Jumat, 06 Juli 2012

PRESTASI, WANPRESTASI, RISIKO, KEADAAN MEMAKSA, DAN SOMASI DALAM HUKUM PERJANJIAN


Bab I

pendahuluan

A.    Latarbelakang


Buku II KUH Pdt atau BW terdari dari suatu bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum bab I sampai dengan bab IV, memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya, misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan sebagainya. Buku III KUH Pdt menganut azas “kebebasan berkontrak” dalam membuat perjanjian, asal tidak melanggar ketentuan apa saja, asal tidak melanggar ketentuan Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Azas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 KUH Pdt yang menyatakan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Yang dimaksud dengan pasal ini adalah bahwa semua perjanjian “mengikat” kedua belah pihak.
Terjadinya prestasi, wanprestasi, overmacht dan somasi, dikarenakan hukum perikatan menurut Buku III B.W  ialah: suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang lainnya ini  diwajibkan untuk memenuhi tuntutan itu. Oleh karena sifat hukum yang termuat dalam Buku III itu selalu berupa suatu tuntut-menuntut maka Buku III juga dinamakan hukum perhutangan. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur” sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi” yang menurut undang-undang dapat berupa : 1. Menyerahkan suatu barang. 2. Melakukan suatu perbuatan. 3. Tidak melakukan suatu perbuatan.


B.     Tujuan Makalah.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas yang di berikan dosen mata kuliah Hukum perdata II (Hukum perikatan atau perjanjian). Dalam makalah ini, kami ingin memperjelas apa itu yang disebut Prestasi, Wanprestasi, Risiko, Overmach, dan Somasi yang mana istilah-istilah ini muncul karena suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang biasa di kenal dengan istilah hukum perikatan atau hukum perjanjian. Dalam beberapa leteratur ditemukan pengertian-pengertian yang sudah kami sebutkan, dengan leteratur inilah kami merujuk untuk penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini bisa membantu kita memahami istilah-istilah yang ada dalam hukum perikatan.


Bab II

Pembahasan

A.    Prestasi


Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Kemudian Pasal 1235 KUHPerdata menyebutkan: “Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan
Dari pasal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perikatan, pengertian “memberi sesuatu” mencakup pula kewajiban untuk menyerahkan barangnya dan untuk memeliharanya hingga waktu penyerahannya.
Istilah “memberikan sesuatu” sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1235 KUHPerdata tersebut dapat mempunyai dua pengertian, yaitu:
  1. Penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang menjadi obyek perjanjian.
  2. Penyerahan hak milik atas barang yang menjadi obyek perjanjian, yang dinamakan penyerahan yuridis.
Wujud prestasi yang lainnya adalah “berbuat sesuatu” dan “tidak berbuat sesuatu”. Berbuat sesuatu adalah melakukan suatu perbuatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Sedangkan tidak berbuat sesuatu adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana juga yang telah ditetapkan dalam perjanjian, manakala para pihak telah menunaikan prestasinya maka perjanjian tersebut akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa menimbulkan persoalan. Namun kadangkala ditemui bahwa debitur tidak bersedia melakukan atau menolak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian.
Salah satu unsur dari suatu perikatan adalah adanya suatu isi atau tujuan perikatan, yakni suatu prestasi yang terdiri dari 3 (tiga) macam:
        i.            Memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang.
      ii.            Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis suatu lukisan untuk pemesan.
    iii.            Tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian tindak akan mendirikan suatu bangunan, perjanjian tidal alan menggunakan merk dagang tertentu.
Prestasi dalam suatu perikatan tersebut harus memenuhi syarat-syarat:
a.       Suatu prestasi harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau sedikitnya dapat ditentukan jenisnya, tanpa adaya ketentuan sulit untuk menentukan apakah debetur telah memenuhi prestasi atau belum.
b.      Prestasi harus dihubungkan dengan suatu kepentingan. Tanpa suatu kepentingan orang tidak dapat mengadakan tuntutan.
c.       Prestasi harus diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
d.      Prestasi harus mungkin dilaksanakan.

B.     Wanprestasi

Wanprestasi  adalah keadaan dimana seorang telah lalai untuk memenuhi kewajiban yang diharuskan oleh Undang-Undang. Jadi wanprestasi merupakan akibat dari pada tidak dipenuhinya perikatan hukum.
Pada umumnya debitur dikatakan wanprestasi manakala ia karena kesalahannya sendiri tidak melaksanakan prestasi, atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Menurut R.Subekti, melakukan prestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya juga dinamakan wanprestasi. Yang menjadi persoalan adalah sejak kapan debitur dapat dikatakan wanprestasi. Mengenai hal tersebut perlu dibedakan wujud atau bentuk prestasinya. Sebab bentuk prestasi ini sangat menentukan sejak kapan seorang debitur dapat dikatakan telah wanprestasi.
Dalam hal wujud prestasinya “memberikan sesuatu”, maka perlu pula dipertanyakan apakah di dalam perjanjian telah ditentukan atau belum mengenai tenggang waktu pemenuhan prestasinya. Apabila tenggang waktu pemenuhan prestasi sudah ditentukan dalam perjanjian, maka menurut Pasal 1238 KUHPerdata, debitur sudah dianggap wanprestasi dengan lewatnya waktu pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan bila tenggang waktunya tidak dicantumkan dalam perjanjian, maka dipandang perlu untuk terlebih dahulu memperingatkan debitur guna memenuhi kewajibannya, dan jika tidak dipenuhi, maka ia telah dinyatakan wanprestasi.
Surat peringatan kepada debitur tersebut dinamakan somasi, dan somasi inilah yang digunakan sebagai alat bukti bahwa debitur telah wanprestasi. Untuk perikatan yang wujud prestasinya “tidak berbuat sesuatu” kiranya tidak menjadi persoalan untuk menentukan sejak kapan seorang debitur dinyatakan wanprestasi, sebab bila debitur melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang dalam perjanjian maka ia dinyatakan telah wanprestasi.
Wanprestasi berarti debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya atau ingkar janji, melanggar perjanjian serta melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Debitur dianggap wanprestasi bila ia memenuhi syarat-syarat di atas dalam keadaan lalai maupun dalam keadaan sengaja. Wanprestasi yang dilakukan debitur dapat berupa 4 (empat) macam:
  1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
  2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
  3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Ada  pendapat lain mengenai syarat-syarat terjadinya wanprestasi, yaitu:
  1. Debitur sama sekali tidak berprestasi, dalam hal ini kreditur tidak perlu menyatakan peringatan atau teguran karena hal ini percuma sebab debitur memang tidak mampu berprestasi;
  2. Debitur berprestasi tidak sebagaimana mestinya, dalam hal ini debitur sudah beritikad baik untuk melakukan prestasi, tetapi ia salah dalam melakukan pemenuhannya;
  3. Debitur terlambat berprestasi, dalam hal ini debitur masih mampu memenuhi prestasi namun terlambat dalam memenuhi prestasi tersebut.
Akibat hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi sebagai berikut:
  1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi;
  2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
  3. Peralihan risiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;
  4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Disamping debitur harus menanggung hal tesebut diatas, maka yang dapat dilakukan oleh kreditur dalam menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima kemungkinan sebagai berikut:
  1. Dapat menuntut pemenuhan perjanjian, walaupun pelaksanaannya terlambat;
  2. Dapat menuntut penggantian kerugian, berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata, ganti rugi tersebut dapat berupa biaya, rugi atau bunga;
  3. Dapat menuntut pemenuhan dan penggantian kerugian;
  4. Dapat menuntut pembatalan atau pemutusan perjanjian; dan
  5. Dapat menuntut pembatalan dan penggantian kerugian.


C.    Risiko


Risiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak. Barang yang diperjual belikan musnah diperjalanan karena ada suatu kecelakaan misalnya perahu yang mengangkut barang itu karam. Barang yang dipersewakan habis terbakar selama waktu dipersewakannya. Siapakah yang harus memikul kerugian-kerugian itu? Inilah yang disebut risiko.
 Dari apa yang sudah diuraikan tentang pengertian risiko di atas, kita lihat peristiwa risiko berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan satu pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang dalm hukum perjanjian dinamakan : keadaan memaksa. Persoalan risiko adalah buntut dari suatu keadaan memaksa, sebagai mana ganti rugi adalah buntut dari wanprestasi.
Bagaimana soal risiko itu diatur dalam hukum perjanjian? Dalam buku ke III kitab undang-undang hukum perdata, sebenarnya kita hanya dapat menemukan satu pasal, yaitu pasal 1237. Pasal ini berbunyi sebagai berikut : “ Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah tanggungan si berpiutang”. Perkataan tanggungan dalam pasal ini sama dengan “risiko”. Dengan begitu, dalam perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu tadi, jika barang ini sebelum diserahkan, musnah karena suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, kerugian ini harus dipikul oleh “si berpiutang”, yaitu pihak yang menerima barang itu.  Suatu perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, adalah suatu perikatan yang timbul karena perjanjian sepihak. Dengan kata lain, pembuat undang-undang tidak memikirkan perjanjian timbal-balik, dimana pihak yang berkewajiban melakukan suatu prestasi juga berhak menuntut suatu kontraprestasi! Dia hanya memikirkan pada suatu perikatan secara abstrak, dimana ada satu pihak yang wajib melakukan suatu prestasi dan suatu pihak lain yang berhak atas prestasi tersebut. Pasal 1237 hanya dapat dipakai pada perjanjian sepihak saja.  


D.    Keadaan Memaksa (Overmacht)


Overmacht artinya keadaan memaksa. Dalam suatu perikatan jika Debitur dikatakan dalam keadaan memaksa sehingga tidak dapat memenuhi prestasinya, Debitur tidak dapat dipersalahkan / di luaer kesalahan Debitur. Dengan perkataan lain Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya karena overmacht bukan karena kesalahannya akan tetapi karena keadaan memaksa, maka Debitur tidak dapat dipertanggung gugatkan kepadanya. Dengan demikian Kreditur tidak dapat menuntut ganti rugi sebagaimana hak yang dimiliki oleh Kreditur dalam wanprestasi.
Pasal 1244 KUH Perdata menyebutkan:
“Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga, apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduka, pun tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya, karenanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”.
Pasal 1245 KUH Perdata:         
Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadianntak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.
Berdasarkan pasal-pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa keadaan memaksa adalah keadaan dimana Debitur terhalang dalam memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tak terduga lebih dahulu dan tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, debitur dibebaskan untuk membayar ganti rugi dan bunga.


Unsur-unsur overmacht


1.      Ada halangan bagi Debitur untuk memenuhi kewajiban.
2.      Halangan itu bukan karena kesalahan Debitur.
3.      Tidak disebabkan oleh keadaan yang menjadi resiko dari Debitur.
Dengan adanya Overmacht, mengakibatkan berlakunya perikatan menjadi terhenti. Ini berearti bahwa:
1.      Kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi.
2.      Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai.
3.      Resiko tidak beralih  kepada Debitur.
Jadi, dengan adanya Overmacht tidak melenyapkan adanya perikatan, hanya menghentikan berlakunya perikatan. Hal ini penting bagi adanya Overmacht yang bersifat sementara. Dalam suatu perjanjian timbal balik, apabila salah satu dari pihak karena Overmacht terhalang untuk berprestasi maka lawan juga harus dibebaskan untuk berprestasi.

Teori/Ajaran Overmacht


  1. Ajaran Overmacht objektif atau ajaran ketidakmungkinan yang mutlak. Ajaran ini menyatakan bahwa Debitur dikatakan dalam keadaan Overmacht apabila pemenuhan prestasi itu ‘tidak mungkin bagi siapapun bagi setiap orang”
Contoh : A harus menyerahkan sapi kepada B, sapi itu ternyata di tengah jalan disambar petir, sehingga prestasi tidak mungkin dilaksankan bagi A dan bagi siapapun.
Dalam hal demikian menurut ajaran Overmacht Objektif ada Overmacht.
  1. Ajaran Overmacht Subjektif atau ajaran ketidakmungkinan relatif.
Ajaran ini menyatakan bahwa Debitur dikatakan dalam keadaan Overmacht, apapbila pemenuhan prestasi itu “bagi Debitur itu sendiri memang tidak dapat dilakukan, tetapi orang lain mungkin masih bisa melakukan”.
Contoh : Seorang pedagang tertentu harus menyerahkan barang-barang tertentu pada pedagang lain, kemudian ternyata harga barang itu sangat meningkat, sehingga pedagang tersebut tidak mungkin untuk membeli barang yang harganya tinggi tersebut akibatnya ia tidak bisa memenuhi barang-barang tersebut pada pedagang yang lain itu.
Ketidakmungkinan Debitur untuk memenuhi prestasi menurut ajaran Overmacht objektif disebu impossibilitas, sedangkan ketidakmungkinan Debitur untuk memenuhi prestasi hanya bagi Debitur tertentu menurut ajaran Overmacht Subjektif terdebbut difficultas (menimbulkan kaberatan).
Pada tahun 1904 ajaran Overmacht subjektif mulai menghadapi serangan dari F.J.Houwing dengan teorinya “Inspanning Leer Theory” yang kemudian memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap teori dan praktik.
Menurut ajaran Inspanning Leer dari F.J.Houwing menyatakan bahwa Debitur dinyatakan bahwa tidak dapat melakukan prestasinya karena Overmacht yang subjektif, dengan satu ketentuan yaitu Debitur harus berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi prestasi tersebut.

Perlunakan-perlunakan dari ajaran-ajaran Overmacht


Kedua ajaran Overmacht objektif dan subjektif mengalami perlunakan atau pergeseran, sehingga karenanya antara keduanya tersebut lalu terdapat perbedaan yang mencolok, masing-masing tidak bersifat mutlak lagi.
Perlunakan ajaran Overmacht objektif
Sebagaimana tertera dalam pasal 1444 KUH Perdata, dimana dalam pasl itu terdapat ketentuan bahwa jika barang-barang itu terjadi di luara perdagangan atau hilang, maka keadaan tersebut itu pun termasuk Overmacht juga, menurut ajaran overmacht objektif.
Ketika prestasinya bertentangan dengan moral atau bertentangan dengan peraturan umum, keadaan ini juga disebut overmacht. Demikian juga jika Debitur dengan pemenuhan prestasi itu kepentingan Debitur sendiri menjadi sangat dirugikan termasuk juga overmacht.
Ajaran objektif tentang overmacht bukan lagi merupakan ketidakmungkinan bagi tiap orang untuk melakukan prestasi, tidak lagi berpangkal pada impossibilitas,   tetapi merupakan kesangatsukaran (Difficultas) bagi tiap-tiap orang untuk melakukan prestasi.
Perlunakan ajaran overmacht subjektif
Ajaran ini berpendapat bahwa overmacht terjadi bila bagi Debitur itu sendiri tidak mungkin atau tidak bisa memenui  prestainya. Hal ini mengalami perlunakan-perlunakan karena ternyata dalam lalu lintas masyarakat orang harus berani menanggung resiko.
Kewajiban menanggung resiko yang demikian bisa terjadi karena sudah diperjanjikan secara tegas sesuai dengan sifat perjanjian tadi, maupun belum diperjanjikan secara tegas dalam perjanjian.
Contoh : Perusahaan pengangkutan yang pekerjaan sehari-hari mengangkut barang-barang sesuai dengan sifat perusahaan tersebut, maka perusahaan tersebut harus menanggung resiko bila kemudian terjadi kerusakan-kerusakan mengenai barang-barang yang diangkutnya, sekalipun mengenai kerusakan-kerusakan itu di luar kesalahannya.
Kewajiban atas menanggung atas resiko dalam perjanjian pengangkutan disebut ajaran menimbulkan bahaya (Gevaarzettingstheorie).
Dengan demikian ajaran overmacht subjektif juga mengalami pergeseran atau perlunakan yaitu denngan adanya perjanjian yang membuat tidak berlakunya overmacht dengan ajaran yang menimbulkan bahaya.
Overmacht dapat terjadi dengan adanya tiga kemungkinan :
1.      Karena kehilangan.
2.      Karena pencurian.
3.      Karena iklim.
Tetapi di samping salah satu dari ketiga hal tersebut Debitur harus memenuhi persyaratan bahwa :
1.      Dia tidak bersalah.
2.      Debitur tidak menanggung resiko, baik karena undang-undang atau karena perjanjian.
3.      Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya dengan cara lain.
Jadi di sini jelas bahwa yang membuktikan adanya overmacht adalah debitur dan kreditur tidak perlu membuktikan bahwa tidak ada overmacht.
Bentuk khusus overmacht ini, kadang-kadang menimbulkan adanya overmacht tetapi kadang-kadang tidak dilihat dari kasusnya :
1.      undang-Undang dan tindakan Pemerintah
Hal ini dikaitmkan dengan larangan terhadap pengangkutan barang masuk ke Indonesia atau dari Indonesia. Hal ini dapat menghalangi pemenuhan prestasi dan akan menimbulkan overmacht. Bukannya prestasi itu tidak dapat dilakukan tetapi tidak boleh dilakukan karena adanya larangan undang-undang dan peraturan pemerintah.
2.      Sumpah
Sumpah yang dilakukan dengan terpaksa dapat menimbulkan overmacht, sedangkan sumpah yang dilakukan dengan sukarela tidak akan menimbulkan overmacht.
3.      Perbuatan yang dilakukan oleh pihak ketiga
Orangtua bertanggung gugat atas apa yang diperbuat anaknya yang melawan hukum, juga majikan terhadap perbuatan melawan hukum dari bawahannya, dan lain-lain.
4.      Sakit
Kadang-kadang sakit dapat dijadikan sebagai alasan untuk overmacht apabila  prestasi yang dilakukan itu melekat pada pribadi orang-orang itu.
5.      Pemogokan buruh
Pemogokan buruh dapat menimbulkan overmacht apabila pemogokan buruh itu disebabkan oleh rasa solidaritas terhadap buruh-buruuh yang lain sehingga perusahaan tidak dapat memenuhi pesanan dari para pemesannya.
Lain halnya apabila pemogokan itu disebabkan karena tuntutan dari para buruh yang layak ditolak oleh majikannya itu sendiri, maka  pemogokan itu tidak dapat dijadikan sebagai alasan overmacht.
6.      Tidak memiliki uang
Tidak memiliki uang pada umumnya tidak dapat menimbulkan overmacht, meskipun buikan kesalahan dari debitur dan tidak dapat diduga lebih dulu.

Keempat hal ini merupakan alasan untuk adanya overmacht, namun dalam kasus tertantu (tidak untuk semua kasus umum).
a.       sifat-sifat overmacht

Overmacht dapat dibedakan :


1.      Penuh (lengkap =>seluruh prestasi tidak dapat dipenuhi oleh debitur.
2.      Sebagian =>hanya sebagian prestasi saja yang tidak dapat dipenuhi debitur.
Misal :
v  Untuk melever satu kambing, kemudian mati disambar petir overmacht penuh.
v  Untuk melever 10 kambing, mati juga disambar petir overmacht sebagian.
Pembagian lain :
Overmacht definitive tetap terjadi jika prestasi sama sekali tidak mungkin dilakukan:
Barang yang diserahkan menjadi binasa, atau jika pemenuhan prestasi dilakukan sesudah berhentinya overmacht menjadi tidak berharga lagi prestasinya.
Misal : pesan celana goni (sebelum kemerdekaannya) dan D tidak ada kesempatan untuk menyerahkan, sehingga dapat menyerahkan sesudzh kemerdekaan, maka penyerahan ini tidak ada artinya (karena bahan pakaian nyang bagus banyak dan tidak layak lagi memakai goni).
Overmacht sementara terjadi jika penyebab timbulnya ovremacht hanya sementara artinya kewajiban berprestasi akan timbul lagi setelah berhentinya  keadaan overmacht.
Misal: ada UU malarang untuk memperdagangkan barang tertentu, kalau UU itu dicabut, maka prestasi berlaku lagi.
REBUS SIC STANTIBUS yaitu perjanjian yang dibuat mensyaratkan keadaan seperti pada saat perjanjian itu dibuat tetap/tidak berubah.
Sekarang ajaran ini sudah ditinggalkan karena tidak sesuai dengan asa etikad baik.
Pasal 1338 ayat 3.
   Terkandung asas “etikad baik, yaitu perjanjian atau persetujuan itu harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Itikad baik dalam perikatan ini sifatnya “objektif” dan subjektif disesuaikan itikad baik dalam hukum benda bersifata “subjektif”.

E.     Sommatie


Ketika debitur dalam perjanjian  tidak memenuhi kewajiban (tidak mempresteerd), maka ia (debitur) harus ditegur atau diberi tahu lebih dahulu oleh kreditur. Teguran atau yang disebut “sommatie” atau “aamaning”, adalah teguran atau pemberitahuan yang dilakukan oleh kreditur kepada debitur, bahwa perikatan itu harus ditepati sesuai dengan apa yang tercantum dalam pemberitahuan tersebut. Jadi debitur dalam keadaan wanprestasi apabila ia tidak mempresteerd dan telah ditegur oleh dissomert.
Sommatie dapat dilakukan dengan bebas, misalnya dengan lisan, tulis, atau bisa melalui telepon. Sehingga sommatie tidak terikat dalam bentuk tertentu. Somatie harus berisi :
1.      Jangka waktu mempresteerd (somatie harus berisi jangka waktu yang cukup pantas dengasn melihat berat ringannya prestasi yang harus dilaksanakan itu.
2.      Apa yang harus dilaksanakan.
3.      Tuntutan prestasi itu didasarkan atas hal apa.
Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling). Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:
1). Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”
2). Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.
3). Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.
Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.
Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.
Semua wanprestasi tidak memerlukan suatu somatie. Sommatie tidak diperlukan dalam hal:
1.      Jika di dalam perjanjian telah disyaratkan bahwa debitur tanpa sommatie sudah dianggap dalam keadaan wanprestasi.
2.      Jika prestasi hanya dapat dilaksanakan dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau jika dengan lampaunya jangka waktu tertentu prestasi tidak berlaku lagi.
Contoh: A harus melever baju temanten 24 Mei 2012. Setelah tanggal tersebut baju temanten tidak berguna lagi.
3.      Jika sifat perjanjian dengan sendirinya telah mengatakan adanya  wanprestasi apabila batas waktunya telah lampau.
Contoh: A harus membuat rumah yang selesai tanggal 1 Januari 2012. Akan tetapi setelah tiba saatnya, rumah itu belum jadi.
4.      Jika debitur melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban atau isi perikatan.
5.      Jika debitur secara terang-terangan mengatakan bahwa ia tidak mau mempresterd.
6.      Jika debitur mempresteerd akan tetapi tidak sempurna (kurang nilainya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar