Kamis, 18 Oktober 2012

RUANG BERLAKUNYA PERATURAN-PERATURAN HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT



BAB I

Pendahuluan

A.    Latarbelakang


Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat ini penting untuk menjawab pertanyaan, sampai dimana berlakunya undang-undang hukum pidana dari suatu Negara dan bila mana Negara berhak melakukan penentuan terhadap suatu perbuatan orang yang merupakan tindak pidana. Oleh karena berlakunya aturan pidana itu dibatasi oleh tempat /wilayah, maka asas-asas berlakunya aturan pidana menurut tempat menjadi penting untuk menghindari pertentangan yurisdiksi dengan Negara lain disatu sisi dan menghindari lepasnya suatu tindak pidana dari tuntutan hukum disisi yang lain.
Pembentuk undang-undang  dapat menetapkan ruang berlakunya undang-undang yang dibuatnya. Pembentuk undang-undang dapat menetapkan berlakunya undang-undang pidana terhadap tindak-tindak pidana yang terjadi didalam atau diluar wilayah Negara.  Wilayah suatu Negara meliputi: daratan Negara, perairan laut territorial yang lebarnya ditentukan hukum internasional, dan udara yang ada diatas wilayah Negara itu.

B.     Rumusan Masalah


Dalam latarbelakang makalah tersebut dapat menimbulakan rumusan masalah sebagai berikut :
a)         Apakah asas teritorial itu?
b)         Apakah asas personal (nasional aktif)?
c)         Apakah asas perlindungan (nasional pasif)
d)        Apakah asas universal?


BAB II

Pembahasan

A.    Asas Teritorial Atau Wilayah


Pertama-tama kita lihat bahwa hukum pidana suatu Negara berlaku diwilayah Negara itu sendiri. Ini merupakan yang paling pokok dan juga asas yang paling tua. Adalah logis kalau ketentuan-ketentuan hukum suatu Negara berlaku diwilayahnya sendiri.

Bahkan didalam hukum adat pun dikenal asas demikian. Misalnya Van Vollenhoven membagi Indonesia atas 19 wilayah hukum adat,  yang merupakan pembagian berdasar asas teritorialitas. A.Z. abiding menyatakan, bahwa menurut hukum adat pidana di Sulawesi selatan berdasarkan lontra’, berlaku asas wilayah, terparti dalam pepatah adat “dimana api menyala, disitu dipadamkan”, yang berarti dimana delik dilakukan, disitu diadili berdasar atas adat yang berlaku diwilayah itu.

Asas wilayah atau teritorialitas ini tercantum dalam pasal 2 KUHP, yang berbunyi: “Aturan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia”. Setiap orang berarti orang Indonesia maupun orang asing yang melakukan tindak pidana. Dalam melakukan tindak pidana itu orang tidak perlu diwilayah Indonesia. Seseorang yang ada diluar negri dapat pula melakukan delik di Indonesia.

Dalam konteks hukum pidana, diberlakukan undang-undang yang berlaku ditempat tindak pidana itu (Lex loci delicti) dan sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 KUHP dikenal sejak abad ke-sembilan. Berlakunya asas tersebut bertolak dari satu pemikiran, bahwa setiap Negara berkewajiban menjamin keamanan dan ketertiban diwilayah negaranya masing-masing. Dengan demikian, berlakunya asas territorial ini didasarkan pada asas kedaulatan Negara suatu bangsa, yang meliputi seluruh wilayah Negara yang bersangkutan, sehingga setiap orang baik yang secara tetap maupun yang untuk sementara berada dalam wilayah Negara tersebut, harus mentaati dan mendudukan diri pada segala perundang-undangan yang berlaku di Negara itu.
Berlakunya asas territorial dalam pasal 2 KUHP diatas diperluas dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan :
“ aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”.
Patut dicatat, bahwa meskipun demikian ketentuan pasal 3 KUHP tersebut memperluas berlakunya ketentuan pasal 2 KUHP (tentang asas territorial), tetapi tidak dapat ditarik kesimpulan, bahwa kendaraan air atau pesawat udara Indonesia itu merupakan sebagian wilayah Negara (Indonesia), sehingga apa yang terjadi didalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia disimpulkan terjadi dalam wilayah atau territorial Indonesia. Apabila disimpulkan demikian, maka hal itu akan bertentangan dengan asas territorial yang juga di anut oleh Negara lain. Apabila sebuah kendaraan air (perahu/kapal) Indonesia sedang ada di territorial Negara lain dan dalam kapal itu misalnya terjadi tindakan pidana, maka terhadap tindak pidana itu dapat diperlakukan aturan pidana Indonesia. Tetapi juga perlu diingat, bahwa aturan dimana tem pat kapal itu berlabuh juga dapat diperlakukan, malah yang disebut terahir dapat mengesampingkan berlakunya aturan pidana dari bendera kapal atau pemilik kapal yaitu Indonesia.

B.     Asas Personalitas (Nasional Aktif)


Asas personalitas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum pidana Indonesia mengikuti warganegaranya kemanapun ia berada. Asas ini bagaikan ransel yang melekat pada punggung warga Negara Indonesia kemanapun ia pergi. Inti asas ini tercantum di dalam pasal 5 KUHP.
Pasal itu berbunyi: “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan republik Indonesia berlaku bagi warga Negara Indonesia yang melakukan diluar wilayah Indonesia:
1.      Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga Negara (Indonesia, pen) yang di luar Indonesia melakukan;
Ke-1 Salah satu kejahatan tersebut dalm bab I dan bab II buku kedua dan pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451
Ke-2 Salah satu perbuatan oleh suatu aturan pidana dalam perundang-undangan Negara dimana perbuatan itu dilakukan, diancam dengan pidana
2.      Penuntutan perkara sebagai dimaksud dalam (ayat 1, pen) ke-2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan.
Berdasarkan ketentuan pasal 5 KUHP khususnya ayat 1 yang menyatakan: “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga Negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia” tersimpul pendapat, bahwa dalam ketentuan tersebut terkandung adanya asas personal atau asas nasional aktif. Namun demikian, apabila dilihat isi atau substansi ketentuan pasal 5 KUHP tersebut hakikatnya memuat prinsip melindungi kepentingan nasional. Degan demikian ketentuan pasal 5 KUHP disamping memuat asas personal juga memuat asas perlindungan.
Pasal 5 KUHP  melindungi kepentingan nasional yang diatur dalam Bab I dan Bab II buku kedua KUHP secara keseluruhan dengan demikian tidak hanya terbatas dalam pasal 104, 106, 107, 108, 110, 111 bis ke-1, 127 dan 131 KUHP, bahkan perlindungan diperluas terhadap kejahatan-kejahatan yang ditentukan pada pasal 4 ke-2 KUHP.
Hal penting dari berlakunya pasal 5 KUHP adalah yang ditentukan pasal 5 (1) ke-2 KUHP,ketentuan itu untuk mencegah, agar warga Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di Negara asing tetap dapat diadili berdasarkan aturan pidana Indonesia apabila dia melarikan diri ke Indonesia untuk menghindari penuntutan di Negara ia melakukan tindak pidana.

C.    Asas Perlindungan (Nasional Pasif)


Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu Negara (juga Indonesia) berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negri, jika karena itu kepentingan tertentu terutama kepentingan Negara dilanggar di luar wilayah kekuasan wilayah Negara itu . asas ini tercantum di Pasal 4 ayat 1, 2 dan 4 KUHP. Kemudian asas ini diperluas dengan undang-undang nomer 4 tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan juga oleh pasal 3 undang-undang nomer 7 (drt) tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi.
Disini yang dilindungi bukanlah kepentingan individual orang Indonesia, tetapi kepentingan nasional atau kepentingan umum yang lebih luas. Jika orang Indonesia menjadi korban delik diwilayah Negara lain, yang dilakukan oleh warga Negara asing, maka hukum pidana Indonesia tidak berlaku. Diberi kepercayaan kepada setiap Negara untuk menegakan hukum di wilayahnya sendiri.
Asas perlindungan ini termuat dalam beberapa pasal, yaitu pasal 4 ke-1, ke-2 dan ke-3, pasal 7 dan pasal 8 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
a.       Pasal 4 KUHP menyatakan: “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar Indonesia melakukan :
Ke-1      Salah satu kejahatan tersebut pasal-pasal 104, 106, 107, 108, 110, 111 bis ke-1, 127 dan 131
Ke-2    Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dilakukan oleh Negara atau bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merk yang digunakan pemerintah Indonesia.
Ke-3     Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pemalsuan talon, tanda devinden atau tanda bunga
b.      Pasal 7 KUHP menyatakan : “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang diluar Indonesia melakukan salah suatu pidana tersebut dalam bab XXVIII buku kedua
c.       Pasal 8 KUHP menyatakan : “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yang diluar diluar Indonesia sekalipun diluar perahu, melakukan salah satu perbuatan pidana tersebut bab XXIX buku kedua, dan bab IX buku ketiga, begitupun yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal Indonesia.”
Diterapkannya asas perlindungan ini hanya terbatas pada perbuatan-perbuatan yang sungguh-sungguh melanggar kepentingan nasional yang sangat penting yaitu kepentingan Negara. Kepentingan hukum nasional yang dipandang membutuhkan perlindungan adalah perbuatan yang diatur dalam tiga pasal diatas yaitu pasal 4 ke1, ke-2, ke-3, pasal 7 dan pasal 8 KUHP yaitu kepentingan nasional yang berupa :
                                i.            Terjaminnya keamanan Negara dan terjaminnya keselamatan serta martabat  kepala Negara dan wakilnya
                              ii.            Terjaminnya kepercayaan terhadap mata uang, materai-materai dan merk-merk yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia.
                            iii.            Terjaminnya kepercayaan terhadap surat-surat atau sertifikat-sertifikat utang yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia.
                            iv.            Terjaminnya para pegawai Indonesia tidak melakukan kejahatan jabatan diluar negri.
                              v.            Terjaminnya keadaan, bahwa nahkoda dan atau penumpang-penumpang perahu Indonesia tidak melakukan kejahatan atau pelanggaran pelayaran di luar Indonesia.

D.    Asas Universal


Asas ini melihat hukum pidana berlaku umum, melampaui batas ruang wilayah dan ruang orang (Indonesia). Yang dilindungi disini ialah kepentingan dunia. Jenis kejahatan yang diancam pidana menurut asas ini sangat berbahaya bukan saja dilihat dari kepentingan Indonesia tetapi juga kepentingan dunia. Secara universal (menyeluruh di seantero dunia) jenis kejahatan ini dipandang perlu dicegah dan perlu diberantas. Demikianlah sehingga orang jerman menamakan asas ini weltrechtsprinzip (asas hukum dunia). Di sini kekuasaan kehakiman menjadi mutlak karena yurisdiksi pengadilan tidak tergantung lagi pada tempat terjadinya delik atau nasionalitas atau domisili terdakwa.
Asas ini diatur dalam pasal-pasal :
-          4 sub ke-2 KUHP, khususnya kalimat pertama yang berbunyi : “melakukan salah satu kejahatan tentang mata uang, uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau bank.”
-          4 sub ke-4 KUHP, yang berbunyi : “melakukan salah satu kejahatan yang ditentukan dalam pasal 458, 444-446 tentang perampokan di laut dan yang ditentukan dalam pasal 447  tentang penyerahan alat pelayaran kepada perampok laut.”
Pasal 1 undang-undang nomor 4 tahun 1976, selain mengubah pasal 3 KUHP, juga mengubah dan menambah pasal 4 sub-4 sehingga berbunyi: “salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal 438, 444 sampai dengan pasal 440 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang pengusaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf 1, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.”
Diberikan juga penafsiran otentik mengenai perkataan “pesawat udara Indonesia” (pasal 95a) dan perkataan “dalam penerbangan” serta “dalam dinas” (pasal 95b).
Dalam undang-undang nomor 4 tahun 1976 itu, diciptakan pula delik baru tentang penerbangan, yaitu bab XXIX A dari pasal 479a sampai dengan 479b. mengenai kejahatan tentang mata uang, dapat kita katakan sebagai hukum internasional, karena tidak lagi dipersoalkan mata uang Negara mana, di mana dilakukan dan siapa pembuatnya. Ini didasarkan pada konvensi jenewa 1929.



BAB III

Penutup

A.    Kesimpulan


Pembahasan makalah kali ini yaitu, ruang berlakunya peraturan-peraturan pidana menurut tempat yang mana dalam bab ini bias ditemukan empat asas pokok dimana delik pidana dilakukan. Empat asas itu adalah : pertama asas territorial, didalam asas territorial atau wilayah ini suatu Negara sangatlah diperhitungkan, jika ada warga Negara ataupun warga Negara asing melakukan tindakan pidana di wilayah Negara lain maka warga Negara asing tersebut harus mematuhi hukum pidana yang ada di Negara tersebut. Territorial wilayah Negara yaitu: daratan Negara, perairan laut territorial yang lebarnya telah ditentukan oleh hukum internasional, dan udara yang ada di atas Negara itu. Kedua,asas personal (nasional aktif), asas ini melekat kepada perseorangan dimanapun orang itu berada maka asas ini selalu melekat dalam dirinya , ada yang mengatakan bahwa asas ini sebagaimana ransel yang ada pada punggung seseorang. Ketiga asas perlindungan (nasional pasif) asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu Negara berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negri. Dalam asas ini yang dilindungi adalah kepentingan nasional bukan kepentingan perorangan. Keempat asas universal dalam asas ini dijelaskan bahwa kepentingan yang dilindungi adalah kepentingan internasional, asas ini menyeluruh di seluruh dunia, asas ini tidak memperhatikan wilayah atau Negara apalagi individu, dalam assas ini yang diperhatikan adalah keamanan internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar