BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang.
Sebelum Belanda melancarkan politik hukum (Islam politik) di
Indonesia, Islam mendapat tempat di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat
Muslim di belahan nusantara. Islam menjadi pilihan Masyarakat karena secara teologis ajarannya memberikan
keyakinan dan kedamaian bagi pengikutnya. Masyarakat masa itu dengan rela dan patuh serta tunduk
mengikuti ajaran-ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun, keadaan
itu kemudian menjadi terganggu dengan munculnya kolonialisme Barat yang membawa
misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi.
Dari misi-misi Belanda diantaranya misi politik, yang mana sistem
ini ingin menghancurkan sistem politik yang sudah ada pada Masyarakat nusntara
yaitu sistem politik Islam. Sebelum Belanda masuk ke nusantara, sistem politik
dinusantara sudah tertata, seperti hukum Islam yang sudah ada dan sudah
dijalankan oleh Masyarakat nusantara. Setelah Belanda menguasai nusantara maka
sistem yang sudah ada mulai dijajah dengan sistem Barat yang dibawa Belanda.
Diantaranya di buatlah peraturan-peraturan yang melenceng dari aturan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Faktor Utama Terbentuknya Staatsblad (1882-1937)
Pada mulanya pemerintah Belanda tidak ingin mencampuri organisasi
pengadilan Agama. Tetapi pada tahun 1882 dikeluarkan penetapan Raja Belanda
yang dimuat dalam staatsblad 1882 nomor 152, yang mengatur bahwa pengadilan
agama di Indonesia (PADI) di Jawa dan Madura dilaksanakan di pengadilan
agama,yang dinamakan priestrraad atau majelis pendeta. Menurut Notosusanto
(1963:6), penamaan tersebut sebenarnya keliru, oleh karena dalam agama Islam
tidak dikenal pranata pendetaan atau padre. Kekeliruan itu dikecam oleh Snouck
Hurgronje (1973:21), yang menyatakaan bahwa hal itu sebagai akibat kedangkalan
pengetahuan pemerintah.
Kebijakan untuk tidak mencampuri urusan agama ini sebenarnya hanya
persoalan tameng waktu yang strategis saja, karena pemerintah Hindia Belanda
belum berani mencampuri masalah Islam, sehingga mereka belum mempunyai
kebijakan yang jelas mengenai ini. Faktor selain pertimbangan waktu, mereka
saat itu belum memiliki pengetahuan mengenai Islam dan bahasa Arab serta
pemerintah Belanda juga belum mengetahui sistem sosial Islam. Keenggenan untuk
mencampuri masalah Islam ini tercermin dalam undang-undang Hindia Belanda ayat
119 RR: “setiap warga Negara bebas menganut pendapat agamanya, tidak kehilangan
perlindungan masyarakat dan anggotanya atas pelanggaran peraturan umum hukum
agama”.
B.
Pendapat
Para Ahli Hukum.
Oleh sebab itulah pada abad ke-19 ini pula berkembang pendapat
dikalangan ahli hukum Belanda yang menyatakan di Indonesia berlaku hukum Islam
(Mohammadansche Recht) walaupun terdapat penyimpangan-penyimpangan. Pandangan
ini di kuatkan Salomon Keyzer (1823-1868) dan Lodwijk Willem Charstian van den
Berg (1845-1927) serta Carel Frederik Winter (1799-1859) yang menegaskan hukum mengikuti agama yang dianut
seseorang, jika orang itu beragama Islam, hukum Islam yang berlaku baginya.
Menindak lanjuti pendapat itu tahun 1884 Berg menulis asas-asas
hukum Islam (Mohammadansche Recht) menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i
untuk memudahkan para pejabat pemerintah Hindia Belanda dalam merespon
kepetingan hukum Islam masyarakat Jawa. Berselang delapan tahun (1892) terbit
pula tulisannya mengenai hukum keluarga dan kewarisan Islam di Jawa dan Madura
dengan beberapa penyimpangan. Van den Berg menyatakan bahwa bagi orang Islam
berlaku penuh hukum Islam karena dia telah memeluk agama Islam. Walaupun dalam
realitas pengamalannya sering terdapat penyimpangan-penyimpangan dari ajaran
pokok Isalam. Dengan karya-karya itu Berg mengupayakan agar hukum Islam
dijalankan oleh Hakim-Hakim dari Belanda dengan bantuan penghulu atau
qadli-qadli Islam.
Karena pendapat dan karyanya
itu Berg disebut sebagai penemu dan Bapak teori receptio in comlexu.
Menurutnya orang Islam dalam keseuruhannya dan satu kesatuan. Yang diterima
orang-orang Islam, tapi keseluruhannya sebagai satu kesatuan.
Kemudian terjadi purubahan politik hukum, Belanda merasa perlu
memperlakukan hukum Barat (Belanda) untuk semua penduduk, termasuk untuk golongan
Bumiputra, yang terkenal dengan teori unifikasi hukum. Karena kebijakan
ini dianggap Snouck kurang strategis untuk menghentikan pemberlakuan hukum
Islam, maka unifikasi ini digagalkan oleh ahli hukum Belanda sendiri yang di
pelopori Christian Snouck Hurgronje.
Menurut Snouck lebih baik mencari jalan lain yang lebih halus dari
pada memaksakan hukum Barat (Belanda). Karena politik seperti ini semakin
membangun kebencian warga Indonesia dan dinilai kurang efektif. Oleh sebab itu
langkah yang diambil bukan memaksakan hukum Belanda, tetapi yang utama adalah
membentuk opini serta mempengaruhi dan mengacaukan imge mereka terlebih dahulu
dengan melahirkan teori receptie yang sengaja dihembuskan untuk
mengacaukan sistem hukum yang telah ditaati masyarakat ketika itu, yakni hukum
Islam.
The ultime goal mereka agar
antara adat, hukum islam, dan hukum Barat terjadi perbenturan. Jika pergumulan
terjadi, maka hukum Belanda yang talah di dukung oleh kekuatan politik dan
sarjana hukum didikan Belanda yang loyal terhadap produk hukum Belanda menjadi
menguat. Sementara hukum Islam dengan sendirinya akan lemah. Usaha ini ternyata
efektif dan berhasil, sehingga sampai sekarang pun hukum Islam berada dalam
ketidak beruntungan di tanah air ini.
C.
Teori Hukum
Perbedaan pendapat antara para tokoh hukum, menjadikan munculnya
teori-teori hukum yang ada di Indonesia:
1.
Teori
Receptio in complexu yaitu, teori yang menitik beratkan pada dasar pengikut
suatu agama, maksudnya bahwa bagi orang Islam berlaku juga hukum Islam karena
orang itu telah memeluk agama Islam. Teori ini di cetuskan oleh Van den Berg.
2.
Teori
unifikasi hukum yaitu teori yang memperlakuakan hukum Barat untuk semua
golongan penduduk baik Islam, Hindu, Kristen, maupun Budha serta golongan
bumiputra.
3.
Teori
hukum adat adalah teori yang mengatakan bahwa hukum hanya karena adat, bisa
dikatakan bahwa hukum adat adalah suatu sistem yang artificial, buatan atau
karangan, yang dipakaikan baju ilmiah, yang tujuaanya jauh dari bidang hukum.
Teori hukum adat diciptakan oleh van Vollenhoven .
D. Sejarah Penetapan
Staatsblad 1937 No 116.
Dimulai dari usaha dan cara
yang gigih serta sistematis akhirnya berhasil mengubah dan menggantikan teori
reception in complex yang terdapat pada pasal 78 ayat (2) dan 109 RR (stbl. No.
2) yang kemudian menjadi pasal 134 (2) IS, dengan teori receptie. Bersamaan
dengan perubahan nama undang-undang dasar Hindia Belanda dari RR menjadi
indishe staatsregeling (IS) pada 1919,
maka pasal 134 ayat (2) yang baru berbunyi: dalam hal terjadi perkara perdata
antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila
keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat dan sejauh tidak ditentukan
lain oleh ordonantie. Arti pasal ini adalah hukum Islam baru berlaku seandainya
telah diresepsi oleh hukum adat. Perubahan ini melalui Staatsblad. 1929 No.221.
Perubahan itu mempunyai konsekuesi yang tidak menguntungkan
perkembangan hukum Islam, khususnya sejak perubahan pasal 134 itu. Maka
wewenang peradilan agama di Jawa dan Madura diperkecil dan dibatasi wewenangnya
pada hukum perkawinan saja. Sedangkan perkara waris yang selama ini wewenangnya
dicabut dan kemudian dialihkan ke pengadilan umum lewat Staatsblad. 1937 No 116
dan 610. Demikian pula di Kalimantan Selatan didirikan Kerapatan Qadli dan
Kerapatan Qadli Besar melalui Staatsblad 1937 No 638 dan 639 yang wewenangnya
persis Jawa dan Madura.
Pada tahun 1922 pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi untuk
meninjau ulang wewenang Pengadilan Agama atau yang mereka sebut priesterrad
atau raad agama di Jawa dan Madura yang semenjak 1882 wewenang raad agama ini meliputi
perkawinan, kewarisan, dan wakaf. Komisi dipimpin oleh PA Hoesein Djajaningrat
ini memberi rekomendasi kepada gubernur jendral Hindia Belanda untuk meninjau
kembali wewenang pengadilan agama, meski sebagai pemimpin Djajaningrat tidak
terlepas dari pengaruh Ter Haar. Alasan peninjauan hukum kewarisan karena belum
diterima oleh hukum adat. Maka melalui pasal 2 ayat (1) Staatsblad. 1937. No
116 dicabut wewenang mengadili perkara waris. Menurut Hazairin sebagaimana
dikutip oleh Daud Ali, Staatsblad. 1937. No 116 itu, usaha giat Raja-Raja Islam
di Jawa menyebarkan hukum Islam dihalangi dan dihentikan oleh pemerintah sejak
1 April 1937.
E. Dasar Ditetapkannya
Staatsblad 1937. No 116
Berdasarkan pengamatan Daniel s. Lev, yang menjadi penggerak
dibidang usaha mengubah wewenang pengadilan agama itu adalah Ter Haar dan para
peminat ahli hukum adat yang yang berada disekitar Sekolah Tinggi Hukum (RHS)
di Jakarta (Bataia) dan sekitar van Vollenhoven di Leiden. Hoven dan Ter Haar
menguasai politik hukum Belanda pada bagian pertama abad ke-20 dan telah
berhasil meletakan dasar pengembangan hukum adat dan menarik simpati orang
Belanda yang tidak senang kepada Islam.
Kedua ahli hukum adat mengemukakan dalih bahwa dalam keyataannya
hukum Islam itu tidak mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan di Jawa
dan bagian Indonesia yang lain. Hukum Islam mengenai waris menurut mereka
sedikit sekali hubungannya dengan rasa keadilan hukum masyarakat Indonesia.,
karena hukum Islam mengenai kewarisan bersifat Individual sedang hukum
kewarisan adat bersifat komunal. Karena hukum Islam mengenai kewarisan belum
sepenuhnya diresepsi hukum adat atau diterima adat Jawa, maka wewenang untuk
mengadili soal waris selama ini berada di pengadilan agama di Jawa dan Madura, kemudian
diserahkan kepada Landraad (pengadilan negri) yang mengadili berdasarkan hukum
adat yang sesuai dengan perasaan keadilan hukum masyarakat setempat.
Secara argumentative Ter Haar mengajukan serangkaian pemikiran, Mengapa
kompetensi pengadilan agama perlu disederhanakan, yakni:
1.
Adanya
dualisme peradilan (terutama dalam masalah waris) akan memakan waktu dan biaya.
2.
Hukum
waris Islam berhubungan dengan kenyataan masyarakat Jawa dan belum menjadi
hukum adat.
3.
Peradilan
agama berasal dari lingkungan raja-raja feudal.
4.
Keputusan
peradilan agama terasa asing dari cara waris-mewaris yang menjadi kesadaran
rakyat.
Argumentasi Ter Haar kemudian mendapat tanggapan serius dari
pemerintah kolonial Belanda yang sesuai dengan kehendak politik terencana untuk
membatasi serta mengurangi kompetensi peradilan agama. Alasan inilah yang
menyebabkan lahirnya staatsblad 1937. Nomor 116, yang mengubah kompetensi
peradilan agama sehingga dalam bidang-bidang sebagai berikut:
1.
Perselisihan
antara suami istri yang beragama Islam.
2.
Perkara-perkara
tentang nikah, talak, rujuk dan perceraian antara orang-orang yang beragama
Islam yang memerlukan perantara hakim agama Islam.
3.
Member
putusan perceraian.
4.
Menyatakan
bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang di gantungkan (taklik talak) sudah ada.
5.
Perkara
mahar (mas kawin), sudah termasuk mut’ah.
6.
Perkara
tentang keperluan kehidupan suami istri yang wajib diadakan oleh suami.
Dengan diperlakukannya Staatsblad 1933 Nomor 74 terhadap penduduk
pribumi yang beragama Nasrani, jelas teori receptie yang diberlakukan terhadap
orang Islam dilaksanakan tidak adil dan konsekuen, sebab tidak dapat diketahui
dengan pasti apakah hukum Nasrani itu sudah diterima dengan ikhlas dan menjadi hokum
adat. Berarti penggunaan teori receptie oleh pemerintah Belanda dengan mengenyampingkan
hokum Islam dan memakai hokum adat bertujuan untuk melemahkan kedudukan hokum Islam.
Tidak hanya dibidang hokum, dalam pendidikan Islam juga menurut Army
Vandenbosch terjadi diskriminasi dibuktikan dengan subsidi yang diberikan
pemerintah kepada gereja jauh melampaui proposi penduduk beragama Kristen,
sedangkan terhadap agama Islam berupa pengeluaran pelbagai peraturan yang
memberikan kontrol secara ketat.
Usaha untuk meredusir berlakunya hokum Islam melalui wewenang
pengdilan Agama (staatsblad 1937 No. 116) tersebut angkanya dipengaruhi oleh
semakin kuatnya pendapat dikalangan politisi dan akademisi Belanda bahwa
masalah perkawinan dan warisan adalah masalah Negara. Prof. H.J Nauta misalnya
menulis dalam surat kabar Nieuwe Rotterdamsche Courant tanggal 27 Juli 1937
bahwa agama Islam boleh dianggap sebagai Negara dalam Negara (staat in den
staat) karena dalam pandangan Barat pengaturan hubungan dimensi horizontal
antara manusia seperti perkawinan dan warisan adalah sebagai masalah dan
kewenangan Negara, bukan agama.
BAB III
KESIMPULAN
Pada mulanya pemerintah Belanda
tidak ingin mencampuri organisasi pengadilan Agama. Tetapi pada tahun 1882
dikeluarkan penetapan Raja Belanda yang dimuat dalam staatsblad 1882 nomor 152.
Van den Berg menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum
Islam karena dia telah memeluk agama Islam. Walaupun dalam realitas pengamalannya
sering terdapat penyimpangan-penyimpangan dari ajaran pokok Isalam. Dengan
karya-karya itu Berg mengupayakan agar hukum Islam dijalankan oleh Hakim-Hakim
dari Belanda dengan bantuan penghulu atau qadli-qadli Islam.
Kemudian terjadi purubahan politik
hukum, Belanda merasa perlu memperlakukan hukum Barat (Belanda) untuk semua
penduduk, termasuk untuk golongan Bumiputra, yang terkenal dengan teori
unifikasi hukum. Karena kebijakan ini dianggap Snouck kurang strategis untuk
menghentikan pemberlakuan hukum Islam, maka unifikasi ini digagalkan oleh ahli
hukum Belanda sendiri yang di pelopori Christian Snouck Hurgronje
Perbedaan pendapat antara para tokoh hukum, menjadikan munculnya
teori-teori hukum yang ada di Indonesia:
1.
Teori
Receptio in complexu yaitu, teori yang menitik beratkan pada dasar pengikut
suatu agama, maksudnya bahwa bagi orang Islam berlaku juga hukum Islam karena
orang itu telah memeluk agama Islam. Teori ini di cetuskan oleh Van den Berg.
2.
Teori
unifikasi hukum yaitu teori yang memperlakuakan hukum Barat untuk semua
golongan penduduk baik Islam, Hindu, Kristen, maupun Budha serta golongan
bumiputra.
3.
Teori
hukum adat adalah teori yang mengatakan bahwa hukum hanya karena adat, bisa
dikatakan bahwa hukum adat adalah suatu sistem yang artificial, buatan atau
karangan, yang dipakaikan baju ilmiah, yang tujuaanya jauh dari bidang hukum.
Teori hukum adat diciptakan oleh van Vollenhoven .
Secara argumentative Ter Haar mengajukan serangkaian pemikiran, Mengapa
kompetensi pengadilan agama perlu disederhanakan, yakni:
1.
Adanya
dualisme peradilan (terutama dalam masalah waris) akan memakan waktu dan biaya.
2.
Hukum
waris Islam berhubungan dengan kenyataan masyarakat Jawa dan belum menjadi
hukum adat.
3.
Peradilan
agama berasal dari lingkungan raja-raja feudal.
4.
Keputusan
peradilan agama terasa asing dari cara waris-mewaris yang menjadi kesadaran
rakyat.
Alasan inilah yang menyebabkan lahirnya staatsblad 1937. Nomor 116,
yang mengubah kompetensi peradilan agama sehingga dalam bidang-bidang sebagai
berikut:
1.
Perselisihan
antara suami istri yang beragama Islam.
2.
Perkara-perkara
tentang nikah, talak, rujuk dan perceraian antara orang-orang yang beragama
Islam yang memerlukan perantara hakim agama Islam.
3.
Member
putusan perceraian.
4.
Menyatakan
bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang di gantungkan (taklik talak) sudah ada.
5.
Perkara
mahar (mas kawin), sudah termasuk mut’ah.
6.Perkara tentang keperluan kehidupan suami istri yang wajib
diadakan oleh suami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar