Kamis, 14 Juni 2012

HUKUM PERJANJIAN RUMAH SUSUN


BAB I

PENDAHULUAN

Kebutuhan akan perumahan setiap tahun semakin meningkat di kota-kota besar yang menjadi pusat permukiman dan kegiatan niaga di Indonesia, karena perumahan mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan seseorang, tidak hanya dalam fungsinya sebagai tempat tinggal, melainkan juga sebagai sarana pembinaan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Masalah yang sering dihadapi oleh pemerintah dalam pembangunan perumahan, khususnya di daerah perkotaan adalah disebabkan karena pertumbuhan penduduk yang terus meningkat sedangkan persediaan tanah sangat terbatas, harga tanah yang cukup tinggi dan lokasi tanah yang tidak memungkinkan dimana dibutuhkan membangun perumahan dalam jumlah besar dengan memanfaatkan tanah yang relatif kecil.
Perumahan dengan sistem lebih dari satu lantai diartikan sebagai perumahan
yang dibagi atas bagian-bagian yang dimiliki bersama dan satuan-satuan yang masing-masing dimiliki secara terpisah untuk dihuni, dengan memperhatikan faktor sosial budaya yang hidup dalam masyarakat. Perumahan dengan sistem lebih dari satu lantai yang dikenal dengan rumah susun yang dibangun untuk mengantisipasi kebutuhan akan perumahan, terutama bagi golongan masyarakat menengah kebawah dan mereka yang berpenghasilan rendah.

I.      RUMUSAN MASALAH

1.      Landasan Hukum dan Teori Rumah Susun
2.      Tujuan Pembangunan Rumah Susun
3.      Pemilikan Rumah Susun
4.      Sewa-Menyewa Rumah Susun
5.      Jual Beli Rumah Susun
6.      Pembebanan dengan Hipotik dan Fidusia
7.      Penghunian dan Pengelolaan Rumah Susun
8.      Hapusnya Hak Milik atas Satuan Rumah Susun

BAB II

PEMBAHASAN

A.  Landasan Hukum dan Teori Rumah Susun


"Rumah Susun" adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian-bersama, benda-bersama dan tanah bersama.
Landasan hukum dari pembangunan rumah susun adalah dengan adanya Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun dinyatakan bahwa:
“Untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan peningkatan taraf hidup rakyat, khususnya dalam usaha pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok akan perumahan sebagaimana diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, diperlukan peningkatan usaha-usaha penyediaan perumahan yang layak, dengan harga yang dapat dijangkau oleh daya beli rakyat terutama golongan masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah
Undang-undang ini dianggap perlu mengingat pendirian rumah susun sangat mendesak oleh karena kebutuhan perumahan terutama pada masyarakat di perkotaan yang terus meningkat sedangkan jumlah lahannya terbatas, serta harganya sukar dijangkau masyarakat kecil. Di samping itu oleh karena biaya pembangunan rumah susun tersebut berasal dari kredit bank ataupun lembaga keuangan maka untuk kepastian hukum perlu diatur hak-hak jaminan menurut hukum atas rumah susun yang hendak dibangun.
Namun pada saat ini disamping sebagai akibat dari semakin padatnya penduduk dan pesatnya perdagangan dimana tanah-tanah dipusat-pusat kota sudah semakin terbatas, bagi golongan ekonomi yang lebih tinggi yang memerlukan fasilitas yang lebih baik, komunikasi yang cepat dan lancar, pembangunan rumah susun semakin diminati. Pembangunan rumah susun untuk golongan ekonomi lemah berbeda dengan untuk golongan ekonomi tinggi yang disebut flat, apartemen dan condominium dengan sifat mewah dan mempunyai fasilitas yang lengkap dan sifatsifat khusus.

B.     Tujuan Pembangunan Rumah Susun


Adapun konsep pembangunan rumah susun ini lahir untuk menjawab keterbatasan tanah yang tersedia, dengan mempertimbangkan efesiensi dan efektivitas penggunaan tanah, mengingat kurang memungkinkan untuk membangun perumahan secara mendatar/horizontal.
 Hal tersebut di atas mendorong pemerintah untuk membuat Undang-Undang dan Peraturan tentang Rumah Susun yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 jo Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988. Alasan, tujuan dan atau dasar pembentukan Undang-Undang Rumah Susun (UURS) adalah :

*        Demi terwujudnya kesejahteraan umum dan peningkatan taraf hidup rakyat, khususnya dalam usaha pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok akan perumahan sebagaimana diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara.
*        Demi terlaksananya tujuan/cita-cita luhur tersebut diperlukan perumahan yang layak dengan harga yang dapat dijangkau oleh daya beli rakyat, terutama golongan masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah.
*        Dibangunnya perumahan dengan sistem lebih dari satu lantai, disebabkan dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan, perlu lebih ditingkatkannya kualitas lingkungan perumahan dimaksud, terutama di daerah-daerah yang berpenduduk padat, padahal luas tanah yang tersedia terbatas.

Rumah Susun di Indonesia, dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu sebagai berikut :
a.    Rumah Susun Sederhana (Rusun), yang pada umumnya dihuni oleh golongan yang kurang mampu. Biasanya dijual atau disewakan oleh Perumnas (BUMN).
b.   Rumah Susun Menengah (Apartemen), biasanya dijual atau disewakan oleh Perumnas/Pengembang Swasta kepada masyarakat konsumen menengah ke bawah.
c.    Rumah Susun Mewah (Apartemen/condominium),selain dijual kepada masyarakat konsumen menengah ke atas juga kepada orang asing atau expatriate oleh Pengembang Swasta.
Semua pembangunan Rumah Susun/Apartemen/Condominium tersebut di atas, termasuk flat, town house, baik untuk hunian maupun non hunian atau campuran keduanya, semuanya mengacu kepada Undang-Undang Rumah Susun sebagai dasar hukum pengaturannya. Hal ini disebabkan dalam bahasa hukum semuanya disebut Rumah Susun.
Pembangunan rumah susun dapat diselenggarakan oleh :
1.      Badan Usaha Milik Negara atau Daerah
2.      Koperasi
3.      Badan Usaha Milik Swasta yang bergerak dalam bidang itu
4.      Swadaya Masyarakat.

Pembangunan rumah susun harus memenuhi persyaratan teknis dan administratif. Rumah susun hanya dapat dibangun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah Negara atau hak pengelolaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyelenggaraan pembangunan wajib memisahkan rumah susun atas satuan dan bagian-bersama dalam bentuk gambar dan uraian yang disahkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memberi kejelasan atas :
a.  batas satuan yang dapat dipergunakan-secara terpisah untuk perseorangan;
b. batas dan uraian atas bagian-bersama dan benda-bersama yang menjadi   haknya masing-masing satuan;
c. batas dan uraian tanah-bersama dan besarnya bagian yang menjadi haknya masing-masing satuan.

C.    Pemilikan Rumah Susun


Satuan rumah susun dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Hak milik atas satuan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (2) meliputi juga hak atas bagian-bersama, benda-bersama, dan tanah-bersama, yang semuanya merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan. Hak atas bagian-bersama, benda-bersama, dan hak atas tanah bersama sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (3) didasarkan atas luas atau nilai satuan rumah susun yang bersangkutan pada waktu satuan tersebut diperoleh pemiliknya yang pertama.
Dalam Pasal 10 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun menyatakan bahwa : Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 (3) dapat beralih dengan cara pewarisan atau dengan cara pemindahan hak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Salah satu cara pemindahan hak tersebut adalah dengan jual beli yang merupakan salah satu dari bentuk perjanjian/persetujuan.
Suatu yang paling penting dari adanya pemilikan atas satuan rumah susun tersebut, adanya bukti kuat tanah yang dijadikan objek dari rumah susun tersebut. Hal ini diatur Pasal 9 dinyatakan bahwa sebagai tanda bukti hak milik atas satuan rumah susun diterbitkan sertifikat hal milik atas satuan rumah susun (ayat 1).

D.    Sewa-Menyewa Rumah Susun


Sewa menyewa rumah susun sebagaimana tercantum pasal 1548 KUHPerdata, sewa menyewa terhadap suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengingatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.
·         Maka sewa-menyewa rumah susun adalah suatu perjanjian (kontrak) yang dibuat oleh pemilik dengan penyewa rumah, baik secara lisan maupun secara tertulis, untuk penggunaan suatu rumah dalam waktu dan dengan pembayaran sewa yang disepakati oleh kedua belah pihak. Menurut Pasal 1320 KUHPerdata syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam membuat perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Adanya kata sepakat, dalam arti bahwaperjanjian tersebut dibuat secara musyawarah oleh kedua belah pihak, tanpa adanya paksaan dari salah satu pihak.
2.      Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian dalam arti bahwa yang membuat perjanjian tersebut sudah dewasa dan tidak dalam sakit ingatan.
3.      Suatu hal yang diperjanjikan harus jelas dalam arti bahwa rumah yang dijadikan obyek sewa-menyewa tersebut harus jelas: lokasi, bentuk, luas dan sebagainya.
4.      Perjanjian tersebut harus halal dalam arti bahwa isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku dan kesusilaan

E.     Jual Beli Rumah Susun


Perikatan jual-beli satuan rumah susun dapat terjadi karena adanya peningkatan permintaan konsumen/calon konsumen untuk membeli rumah susun yang belum selesai dibangun oleh pengembang (developer), sehingga mengharuskan pemerintah untuk mengatur hal tersebut secara khusus dalam Keputusan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual-Beli Satuan Rumah Susun (“Kepmenpera”). Akibat hukum dari berlakunya Kepmenpera ini adalah setiap adanya perikatan jual – beli satuan rumah susun wajib mengikuti pedoman dalam Kepmenpera tersebut. Hal ini sebagaimana tertulis di ketentuan kedua dalam Kepmenpera.
Dalam Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa : ”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Subekti memberikan rumusan perjanjian adalah sebaga ”Suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”
Perjanjian Perikatan jual beli merupakan perjanjian kesepakatan para pihak mengenai rencana para pihak yang akan melakukan jual beli dan mengatur tentang hak dan kewajiban sehingga bisa memberikan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi para pihak yang membuatnya. Jual beli merupakan perjanjian konsensuil, artinya ia sudah dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah saat tercapainya kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur pokok yaitu barang dan harga, sekalipun jual beli itu mengenai barang yang tidak bergerak.
Begitu pula dalam hal perjanjian jual beli rumah susun antara pembeli (konsumen) dan pengembang ada hubungan hukum yang akan menimbulkan hak dan kewajiban, baik bagi konsumen maupun bagi pengembang. Hak dan kewajiban kedua belah pihak dituangkan dalam suatu akta, baik akta dibawah tangan maupun akta otentik. Untuk lebih memperoleh kepastian hukum, maka ada baiknya dibuat dengan akta otentik yang dibuat oleh Notaris.
Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka pihak-pihak dalam perjanjian jual beli apartemen/rumah susun harus mengacu pada Pasal tersebut.

Perjanjian perikatan jual beli yang dibuat oleh pengembang dengan konsumen harus memenuhi ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata tersebut, sehingga perjanjian itu dapat berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak, hubungan hukum yang timbul diantara mereka adalah hubungan Perdata, yaitu hubungan yang dikuasai oleh hukum perjanjian dimana mereka tunduk pada perjanjian yang mereka buat.
Dengan dikeluarkanya Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat tersebut, maka dimungkinkan pemasaran/penjualan satuan-satuan rumah susun sebelum rumah susun yang bersangkutan selesai pembangunannya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan perikatan jual beli yang dilakukan antara penyelenggara pembangunan rumah susun dengan calon pembeli.

F.     Pembebanan dengan Hipotik dan Fidusia


Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan atau kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan hutang dengan :
a. dibebani hipotik, jika tanahnya tanah hak milik atau hak guna bangunan;
b. dibebani fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah Negara.
Hipotik dan fidusia dapat juga dibebankan atas tanah beserta rumah susun yang akan dibangun sebagai jaminan pelunasan kredit yang dimaksudkan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan rumah susun yang telah direncanakan di atas tanah yang bersangkutan dan yang pemberian kreditnya dilakukan secara bertahap sesuai dengan pelaksanaan pembangunan rumah susun tersebut.
Pemberian hipotik dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dan wajib didaftarkan pada Kantor Agraria Kabupaten dan Kotamadya untuk dicatat pada buku tanah dan sertifikat hak yang bersangkutan. Sertifikat hipotik mempunyai kekuatan eksekutorial dan dapat dilaksanakan sebagai putusan pengadilan. Bentuk dan isi akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, bentuk dan isi buku tanah hipotik serta hal-hal lain mengenai pendaftaran hipotik dan pemberian sertifikat sebagai tanda bukti, ditetapkan dan diselenggarakan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undangundang Nomor 5 Tahun 1960.
Pemberian fidusia dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dan wajib didaftarkan pada Kantor Agraria Kabupaten atau Kotamadya untuk dicatat pada buku tanah dan sertifikat hak yang bersangkutan. Bentuk dan isi akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hal-hal lain mengenai pencatatan fidusia  ditetapkan dan diselenggarakan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960.
Dalam pemberian hipotik dan fidusia dapat diperjanjikan bahwa pelunasan hutang yang dijamin dengan hipotik atau fidusia itu dapat dilakukan dengan cara angsuran sesuai dengan tahap penjualan satuan rumah susun, yang besarnya sebanding dengan nilai satuan yang terjual. Dalam hal dilakukan pelunasan maka satuan rumah susun yang harganya telah dilunasi tersebut bebas dari hipotik atau fidusia yang semula membebaninya. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hipotik dan fidusia, eksekusi hipotik atau fidusia yang bersangkutan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan cara demikian akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.

G.    Penghunian dan Pengelolaan Rumah Susun


Satuan rumah susun yang telah dibangun baru dapat dijual untuk dihuni setelah mendapat izin kelayakan untuk dihuni dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Di dalam Pasal 19 Undang-undang N0. 16 Tahun1985 tentang rumah susun diatur tentang kewajiban penghuni rumah susun sabagai berikut:
*      Penghuni rumah susun wajib membentuk perhimpunan penghuni.
*      Perhimpunan penghuni sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberi kedudukan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-undang ini.
*      Perhimpunan penghuni sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berkewajiban untuk mengurus kepentingan bersama para pemilik dan penghuni yang bersangkutan dengan pemilikan dan penghuniannya.
*      Perhimpunan penghuni dapat membentuk atau menunjuk badanpengelola yang bertugas untuk menyelenggarakan pengelolaan yang meliputi pengawasan terhadap penggunaan bagian-bersama, bendabersama, tanah-bersama, dan pemeliharaan serta perbaikannya.
*      Ketentuan tentang perhimpunan penghuni dan badan pengelola sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

H.    Hapusnya Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun


Pasal 50 PP No.4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun menyatakan bahwa Hak Milik atas satuan rumah susun hapus karena:
*        Hak atas tanahnya hapus menurut peraturan perundangan yang berlaku, misalnya karena adanya pencabutan hak atas tanah dan sebagainya. Apabila hal ini terjadi, maka setiap pemilik berhak memperoleh bagian atas milik bersama, terhadap bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama sesuai dengan nilai perbandingan propersionalnya.
*        Terpenuhinya syarat batal, yaitu apabila salah satu unsur sebagaimana diatur dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang rumah susun satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah, bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama tidak terpenuhi lagi
*        Hak guna bangunan atas tanah berakhir karena tidak diperpanjang atau di perbaharui.
*        Tanah dan bangunannya musnah misalnya karena bencana alam dan sebagainya.
*        Pelepasan hak secara suka rela oleh pemiliknya kepada Negara.

 

BAB III

KESIMPULAN


"Rumah Susun" adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian-bersama, benda-bersama dan tanah bersama.
Tujuan dan atau dasar pembentukan Undang-Undang Rumah Susun (UURS) adalah :
*        Demi terwujudnya kesejahteraan umum dan peningkatan taraf hidup rakyat, khususnya dalam usaha pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok akan perumahan sebagaimana diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara.
*        Demi terlaksananya tujuan/cita-cita luhur tersebut diperlukan perumahan yang layak dengan harga yang dapat dijangkau oleh daya beli rakyat, terutama golongan masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah.
*        Dibangunnya perumahan dengan sistem lebih dari satu lantai, disebabkan dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan, perlu lebih ditingkatkannya kualitas lingkungan perumahan dimaksud, terutama di daerah-daerah yang berpenduduk padat, padahal luas tanah yang tersedia terbatas.
Pembangunan rumah susun dapat diselenggarakan oleh :
1.        Badan Usaha Milik Negara atau Daerah
2.        Koperasi
3.        Badan Usaha Milik Swasta yang bergerak dalam bidang itu
4.        Swadaya Masyarakat.
Dalam Pasal 10 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun menyatakan bahwa : Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 (3) dapat beralih dengan cara pewarisan atau dengan cara pemindahan hak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Salah satu cara pemindahan hak tersebut adalah dengan jual beli yang merupakan salah satu dari bentuk perjanjian/persetujuan.
Sewa-menyewa rumah susun adalah suatu perjanjian (kontrak) yang dibuat oleh pemilik dengan penyewa rumah, baik secara lisan maupun secara tertulis, untuk penggunaan suatu rumah dalam waktu dan dengan pembayaran sewa yang disepakati oleh kedua belah pihak.
perjanjian jual beli rumah susun antara pembeli (konsumen) dan pengembang ada hubungan hukum yang akan menimbulkan hak dan kewajiban, baik bagi konsumen maupun bagi pengembang. Hak dan kewajiban kedua belah pihak dituangkan dalam suatu akta, baik akta dibawah tangan maupun akta otentik. Untuk lebih memperoleh kepastian hukum, maka ada baiknya dibuat dengan akta otentik yang dibuat oleh Notaris.
Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan atau kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan hutang dengan :
a. dibebani hipotik, jika tanahnya tanah hak milik atau hak guna bangunan;
b. dibebani fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah Negara.
Hak milik atas satuan rumah susun hapus karena:
*      Hak atas tanahnya hapus menurut peraturan perundangan yang berlaku, misalnya karena adanya pencabutan hak atas tanah dan sebagainya.
*      Terpenuhinya syarat batal, yaitu apabila salah satu unsur sebagaimana diatur dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang rumah susun satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah, bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama tidak terpenuhi lagi
*      Hak guna bangunan atas tanah berakhir karena tidak diperpanjang atau di perbaharui.
*      Tanah dan bangunannya musnah misalnya karena bencana alam dan sebagainya.
*      Pelepasan hak secara suka rela oleh pemiliknya kepada Negara.

DAFTAR PUSTAKA


Gutama,Sudargo dan T.Soetiyarto, Ellyda, Komentar Atas Peraturan-Peraturan   Pelaksana UUPA 1966, Bandung: Citra Aditya Bakti,1997
 Hamzah, Andi, Dasar-dasar Hukum Perumahan.Jakarta: Rineka Cipta, 2000
                   Subekti, Hukum Pejanjian, Jakarta: Intermassa,1991
Supriyadi SH, M.Hum, Hukum Agraria,Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Sutedi, Adrian, Hukum Rumah Susun dan Apertemen,Jakarta: Sinar Grafika, 2010



Tidak ada komentar:

Posting Komentar