktu yang cukup pantas dengasn
melihat berat ringannya prestasi yang harus dilaksanakan itu.
2. Apa
yang harus dilaksanakan.
3. Tuntutan
prestasi itu didasarkan atas hal apa.
Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang
menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat
perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai,
atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang
harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat
dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in
gebreke stelling). Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH
Perdata adalah:
1). Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari
hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita
memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus
berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”
2). Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah
tangan maupun akta notaris.
3). Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan
perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.
Dalam perkembangannya, suatu somasi
atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan
secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila
masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan
secara tertulis.
Dalam keadaan tertentu somasi tidak
diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu
dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi
dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya
wanprestasi.
Semua
wanprestasi tidak memerlukan suatu somatie. Sommatie tidak diperlukan dalam
hal:
1. Jika
di dalam perjanjian telah disyaratkan bahwa debitur tanpa sommatie sudah
dianggap dalam keadaan wanprestasi.
2. Jika
prestasi hanya dapat dilaksanakan dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau
jika dengan lampaunya jangka waktu tertentu prestasi tidak berlaku lagi.
Contoh:
A harus melever baju temanten 24 Mei 2012. Setelah tanggal tersebut baju
temanten tidak berguna lagi.
3. Jika
sifat perjanjian dengan sendirinya telah mengatakan adanya wanprestasi apabila batas waktunya telah
lampau.
Contoh:
A harus membuat rumah yang selesai tanggal 1 Januari 2012. Akan tetapi setelah
tiba saatnya, rumah itu belum jadi.
4. Jika
debitur melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban atau isi
perikatan.
5. Jika
debitur secara terang-terangan mengatakan bahwa ia tidak mau mempresterd.
6. Jika
debitur mempresteerd akan tetapi tidak sempurna (kurang nilainya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar