Senin, 09 April 2012

SEJARAH PERADILAN AGAMA PADA MASA BELANDA (STAATSBLAD 1937 NO 116)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.
Sebelum Belanda melancarkan politik hukum (Islam politik) di Indonesia, Islam mendapat tempat di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Muslim di belahan nusantara. Islam menjadi pilihan Masyarakat karena  secara teologis ajarannya memberikan keyakinan dan kedamaian bagi pengikutnya. Masyarakat  masa itu dengan rela dan patuh serta tunduk mengikuti ajaran-ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun, keadaan itu kemudian menjadi terganggu dengan munculnya kolonialisme Barat yang membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi.  
Dari misi-misi Belanda diantaranya misi politik, yang mana sistem ini ingin menghancurkan sistem politik yang sudah ada pada Masyarakat nusntara yaitu sistem politik Islam. Sebelum Belanda masuk ke nusantara, sistem politik dinusantara sudah tertata, seperti hukum Islam yang sudah ada dan sudah dijalankan oleh Masyarakat nusantara. Setelah Belanda menguasai nusantara maka sistem yang sudah ada mulai dijajah dengan sistem Barat yang dibawa Belanda. Diantaranya di buatlah peraturan-peraturan yang melenceng dari aturan Islam.





BAB II
PEMBAHASAN
A.     Faktor Utama Terbentuknya Staatsblad (1882-1937)
Pada mulanya pemerintah Belanda tidak ingin mencampuri organisasi pengadilan Agama. Tetapi pada tahun 1882 dikeluarkan penetapan Raja Belanda yang dimuat dalam staatsblad 1882 nomor 152, yang mengatur bahwa pengadilan agama di Indonesia (PADI) di Jawa dan Madura dilaksanakan di pengadilan agama,yang dinamakan priestrraad atau majelis pendeta. Menurut Notosusanto (1963:6), penamaan tersebut sebenarnya keliru, oleh karena dalam agama Islam tidak dikenal pranata pendetaan atau padre. Kekeliruan itu dikecam oleh Snouck Hurgronje (1973:21), yang menyatakaan bahwa hal itu sebagai akibat kedangkalan pengetahuan pemerintah.
Kebijakan untuk tidak mencampuri urusan agama ini sebenarnya hanya persoalan tameng waktu yang strategis saja, karena pemerintah Hindia Belanda belum berani mencampuri masalah Islam, sehingga mereka belum mempunyai kebijakan yang jelas mengenai ini. Faktor selain pertimbangan waktu, mereka saat itu belum memiliki pengetahuan mengenai Islam dan bahasa Arab serta pemerintah Belanda juga belum mengetahui sistem sosial Islam. Keenggenan untuk mencampuri masalah Islam ini tercermin dalam undang-undang Hindia Belanda ayat 119 RR: “setiap warga Negara bebas menganut pendapat agamanya, tidak kehilangan perlindungan masyarakat dan anggotanya atas pelanggaran peraturan umum hukum agama”.
B.     Pendapat Para Ahli Hukum.
Oleh sebab itulah pada abad ke-19 ini pula berkembang pendapat dikalangan ahli hukum Belanda yang menyatakan di Indonesia berlaku hukum Islam (Mohammadansche Recht) walaupun terdapat penyimpangan-penyimpangan. Pandangan ini di kuatkan Salomon Keyzer (1823-1868) dan Lodwijk Willem Charstian van den Berg (1845-1927) serta Carel Frederik Winter (1799-1859) yang  menegaskan hukum mengikuti agama yang dianut seseorang, jika orang itu beragama Islam, hukum Islam yang berlaku baginya.
Menindak lanjuti pendapat itu tahun 1884 Berg menulis asas-asas hukum Islam (Mohammadansche Recht) menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i untuk memudahkan para pejabat pemerintah Hindia Belanda dalam merespon kepetingan hukum Islam masyarakat Jawa. Berselang delapan tahun (1892) terbit pula tulisannya mengenai hukum keluarga dan kewarisan Islam di Jawa dan Madura dengan beberapa penyimpangan. Van den Berg menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam karena dia telah memeluk agama Islam. Walaupun dalam realitas pengamalannya sering terdapat penyimpangan-penyimpangan dari ajaran pokok Isalam. Dengan karya-karya itu Berg mengupayakan agar hukum Islam dijalankan oleh Hakim-Hakim dari Belanda dengan bantuan penghulu atau qadli-qadli Islam.
Karena pendapat dan karyanya  itu Berg disebut sebagai penemu dan Bapak teori receptio in comlexu. Menurutnya orang Islam dalam keseuruhannya dan satu kesatuan. Yang diterima orang-orang Islam, tapi keseluruhannya sebagai satu kesatuan.
Kemudian terjadi purubahan politik hukum, Belanda merasa perlu memperlakukan hukum Barat (Belanda) untuk semua penduduk, termasuk untuk golongan Bumiputra, yang terkenal dengan teori unifikasi hukum. Karena kebijakan ini dianggap Snouck kurang strategis untuk menghentikan pemberlakuan hukum Islam, maka unifikasi ini digagalkan oleh ahli hukum Belanda sendiri yang di pelopori Christian Snouck Hurgronje.
Menurut Snouck lebih baik mencari jalan lain yang lebih halus dari pada memaksakan hukum Barat (Belanda). Karena politik seperti ini semakin membangun kebencian warga Indonesia dan dinilai kurang efektif. Oleh sebab itu langkah yang diambil bukan memaksakan hukum Belanda, tetapi yang utama adalah membentuk opini serta mempengaruhi dan mengacaukan imge mereka terlebih dahulu dengan melahirkan teori receptie yang sengaja dihembuskan untuk mengacaukan sistem hukum yang telah ditaati masyarakat ketika itu, yakni hukum Islam.   
The ultime goal  mereka agar antara adat, hukum islam, dan hukum Barat terjadi perbenturan. Jika pergumulan terjadi, maka hukum Belanda yang talah di dukung oleh kekuatan politik dan sarjana hukum didikan Belanda yang loyal terhadap produk hukum Belanda menjadi menguat. Sementara hukum Islam dengan sendirinya akan lemah. Usaha ini ternyata efektif dan berhasil, sehingga sampai sekarang pun hukum Islam berada dalam ketidak beruntungan di tanah air ini.

C.      Teori Hukum
Perbedaan pendapat antara para tokoh hukum, menjadikan munculnya teori-teori hukum yang ada di Indonesia:
1.      Teori Receptio in complexu yaitu, teori yang menitik beratkan pada dasar pengikut suatu agama, maksudnya bahwa bagi orang Islam berlaku juga hukum Islam karena orang itu telah memeluk agama Islam. Teori ini di cetuskan oleh Van den Berg.
2.      Teori unifikasi hukum yaitu teori yang memperlakuakan hukum Barat untuk semua golongan penduduk baik Islam, Hindu, Kristen, maupun Budha serta golongan bumiputra.
3.      Teori hukum adat adalah teori yang mengatakan bahwa hukum hanya karena adat, bisa dikatakan bahwa hukum adat adalah suatu sistem yang artificial, buatan atau karangan, yang dipakaikan baju ilmiah, yang tujuaanya jauh dari bidang hukum. Teori hukum adat diciptakan oleh van Vollenhoven .
D.  Sejarah Penetapan Staatsblad 1937 No 116.
 Dimulai dari usaha dan cara yang gigih serta sistematis akhirnya berhasil mengubah dan menggantikan teori reception in complex yang terdapat pada pasal 78 ayat (2) dan 109 RR (stbl. No. 2) yang kemudian menjadi pasal 134 (2) IS, dengan teori receptie. Bersamaan dengan perubahan nama undang-undang dasar Hindia Belanda dari RR menjadi indishe staatsregeling (IS)  pada 1919, maka pasal 134 ayat (2) yang baru berbunyi: dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat dan sejauh tidak ditentukan lain oleh ordonantie. Arti pasal ini adalah hukum Islam baru berlaku seandainya telah diresepsi oleh hukum adat. Perubahan ini melalui Staatsblad. 1929 No.221.
Perubahan itu mempunyai konsekuesi yang tidak menguntungkan perkembangan hukum Islam, khususnya sejak perubahan pasal 134 itu. Maka wewenang peradilan agama di Jawa dan Madura diperkecil dan dibatasi wewenangnya pada hukum perkawinan saja. Sedangkan perkara waris yang selama ini wewenangnya dicabut dan kemudian dialihkan ke pengadilan umum lewat Staatsblad. 1937 No 116 dan 610. Demikian pula di Kalimantan Selatan didirikan Kerapatan Qadli dan Kerapatan Qadli Besar melalui Staatsblad 1937 No 638 dan 639 yang wewenangnya persis Jawa dan Madura.  
Pada tahun 1922 pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi untuk meninjau ulang wewenang Pengadilan Agama atau yang mereka sebut priesterrad atau raad agama di Jawa dan Madura yang semenjak 1882 wewenang raad agama ini meliputi perkawinan, kewarisan, dan wakaf. Komisi dipimpin oleh PA Hoesein Djajaningrat ini memberi rekomendasi kepada gubernur jendral Hindia Belanda untuk meninjau kembali wewenang pengadilan agama, meski sebagai pemimpin Djajaningrat tidak terlepas dari pengaruh Ter Haar. Alasan peninjauan hukum kewarisan karena belum diterima oleh hukum adat. Maka melalui pasal 2 ayat (1) Staatsblad. 1937. No 116 dicabut wewenang mengadili perkara waris. Menurut Hazairin sebagaimana dikutip oleh Daud Ali, Staatsblad. 1937. No 116 itu, usaha giat Raja-Raja Islam di Jawa menyebarkan hukum Islam dihalangi dan dihentikan oleh pemerintah sejak 1 April 1937.
E.  Dasar Ditetapkannya Staatsblad 1937. No 116
Berdasarkan pengamatan Daniel s. Lev, yang menjadi penggerak dibidang usaha mengubah wewenang pengadilan agama itu adalah Ter Haar dan para peminat ahli hukum adat yang yang berada disekitar Sekolah Tinggi Hukum (RHS) di Jakarta (Bataia) dan sekitar van Vollenhoven di Leiden. Hoven dan Ter Haar menguasai politik hukum Belanda pada bagian pertama abad ke-20 dan telah berhasil meletakan dasar pengembangan hukum adat dan menarik simpati orang Belanda yang tidak senang kepada Islam.
Kedua ahli hukum adat mengemukakan dalih bahwa dalam keyataannya hukum Islam itu tidak mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan di Jawa dan bagian Indonesia yang lain. Hukum Islam mengenai waris menurut mereka sedikit sekali hubungannya dengan rasa keadilan hukum masyarakat Indonesia., karena hukum Islam mengenai kewarisan bersifat Individual sedang hukum kewarisan adat bersifat komunal. Karena hukum Islam mengenai kewarisan belum sepenuhnya diresepsi hukum adat atau diterima adat Jawa, maka wewenang untuk mengadili soal waris selama ini berada di pengadilan agama di Jawa dan Madura, kemudian diserahkan kepada Landraad (pengadilan negri) yang mengadili berdasarkan hukum adat yang sesuai dengan perasaan keadilan hukum masyarakat setempat.
Secara argumentative Ter Haar mengajukan serangkaian pemikiran, Mengapa kompetensi pengadilan agama perlu disederhanakan, yakni:
1.      Adanya dualisme peradilan (terutama dalam masalah waris) akan memakan waktu dan biaya.
2.      Hukum waris Islam berhubungan dengan kenyataan masyarakat Jawa dan belum menjadi hukum adat.
3.      Peradilan agama berasal dari lingkungan raja-raja feudal.
4.      Keputusan peradilan agama terasa asing dari cara waris-mewaris yang menjadi kesadaran rakyat.
Argumentasi Ter Haar kemudian mendapat tanggapan serius dari pemerintah kolonial Belanda yang sesuai dengan kehendak politik terencana untuk membatasi serta mengurangi kompetensi peradilan agama. Alasan inilah yang menyebabkan lahirnya staatsblad 1937. Nomor 116, yang mengubah kompetensi peradilan agama sehingga dalam bidang-bidang sebagai berikut:
1.      Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam.
2.      Perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk dan perceraian antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan perantara hakim agama Islam.
3.      Member putusan perceraian.
4.      Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang di gantungkan (taklik talak) sudah ada.
5.      Perkara mahar (mas kawin), sudah termasuk mut’ah.
6.      Perkara tentang keperluan kehidupan suami istri yang wajib diadakan oleh suami.
Dengan diperlakukannya Staatsblad 1933 Nomor 74 terhadap penduduk pribumi yang beragama Nasrani, jelas teori receptie yang diberlakukan terhadap orang Islam dilaksanakan tidak adil dan konsekuen, sebab tidak dapat diketahui dengan pasti apakah hukum Nasrani itu sudah diterima dengan ikhlas dan menjadi hokum adat. Berarti penggunaan teori receptie oleh pemerintah Belanda dengan mengenyampingkan hokum Islam dan memakai hokum adat bertujuan untuk melemahkan kedudukan hokum Islam. Tidak hanya dibidang hokum, dalam pendidikan Islam juga menurut Army Vandenbosch terjadi diskriminasi dibuktikan dengan subsidi yang diberikan pemerintah kepada gereja jauh melampaui proposi penduduk beragama Kristen, sedangkan terhadap agama Islam berupa pengeluaran pelbagai peraturan yang memberikan kontrol secara ketat.
Usaha untuk meredusir berlakunya hokum Islam melalui wewenang pengdilan Agama (staatsblad 1937 No. 116) tersebut angkanya dipengaruhi oleh semakin kuatnya pendapat dikalangan politisi dan akademisi Belanda bahwa masalah perkawinan dan warisan adalah masalah Negara. Prof. H.J Nauta misalnya menulis dalam surat kabar Nieuwe Rotterdamsche Courant tanggal 27 Juli 1937 bahwa agama Islam boleh dianggap sebagai Negara dalam Negara (staat in den staat) karena dalam pandangan Barat pengaturan hubungan dimensi horizontal antara manusia seperti perkawinan dan warisan adalah sebagai masalah dan kewenangan Negara, bukan agama.

BAB III
KESIMPULAN
Pada mulanya pemerintah Belanda tidak ingin mencampuri organisasi pengadilan Agama. Tetapi pada tahun 1882 dikeluarkan penetapan Raja Belanda yang dimuat dalam staatsblad 1882 nomor 152.
Van den Berg menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam karena dia telah memeluk agama Islam. Walaupun dalam realitas pengamalannya sering terdapat penyimpangan-penyimpangan dari ajaran pokok Isalam. Dengan karya-karya itu Berg mengupayakan agar hukum Islam dijalankan oleh Hakim-Hakim dari Belanda dengan bantuan penghulu atau qadli-qadli Islam.
Kemudian terjadi purubahan politik hukum, Belanda merasa perlu memperlakukan hukum Barat (Belanda) untuk semua penduduk, termasuk untuk golongan Bumiputra, yang terkenal dengan teori unifikasi hukum. Karena kebijakan ini dianggap Snouck kurang strategis untuk menghentikan pemberlakuan hukum Islam, maka unifikasi ini digagalkan oleh ahli hukum Belanda sendiri yang di pelopori Christian Snouck Hurgronje
Perbedaan pendapat antara para tokoh hukum, menjadikan munculnya teori-teori hukum yang ada di Indonesia:
1.      Teori Receptio in complexu yaitu, teori yang menitik beratkan pada dasar pengikut suatu agama, maksudnya bahwa bagi orang Islam berlaku juga hukum Islam karena orang itu telah memeluk agama Islam. Teori ini di cetuskan oleh Van den Berg.
2.      Teori unifikasi hukum yaitu teori yang memperlakuakan hukum Barat untuk semua golongan penduduk baik Islam, Hindu, Kristen, maupun Budha serta golongan bumiputra.
3.      Teori hukum adat adalah teori yang mengatakan bahwa hukum hanya karena adat, bisa dikatakan bahwa hukum adat adalah suatu sistem yang artificial, buatan atau karangan, yang dipakaikan baju ilmiah, yang tujuaanya jauh dari bidang hukum. Teori hukum adat diciptakan oleh van Vollenhoven .


Secara argumentative Ter Haar mengajukan serangkaian pemikiran, Mengapa kompetensi pengadilan agama perlu disederhanakan, yakni:
1.      Adanya dualisme peradilan (terutama dalam masalah waris) akan memakan waktu dan biaya.
2.      Hukum waris Islam berhubungan dengan kenyataan masyarakat Jawa dan belum menjadi hukum adat.
3.      Peradilan agama berasal dari lingkungan raja-raja feudal.
4.      Keputusan peradilan agama terasa asing dari cara waris-mewaris yang menjadi kesadaran rakyat.
Alasan inilah yang menyebabkan lahirnya staatsblad 1937. Nomor 116, yang mengubah kompetensi peradilan agama sehingga dalam bidang-bidang sebagai berikut:
1.      Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam.
2.      Perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk dan perceraian antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan perantara hakim agama Islam.
3.      Member putusan perceraian.
4.      Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang di gantungkan (taklik talak) sudah ada.
5.      Perkara mahar (mas kawin), sudah termasuk mut’ah.
6.Perkara tentang keperluan kehidupan suami istri yang wajib diadakan oleh suami.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar