Rabu, 16 September 2015

ANTARA AKU KAMU DAN MASA DEPAN



Satu
Namanya  Dinda
            Hembusan angin menderu, hari terasa sedikit panas. Musim kemarau nampaknya akan segera datang. Ya, sekarang masuk akhir bulan mei. Dimana setiap bulan mei adalah awal musim kemarau, karena sudah siklus tahunan di negara tropis seperti Indonesia. Angin terus menderu, udara terasa panas, pepohonan berkelibat terkena hembusan angin yang terus menderu-deru.
            Perkenalkan namaku Bima Choiri, sahabat-sahabatku biasanya memanggil Bima. Sekarang aku duduk di kelas 5 Madrasah disebuah pondok pesantren yang cukup terkemuka di kab. Brebes, ya di kota pengahasil bawang merah, dan telur asin itulah aku berada. Tepatnya disebuah Desa kecil dilereng gunung slamet. Pesantren ku ini bernama al-Kautsar, dimana pesantren tersebut menaungi beberapa lembaga pendidikan, mualai TK, MI, SLTP, SLTA dan bahkan sampai perguruan tinggi.
Sekolah ku tidak seperti sekolah pada umumnya. Kebanyakan sekolah yang ada di negara tercinta kita, biasanya mengikuti kurikulum yang disamakan oleh pemerintah. Begitu juga sekolah yang ada di al-Kautsar, tapi berbeda dengan sekolahku ini, dimana mata pelajaran yang digunakan tidak sama dengan sekolah umunya. Sama halnya dalam hal seragam. Karena sekolah ku semua muridnya tak bersepatu, celana, dan seragam yang seperti biasanya dipake anak sekolahan, para muridnya memakai sarung, sandal, peci dan baju taqwa. Ya, dari seragamnya pun kami berbeda dengan yang lain.
Dalam hal pelajaran yang diajarkan. Tak ada pelajaran umum, semua mata pelajarannya dari kitab kuning[1], pelajarannya yaitu, kitab tauhid mulai dari yang ringkas sampai kitab yang penjelasannya panjang lebar, kitab fiqh dari matan sampai khasiah, begitu juga kitab sastra, dari jurmiyah sampai al-fiyah, tafsir pun sama demikian  dan masih banyak lagi kitab-kitab yang digunakan.
            Akhir bulan mei ini, sekolahku mengadakan hataman kitab nahwu. Dimana kitab ini berisikan bait-bait (nadham). Acara hataman selalu diadakan setiap tahunnya. Yaitu untuk kelas 2 dengan nadham al-Imrity, dan kelas 5 dengan nadham al-Fiyah ibn Malik.
Acara akan dimulai sekitar jam 3 sore, aku sebagai salah satu peserta, dimana acaranya diadakan di halaman sekolah. Lantunan bait-bait syair nadhom al-Fiyah ibn Malik berkumandang, dari muqadimah,
Qala Muhammdun huwa ibn Maliki # Ahmadu Rabbillaha khaira maliki,
 musalian ‘ala nnabiyil mustafa # waalihi mustakmilina syarafa”.
 Lantunan bait-bait terus berkumandang, bab demi bab telah dikumandangkan dengan begitu semangat. Tak terasa lantunan bait-bait yang jumlahnya ada 1002 bait hampir selesai, kira-kira tinggal 12 bait lagi. Dan 12 bait itu akan kami lantunkan setelah salat isya.
Acara berjalan dengan khikmat, banyak pasang mata yang menyaksikan acara hataman, mulai dari wali murid, masyarakat, tamu undangan dan para santri putra dan putri. Dari sekian pengunjung ada satu pengunjung yang menjadi perhatianku. Dia duduk diteras kelas bersama teman-temannya, hati ini terus bertanya-tanya siapa gerangan, siapa gadis itu, aku bertanya-tanya sendiri.
Aku hanya bisa memandangi si gadis berkerudung putih itu, wajahnya nampak kearab-araban, hidungnya mancung, bola matanya agak besar, alisnya seperti bulan sabit, dan kulitnya hitam manis. Tapi kalau dilukiskan dengan kata-kata maka kata-kata itu tak sanggup tuk mewakilinya. sosok seperi gadis itu-lah yang selama ini aku idam-idamkan. Aku terus memandanginya, karena hanya inilah yang bisa aku lakukan.
Seiring bergulirnya acara, ada sesi dimana gadis itu mendekat kedepan panggung, hati ini tak karuan ketika gadis itu tak jauh dari aku. Ya, jarak kita Cuma beberapa meter, dan kilatan cahaya kamerapun berkilat, dan juga terdengar suara kamera “trek”. Ternyata gadis itu membidik temanku, hati yang bergetar ini tambah melaju cepat getarannya, karena aku bisa memandangi gadis itu dengan lebih dekat.
Acara di lanjutkan setelah discor sekitar 1 setengah jam, untuk menunaikan salat maghrib  berjamaah. Setelah salat kami menuju aula pesantren untuk menyatap hidangan makan malam, disaat makan malam aku menghampiri temanku yang tadi di foto gadis kerudung putih itu.
“fa, mau seng moto ente arane sapa[2]?”
yang mana Bi”
“yang pake kerudung putih, ciri-cirinya matanya belo, hidungnya mancung, itu-loh yang dari tadi duduk di depan kelas kita”
Ihfa menjawab “owh yang itu namanya Dinda Salsabila”,  emang kenapa Bi? Naksir yah”
“enggelah Cuma nanya aja ko” aku sambil berlalu dari hadapan Ihfa, sory fa aku mau nyamperin Rifki dulu”
“ya silahkan”
Aku menuju pojok aula pesantren, sambil membayangkan gadis kerudung putih. Sambil tersenyum kecil, dalam hati aku bergumam “oww namanya Dinda toh”.
Rifki memanggilku “Bi kesini makan bareng disini”
“oke Ki”
Ow ya, kenalin nih sahabatku yang satu ini, namanya Muhammad Rifki. Dia anak yang cerdas, teman sekelas memanggilnya dengan Profesor. Dia dijuluki profesor karena kecerdasannya diatas rata-rata, dia selalu menjadi bintang kelas, dari mulai kelas 2 sampai sekarang ini. Tentang hafalannya pun lancar banget. Beda dengan aku, paling perstasi terbaiku waktu kelas 2, lumayan masuk 3 besar. Aku dan Rifki masuk langsung kelas 2, tanpa merasakan kelas 1 terlebih dulu.
Sekolahku ini mempunyai program 6 tahun, mulai dari kelas 1-6. Siswanya tidak seperti umumnya, karena mulai dari lulusan SD/MI sampai lulusan SLTA semuanya diterima. Kebetulan aku dan Rifki masuk setelah kita lulus dari SLTP. Jadi kita langsung masuk kelas 2, kalau bisa dikatakan bahwa sekolahanku ini mempunyai program, dimana kelas 1-3 itu setara dengan tingkat SLTP, dan 4-6 setara dengan SLTA.
Di pojok aula pesantren aku dan Rifki ngobrol ngalor ngidul[3], sampai tak terasa adzan isya berkumandang di corong-corong menara masjid Jam’i. Kami berbondong-bondong menuju masjid untuk melaksanakan salat isya berjamaah. Setelah selesai salat acara yang tadi discor-pun dilanjutkan kembali.
Aku sudah diatas panggung lagi untuk melanjutkan membacakan 12 bait yang tersisa. Setalah selesai 12 bait tersebut acara dilanjutkan dengan mauidah hasanah yang disampaikan oleh syeh dari timur tengah, kali ini kami kedatangan tamu agung.
Mataku tak henti-hentinya mencari gadis berkerudung putih itu, yang ternyata namanya Dinda. Mataku terus menelusuri setiap sudut tapi hasilnya sama ga ketemu juga. Aku sedikit kecewa dengan keadaan, yah mungkin dia sudah kembali lagi keasrama putri.
Acara hataman-pun selesai dan kali ini acaranya sangat meriah. Jam menunjukan pukul 23:30, dan para pengujung sudah berkurang. Hilir mudik pengunjung tak ku hiraukan, bayangan gadis itu selalu menggodaku, sepertinya aku merasakan ada yang aneh, aku tak tau apa yang sedang melannda kalbu, aku hanya bisa menuliskan rasa ini disecarik kertas.
Gadis itu, seperti aku sering melihatnya tapi entah dimana
Gadis itu, sepertinya aku mengenalnya tapi entah dimana
Tiba-tiba dia mengisi, tapi entah apa
Aku tak tau dengan perasaan ini
Aku menjadi asing
Aku tak tau dengan keadaanku
Gadis berkerudung putih itu terus mengiringi langkahku
Tapi aku tak tau”
Setelah sekian lama aku tak merasakan galau, sekarang aku merasakan lagi. Aku menjadi sering bertanya-tanya dengan diriku sendiri, ada apa gerangan, ada apa dengan perasaanku ini, aku masih sulit menafsirkan hatiku sendiri, begitu sulit dan berat kurasakan. Memang benar ternyata, kesan pertama akan sulit tuk dilupa. Aku sadar rasa ini hanya aku yang menanggung, aku hanya bisa merenung dengan perasaan yang sulit di mengerti. Betapa berat beban menahan rasa, sulit di gambarkan dan sulit pula diungkapkan.
Matahari tampak malu-malu untuk menampakan diri. Perlahan dan pasti ia mulai menampakan sedikit demi sedikit sinarnya untuk menerangi alam raya. Walau sedikit malu. Pagi  hari ini seperti biasa, seperti hari-hari sebelumnya. Aktifitas dimulai dari pagi-pagi buta, dari berkokoknya ayam aku sudah bersimpuh dihadapan Illahi. Sehabis shalat subuh kegiatan harianku sudah terjadwal rapi. Mulai kajian tafsir dari jam 6:00 sampai 7:15, jam 7:20 aku sudah harus ada dikelas sampai 13:00. Dengan beberapa materi yang selalu disuguhkan oleh para ustadz. Jam 13:30 sampai jam 15:00 ini adalah jam terbebasku di pesantren. Dan dari jam 15:00-22:00 inilah jam-jam terpadat.
Seperti biasa sehabis subuh aku langkahkan kaki ini menuju rumah sahabat ku Rifki. Kami berdua sudah lama ikut kajian tafsir. Kadang aku yang nyamperin Rifki dan kadang sebaliknya. Kebetulan kali ini aku yang kerumah Rifki, aku melangkah dengan hati galau. Aku ingin cepet bertemu Rifki dan menumpahkan kegalauan yang terjadi akhir-akhir ini.
Ki mangkat ngaji yuh[4]aku memanggil Rifki dari jalan samping rumahnya.
Dari dalam kamar Rifki menjawab “hayo”
aku tunggu neng ngarep ya[5]
“oke  Bi”
Selang beberapa mennit nongol juga si Rifki
Aku coba membuka percakapan disela-sela kita melangkah ke Masjid tempat aku dan Rifki ikut kajian tafsir.
“ Ki ada yang mau aku ceritain”
“cerita apa Bi, kayanya serius banget tuh muka”
“ iya Ki aku lagi sedikit galau”
“ Kenapa bisa galau Bi?, ada masalah apa sampai bisa galau segala”
Aku melambatkan langkah sambil menghirup udara pagi yang segar, “gini Ki, kamu masih inget pas kita hataman?”
“ya ingetlah Bi, kan baru kemaren’’ emang ada hubungan apa antara hataman kita dengan ke galauan kamu Bi?”
“ya ada tapi bukan gara-gara hatamannya sih”
“terus gara-gara apa Bi?”
“kemaren pas kita di panggung aku liat gadis yang istimewa Ki”
“maksud dari istemewa Bi?”
“ya, gimana yah aku juga masih bingung Ki, tapi beda ketika aku liat gadis itu dengan gadis-gadis lain. Rasanya ada yang aneh, entah apa rasa itu, tapi aku dari kemaren terbayang terus akan parasnya”
“wah-wah aku ngerti Bi maksud dari pembicaraan ini”
“emang apa Ki?”
“kamu itu lagi jatuh cinta, jatuh cinta pandangan pertama”
“ga, ah Ki, orang Cuma lagi bingung aja ko”
“udah Bi, ga papa, sah-sah aja kali orang jatuh cinta mah”
“masa secepet itu Ki?”
“entar lanjutin ceritanya ini sudah mau nyampe Bi”
“cepet banget Ki, ga kaya biasanya”
Kita berdua langsung dengan cepat masuk masjid, karena sebentar lagi kajian tafsir jalailain akan dimulai. Sampai juga aku dan Rifki di barisan terdepan. Sebelum kajian dimulai kami melantunkan asmaul husna. Setelah bacaan asmaul husna selesai, kajian-pun dimulai dengan bacaan ummul kitab.
Kali ini Abah Yai[6] membahas syurat Yusuf yang menjelaskan betapa  Zulaiha cinta akan seorang Yusuf. Dimana Beliau membahas begitu detail dan sangat detail ayat 23 dan 24 surat Yusuf yang artinya
 23.Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan Dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini." Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung. 24. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf-pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata Dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.[7]
Bahwa beliau menjelaskan jika cinta kepada lawan jenis tidak disertai dengan iman yang kuat, maka yang terjadi hanyalah dosa. Menurut Beliau cinta adalah kecondongan hati pada sesuatu, baik berupa wanita benda dan semua yang menimbulkan rasa akan cinta. Beliau menjelaskan panjang lebar tentang ayat ke 23-24 dan hubungannya dengan cinta yang hak. Beliau juga menerangkan bahwa Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa Nabi Yusuf a.s. punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu (Zulaikha), akan tetapi godaan itu demikian besanya sehingga andaikata Dia tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah s.w.t tentu Dia jatuh ke dalam kemaksiatan.
Aku teringat dengan pembahasan cinta oleh M. Qurish Shihab dalam bukunya lentera al-Qur’an. Bahwa beliau mengaitkan cinta dengan benci, dimana ada  suatu nasihat yang oleh para ulama dinilai sebagai hadis Nabi Muhammad saw: “cintailah kekasihmu secara wajar saja, siapa tahu  suatu ketika ia menjadi seterumu. Dan bencilah seterumu secara wajar juga, siapa tahu suatu saat ia mennjadi kekasihmu. Nasihat ini ditunjukan kepada manusisa, demikian juga kekasih dan seteru yang dimaksud. Manusia memiliki kalbu, yang dalam bahasa aslinya berarti “bolak-balik”. Hati manusia dinamai kalbu karena ia sering berubah-ubah, sesekali kekiri dan sesekali ke kanan.
Lebih lanjut Beliau M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa cinta dan benci mengisi suatu waktu, sedangkan waktu itu terus berlalu. Karenanya, cinta dan benci pun dapat berlalu. Sebelum bercinta, seseorang merasa dirinya sesuatu yang “ada”. Tetapi ketika bercinta, ia dapat merasa memiliki yang “ada” atau tidak menghiraukan yang ada. Dan ketika cintanya putus, ia merasa “tidak ada” dan hampa. Demikianlah cinta mempermainkan manusia.
Kali ini semua tema tentang cinta, mulai dari kajian tafsir, buku yang aku baca, semuanya bertemakan cinta. Apalagi puisi-puisi dari Khalil Gibran semuanya tentang cinta. Cinta tema yang tak pernah mati, dan tak akan pernah habis, dari dulu hingga sekarang, cinta masih menjadi pembahasan yang menarik.
Aku sadar dari ingatanku tentang cinta dan benci menurut M. Quraish Shihab. Ternyata aku masih dalam suasana kajian tafsir, dan sebentar lagi kajian akan segera selesai, walaupun masih banyak pembahsan tapi waktu yang tak cukup, dan pembahasannya akan dilanjutkan pada kajian tafsir selanjutnya. Jam menunjukan jam 7:05, kajian tafsir pada pagi ini pun ditutup dengan ummul kitab (al-fatihah) dan bacaan do’a penutup majlis.






Dua
Kasak-kusuk
Hari seakan-akan menjadi sangat panjang, padahal hari dari dulu begitu-begitu saja, tak ada yang panjang dan yang pendek. Semua hari sama 24 jam, tapi kali ini aku merasakan betapa panjang hari-hariku ini. Mungkinkah semua karena ada kegalauan dalam hidupku kali ini, ataukah hanya perasaan yang sedang tak menentu yang menjadikan hari sepanjang ini, entahlah.
Aku terus teringat saat-saat aku menatap matanya. Mata yang hitam dan sedikit agak lebar, aku tergoda dengan tatapan itu, aku terlena dibuatnya. Aku ingin mengenalnya, aku ingin gadis itu mengenalku. Dan aku ingin kita saling mengenal, saling tau dan saling mengerti.
Setelah aku tau namanya, walaupun aku belum secara langsung memperkenalkan diri kepada gadis yang bernama Dinda, tapi namanya sudah sering aku sebut dalam lamunanku, dalam kegalauanku dan dalam setiap malamku. Aku benar-benar telah menjadikan namanya selalu ada dalam ingatan. Aku tau keadaan ini bukan milik aku dan Dinda, tapi hanya aku yang merasakan, aku yang menanggung, dan hanya aku yang tau.
Beberapa hari setelah kajadian itu, dimana aku terkena cinta pandangan pertama, diam-diam aku sering mencuri dengar kasak kusuk yang terjadi dikelas. Baru aku tau gadis berkerudung putih itu ternyata satu angkatan denganku. Dinda ternyata satu angkatan. Aku dan Dinda satu reting, tetapi kita beda kelas dan beda sekolah, tapi aku dan Dinda sering mengikuti kajian yang sama. Kelas dan sekolah kita berbeda tapi ada kalanya kita satu kelas dan satu mata pelajaran. Ya, setiap satu minggu, dua hari kita satu kelas.  Berarti lamunanku benar adanya. Aku sering melihat tapi entah dimana, sekarang terbayar sudah, aku tau dia, setiap aku dan Dia ada pelajaran gabungan. Yah dia ternyata Dinda.
Kemana selama ini kamu Bi?, aku bergumam dalam hati. Aku tak menyalahkan diri sendiri, tapi aku hanya bertanya-tanya kenapa tidak dari dulu kenapa baru sekarang. Inilah rahasia hati sulit tuk dimengerti, karena mungkin baru kali ini aku sadar bahwa ada gadis yang bernama Dinda, padahal sudah 2 tahun pelajaran bareng. Aku baru sadar ada gadis satu angkatan yang seperti Dinda.
Aku bertekad ingin lebih tau Dinda, aku mencari tau dan aku sedikit tau dari kasak kusuk dikelas. Dan apesnya dari kasak kusuk itu aku mendengar bahwa Dinda suka sama temanku. Kasak kusuk ini semakin hari semakin menjadi. Setiap aku masuk kelas yang aku dengar berita tentang Dinda yang suka sama temanku, setiap aku dengar kasak kusuk ini semakin aku pesimis dan lemah. Mungkinkah cintaku tak akan disambut. Pertanyaan ini sering muncul, pertanyaan yang seharusnya tak perlu ditanyakan, pertanyaan yang pasti semua orang tau jawabannya. “Tapi hati yang terdalam mengatakan bahwa Dinda masih sendiri, dan bahwa Dinda pasti kenal yang namanya Bima Choiri keyakinan inilah yang membuat sedikit optimis.”
Setelah aku mendengar, langit terasa mendung, mungkin mewakili keadaanku dan langit tau hatiku berawan gelap. Aku tak tau dengan keadaanku sendiri. Aku bertanya-tanya kenapa aku merasakannya, rasa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, rasa yang tak bisa diukur dengan alat pengukur, rasa yang tak mengerti dengan rasa itu sendiri. Begitu pelikkah rasa yang sedang ku tanggung ini, sampai-sampai aku sendiri tak tau dengan rasa ini.
Tak terasa aku jadi sering memikirkannya, aku diam-diam sering mencari informasi tentang gadis itu, ya walaupun hasilnya sama, karena aku tak mendapatkan informasi. Seiring berjalannya waktu, aku semakin gelisah, gelisah yang tak menentu. Kegelisahan yang tak berujung dan tak bertuan. Aku merasakan yang seharusnya tak kurasakan, karena rasa ini begitu pelik tuk di artikan.
Malam-malam penuh gelisah kini menghapiri aku bertubi-tubi, aku lemah karena aku ingin mengenal dinda, tapi semakin aku menginginkanya semakin sadar bahwa kesempatanku mengenalnya sedikit. Disinilah rasa pesimis sering merasuk dalam sanubari hati yang terkena api asmara. Tapi ada sedikit rasa optimis ketika hati yang terdalam mengatakan bahwa Dinda masih sendiri, dan bahwa Dinda pasti kenal yang namanya Bima Choiri keyakinan inilah yang terus muncul ketika pesimis menghampiri.”
Dinda bagiku kau istimewa
Kau datang disaat yang istimewa
Dinda kau tak akan tau kau menjadi yang istimewa
Kau mampu untuk menjadi istimewa
Dinda namamu selalu istimewa.
Angin malam-pun membawa aku dalam kedinginan. Dingin melanda tubuhku, aku coba memejamkan mata semakin aku memejamkan mata, semakin sulit terpejam.  Mata ini terus memandangi langit-langit tanpa mau berkedip. Dan entah kenapa di langit-langit itu tergambar sesosok gadis berkerudung putih Dinda, aku semakin tak tau tentang ini semua. Setelah berjam-jam mata mulai merasakan  berat dan lama-lama terpejam juga.






Tiga
Lewat Facebook Aku Mengenal Dinda
Lantunan ayat suci terdengar merdu, menambah keheningan sepertiga malam, disebuah pesantren di bukit gunung Slamet. Pesantren yang berdiri sekitar 100 tahun yang lalu. Pesantren yang telah meluluskan beribu-ribu alumnus. Pesantren salaf yang berefolusi menjadi pesantren modern. Pesantren al-Kautsar namanya, disinilah setiap hari aku menimba ilmu.
Disinilah aku mencari harapan untuk menambah rasa syukur kepada sang Khalik Allah SWT. Di Al-Kautsar-lah aku berada. Ayat suci al-Qur’an terus berkumandang di corong-corong sepeker pesantren. Ayat demi ayat berlalu dengan keindahan Qori’[8] melantunkannya. Baik Qori’ luar negri maupun Qori’ dalam negri seperti KH. Muamar ZA.
Keheningan pagi di pesantren menyejukan setiap santri yang sedang mengadu dengan do’a-do’a kepada sang Illahi Rabbi. Do’a yang oleh Allah akan dikabulkan sesuai dengan firmannya.
Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Menurut Alexis Carrel seorang ahli bedah Prancis yang meraih dua kali Nobel, menegaskan bahwa keguanaan do’a dapat dibuktikan secara ilmiah sama kuatnya dengan pembuktian dibidang fisika. Oliver Lodge secara halus menyidir orang yang tak melihat manfaat do’a: “kekeliruan mereka, karena menduga bahwa do’a berada diluar fenomena alam. Do’a harus diperhitungkan sebagaimana memperhitungkan sebab-sebab lain yang dapat melahirkan suatu peristiwa.” Inilah penjelasan tentang manfaat do’a. Aku ingat ini dari bukunya M. Qraish Shihab.
Lebih husus Allah berfirman dalam Qur’an surat al Isra ayat 79 tentang keutamaan salat tahujud, dimana dalam salat tahajud terdapat keistimewaan yang agung sehingga Allah akan memberikan kehormatan dan kedudukan disisinya yang terpuji.
Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.
Setiap sepertiga malam, di pesantren al-Kautsar ada beberapa santri yang tekun mengadu pada Illahi. Mengadu dengan hati penuh harapan akan ridha-Nya, harapan untuk terus diberikan nikmat iman, Islam, dan ihsan. Tak jarang linangan air mata menetes tanpa ada komando. Air mata penyesalan akan dosa-dosa dan air mata keharuan. Inilah suasana sepertiga malam di al-Kautsar.
Adzan subuh berkumandang, tanda panggilan untuk seluruh Muslimin, tanpa terkecuali, baik yang muda maupun yang tua. Kumandang adzan begitu merdu dan menggetarkan hati setiap muslim yang mendengarkannya, dan mengiyakan seruan untuk meraih kemenangan dan menunaikan salat berjamaah.
Sudah rutinitas di sebuah pesantren, setelah salat subuh para santri membentuk kelompok untuk belajar baca al-Qur’an pada para ustadz. Aku pun termasuk yang ada dikelompok kajian baca al-Qur’an. Sekitar satu jam kami para santri belajar baca al-Qur’an dengan fasih. Kajian baca al-Qur’an-pun selesai, setelah kajian baca al-Qur’an, para santri mempunyai waktu bebas untuk menyiapkan keperluan sekolah dan makan pagi. Ada juga yang mengikuti kajian tafsir, dan kajian tafsir ini tidak diwajibkan jadi kajian tafsir hanya untuk yang ingin menambah wawasan lebih tentang kandungan al-Qur’an.
Tak terasa liburan akan tiba. Sekarang adalah akhir kegiatan rutinitas pesantren. Ya, seperti biasa pesantren meliburkan para santri setahun dua kali. Libur naik kelas dan libur akhir Ramadhan. Rencana libur kenaikan kelas pun mulai aku susun. Aku ingin liburan kali ini, berlibur sambil terus belajar, tidak hanya liburan semata dan juga tidak hanya belajar saja. Kalau kata pepatah sih, sambil berenang minum air.
Karena libur sebentar lagi, maka pesantren memberikan kelonggaran para santri. Kali ini aku meluangkan kelonggaran ini untuk pergi ke warnet mencari informasi dan mencari refrensi untuk mengisi liburan ku kali ini. Aku ke warnet bareng Eri, aku minta diajari buat email dan cara browsing, maklum di Pesantren tidak diperkenankan membawa barang elektronik. Setelah aku dan Eri diwarnet aku coba dengan mulai mengoprasikan komputer dan aku pun lagi-lagi masih gaptek.
Dengan sabar Eri mengajari aku komputer, ya walau hanya untuk internet dan buat email.
“begini Bi, kalau mau internetan” Eri menunjukan bagaimana cara internetan yang dia tau, “buka Mozilla Firefox, terus ketik aja google dari keyboard, kemudian ketik email, kalau kamu mau buat email”
“terus setelah itu gimana Ri”, aku coba bertanya sedikit tentang internet, yang aku kurang memahami.
Dengan sabar Eri mencoba memberikan sedikit ilmu internetnya, dan tak begitu lama bagiku untuk bisa memahami cara internetan.
“Bi, kamu sudah punya facebook belum”
“belum Ri, kamu tau sendiri aku baru kali ini ke warnet”
“ow, tau ga Bi temen-temen kelas sudah banyak yang punya facebook lo”
“kamu ko tau Ri ?, emang kamu sudah punya”
“sudah Bi, sekitar sebulan yang lalu aku punya akun facebook”
“temen-temen kita yang sudah punya siapa saja?”, aku sambil berharap semoga Dinda juga punya akun facebook
“banyak Bi, ni liat aja sendiri,” Eri memperlihatkan akun facebooknya kepadaku dan siapa saja yang sudah punya akun facebook. Aku dengan teliti membaca nama-nama teman dari akun facebook Eri, dan aku menemukan akun yang aku harapkan tadi, ya aku menemukan akun Dinda. Di akun itu tertuliskan nama Dinda Salsabila, aku memperhatikan nama itu dan aku minta Eri untuk membuka profilnya.
Baru pertama kalinya aku memandangi Dinda, dia membuatku semakin tak menentu. Raut wajah yang sudah lama menghantui setiap lagkahku, setiap malam-malam ku, raut wajah yang dihiasi dengan mata sedikit lebar, hidung kecil dan mancung, alis bulan sabit, dan aku tidak bisa lagi mengungkapkannya dengan kata-kata, karena aku sadar, aku telah terkena mantra cinta. Dan aku pandangi raut wajah itu tanpa rela sedikit-pun untuk mengedipkan mata. Aku baru sadar ketika Eri menepuk pundak-ku.
“kenapa Bi ko dipandangi terus, apa ada yang aneh?”
“ya Cuma pengen tau aja Ri, salah tah kalau aku liat profilnya terus?”
“salah-lah katanya mau buat email, kan kalau buat email harus masuk lagi ke gmail atau yahoo, kamu mau yang mana Bi” Eri terus melanjutkan pendapatnya tentang email. “Kalau aku sih pake yahoo Bi, temen kita juga  kebanyakan pake yahoo Bi, dan aku juga bisanya Cuma yang email yahoo aja Bi”
“aku hanya mengangguk, ya maklum aku belum tau mana yang lebih bagus dan mana yang kurang bagus,
Eri terus buka halaman baru untuk masuk ke yahoo, dengan kemampuan pas-pasannya Eri membuatkan email untukku. Eri terus tanya padaku
“Bi, mau pake naman asli atau samaran”
“nama asli aja Ri”, Eri terus berselancar lagi, menekan keyboard dengan sangat pelan. Dan beberapa menit alamat emailku jadi, Eri terus menyarankanku untuk langsung buat facebook, dan aku-pun setuju saja, karena aku juga pengen punya Facebook, biar keliatan tau komputer dan internet, kan ga keliatan gaptek bangetlah.
Akun facebook ku mulai di garap Eri dengan sedikit teliti, ya menurut aku sih dia teliti, dari kolom satu ke kolom yang lain, dari huruf satu ke huruf lain. Inilah pertama kalinya aku masuk ke warnet dan buat akun facebook, itupun Eri yang buat akun ku. Setelah mengisi biodata dan sebagainya yang berkaitan dengan membuat facebook selesai, kini jadilah sudah akun facebook dengan namaku sendiri, ya aku enggan pake nama samaran, kan niatnnya mau cari pertemanan yang banyak, jadi aku memilih nama asli saja.
Kini aku punya akun facebook, ya walaupun aku awalnya masih bingung tapi dengan sabar Eri membantuku, dan mengajariku cara menggunakan akun ku. Aku jadi ingat buku Habits dari Felix, dalam buku itu dijelaskan bahwa kebiasaan akan menjadikan kita tau dan mahir, misalkan ketika pertama kita naik sepeda kita tak akan langsung bisa, tapi kita memerlukan waktu untuk menaikinya, dan waktu yang kita butuhkan pun tidak sebentar. Dalam buku itu juga di katakan bahwa seseorang yang menginginkan sesuatu untuk menjadikan ia terbiasa, maka orang itu butuh 30 hari untuk bisa melakukan hal yang sama tanpa harus memikirkan terlbih dahulu, inilah habits. Apa ada hubungannya dengan akun facebook ku, ya sedikit bisa dihubungkan. Aku kan punya akun facebook, dan ini baru pertama kalinya aku membuatnya, jadi maklum kalau aku masih belum bisa menggunakannya, dan kalau aku mau lancar menggunkan akun facebook ku butuh waktu 30 hari berturut-turut agar bisa dan menimbulkan kebiasaan, entahlah ini Cuma angan-anganku saja kebetulan aku inget tentang penjelasan habits dari Felix, dan itu sedikit menghiburku yang belum bisa menggunakan facebook.
Lama aku mencoba akun baru, pertama terasa begitu sulit dan membingungkan, tapi dengan kesabaran dan ketekukan serta arahan dari sahabatku Eri, lambat tapi pasti aku mulai mengerti cara menggunakan akun facebook. Dan aku pun mencari teman-taman ku yang sudah mempunyai akun terlebih dahulu, katanya sih sudah banyak temanku yang punya akun facebook, maklum zaman sudah berganti dan teknologi-pun semakin canggih. Aku tak mau ketinggalan, sekarang aku mengikuti tren anak remaja masa kini yaitu mempunyai facebook.
Dengan arahan Eri, aku meminta pertemanan dengan beberapa teman kelasku, tak ketinggalan juga dengan Dinda, gadis yang selama ini menemani langkahku dan membayangi setiap tidurku. Alasanku menggunakan akun facebook-pun karena aku pernah dengar dari kasak-kusuk dikelas bahwa Dinda mempunyai akun facbook. Aku meminta pertemanan kepada akun yang bernama Dinda salsabila. Tak terasa sudah satu jam aku di dalam warnet bersama Eri, akhirnya kami pun melangkah menuju penjaga warnet:
“Mas, sudah selesai”, Eri mengatakan kepada penjaga warnet, dan penjaga warnet itu mengecek apa yang tertulis di komputer yang ada didepannya.
“tiga ribu mas” jawab si penjaga warnet, aku mengambil uang disaku dan memberikannya, “uangnya pas yah”, dengan sedikit melangkahkan kaki kami hampir bersamaan menjawab “Iya mas”.
Sudah tiga hari berlalu setelah aku membuat akun facebook dan meminta pertemanan dengan Dinda, tiga hari itu juga aku sedikit merasakan ketegangan yang aku pun lagi-lagi tak tahu kenapa dan karena apa. Dan tepat tiga hari setelah kewarnet pesantren libur selama satu bulan, rencana liburan pesantren kali ini aku sudah putuskan untuk tidak pulang kampung halaman, aku berencana liburan kali ini diisi dengan kegiatan yang bermanfaat. Ya, liburan kali ini aku ingin berlibur sambil belajar, lama aku merenungkan untuk merealisasikan keinginanku. Dan aku mencoba mencari tahu dan meminta pendapat sahabat-sahabatku, semoga sahabatku ada yang mempunyai refrensi untuk liburanku kali ini, berlibur sambil belajar.
Dari beberapa sahabat yang aku minta pendapatnya rata-rata menganjurkan aku ke kampung Inggris, dengan argumen yang cukup membuat hatiku terkesima dan tertarik. Ya, di kampung Inggris aku bisa berlibur sambil belajar. Kenapa aku memilih liburan kali ini dengan berlibur sambil belajar, karena aku inget satu hadis Nabi yang artinya kurang lebih “carilah ilmu dari ayunan sampai liang lahat”, inilah pemicu semngat belajarku.
Setelah yakin liburan kali ini ke kampung Inggris, lalu aku mencari informasi tentang keadaan kampung Inggris tersebut. Aku tanya ke salah satu teman kelas yang pernah menetap disana selama tiga bulan, dari obrolan yang tak terlalu lama aku bisa menyimpulkan bahwa sangat tepat kalau liburanku kali ini di kampung Inggris. Ada salah satu sahabat ku yang menyarankan untuk mencari informasi di internet, dan usulan ini mengingatkanku pada tiga hari yang lalu, dimana aku meminta pertemanan dengan Dinda. Tanpa pikir panjang aku melangkahkan kaki kewarnet, kali ini aku mencoba sendiri. Aku menuju penjaga warnet,
“mas masih ada yang kosong”, aku bertanya pada penjaga warnet dan si mas penjaga warnet dengan sigap mencari ruangan yang kosong melalui monitor yang ada di depannya,
“ada mas, nomor 12 masih kosong”, setelah menunjukan nomor 12 itu mas penjaga kembali disibukan dengan mous dan monitornya lagi,
“terimakasih mas”, aku menuju nomor yang dimaksud mas penjaga tadi.
Aku coba mempraktikkan ilmu menyalakan komputer dan ilmu internet yang aku terima dari sahabatku Eri. Baru kali ini aku kewarnet sendiri, pertama aku bingung, aku sedikit lupa dan perlahan ingatan itu muncul. Aku inget Eri kemaren ngmong “kalau mau nyalain komputer tinggal pencet tombol power yang ada di cpu”, aku masih ingat mana cpu dan mana monitor. “Terus setelah itu tunggu sampai muncul gambar, biasanya kalau mau internetan kelik tabel. Biasannya tabel itu di sudut kanan atas atau kiri bawah, lalu klik presonal kalau kamu mau internetan.” Itulah yang Eri ajarkan ke aku.
Jari jemari perlahan menekan tombol yang ada huruf-hurufnya, mulai dari qwerty itulah keyboard, dan sekarang aku coba untuk menekan huruf demi huruf untuk bisa menjadi satu kata  google. Ya, aku teringat ketika Eri mengajariku cara internetan. Dan setelah didalam layar telah tertuliskan google, aku kembali menekan beberapa tombol, dan yang kutilaskan kali ini yaitu “belajar bahasa di kampung Inggris”, dan dalam waktu sekejap telah muncul beberapa kata kunci yang aku cari. Setealah aku rasa cukup dengan informasi yang ada di beberapa wabsait dan bloog. kemudian aku berselancar lagi, tapi kali ini aku beralih dengan membuka akun facebook yang kemaren aku buat.
Tiba-tiba badan ini terasa gemetar tak menentu, aku kebingungan sendiri. Dalam hati aku bergumam “apa yang terjadi padaku kali ini kenapa badan ini terasa lemas dan gemetar, ada apa ini?”, pertanyaan hatiku terus menjadi-jadi, aneh kenapa aku bisa gemetar. Dan akun facebook ku sekarang telah ku buka, aku memandangi dan mengarahkan krusor kegambar bola dunia, di situ ada beberapa pemberitahuan. Tanpa ragu lagi aku buka pemberitahuan itu, aku mengharapkan gadis yang akhir-akhir ini terus membayangi langkahku, gadis yang selalu ada disetiap mimpiku, gadis yang tak pernah pergi dari lamunanku, menerima permintaan teman yang telah aku kirimkan tiga hari yang lalu.
Harapan kini tinggal harapan belaka, sudah berulang kali aku baca pemberitahuan di akun facebook, dari atas kebawah dan dari bawah keatas hasilnya sama, hasilnya membuat hati ini begitu kecewa, hasilnya memang hampa, dan hasil itulah yang aku terima. Gadis itu belum juga menerima permintaan pertemananku, gadis itu belum bisa menjadi teman diakun facbook ku, padahal aku mengharapkan gadis itulah yang pertama menjadi temanku. Padahal harapan itu sangatlah besar, harapan itu yang selama tiga hari ini aku nanti. Dan harapan kini tinggal harapan.
Dengan rasa kecewa aku keluar dari akun facebook. Aku matikan komputer, aku bangkit dari depan monitor, aku langkahkan kaki ini dengan sedikit muram karena tak sesuai harapan.
Rasa kecewa telah menghapiri batinku, kecewa karena menantikan sebuah harapan. Aku tak ingin berlarut dalam kekecewaan yang timbul karena harapan, aku harus bangkit dan menatap kedepan dengan positif. Aku yakin kali ini mungkin bukan waktunya aku bisa mengenal gadis berkerudung putih Dinda, walaupun hanya sekedar lewat akun facebook. Tapi aku yakin suatu saat nanti bukan hanya lewat facebook aku mengenal Dinda, bukan hanya sekedar dunia maya. Karena entah kenapa hati ini sangat yakin bahwa aku akan mengenal Dinda, dan Dinda mengenalku. Inilah keyakinan yang selalu muncul dalam batinku.
Lewat facebook aku mengenalmu Dinda
Mengenal tanpa dikenal
Lewat facebook aku menyapamu Dinda
Menyapa dengan sejuta senyum
Karena hanya senyumlah yang aku bisa
Lewat facebook aku memandangi keindahan matamu, senuymmu, dan keelokan parasmu Dinda
Karena hanya inilah yang aku mampu
Dinda aku ingin mengenalmu meski hanya lewat dunia maya
Lewat facebook aku mengenal Dinda
Perkenalan ku dengan Dinda bukan saling mengenal, karena akulah yang mengenalnya meski lewat akunnya. Karena selama ini hanya akulah yang mempunyai rasa itu, akulah yang inginkan Dinda dan akulah yang terpesona olehnya.











Empat
Perjalanan ke Kampung Inggris
Suara kereta membuyarkan lamunanku, tak terasa aku sekarang sudah di Setasiun Bumiayu, Setasiun kereta yang terletak di selatan Kab. Brebes. Di Setasiun ini aku tidak sendirian, banyak sekali lalu lalang para penumpang. Mereka hilir mudik berganti orang. Aku duduk disebelah timur Setasiun bersama seorang kawan, menunggu kereta yang akan membawaku ke kampung Inggris. Kampung dimana aku akan menghabiskan liburan kali ini. Liburan yang sudah lama aku idam-idamkan, belajar sambil berlibur.
Kereta yang akan membawaku ke kampung Inggris akhirnya datang juga. Kereta gaya baru malam namanya, kereta ekonomi yang sarat akan penumpang. Aku bergegas memasuki gerebong, aku terkejut ketika melihat isi gerebong yang penuh penumpang, dimana-mana disudut kereta sudah terisi penuh oleh penumpang berbagai tujuan. Kursi kereta sudah terisi penuh, di bagian lorong antara satu tempat duduk dengan tempat duduk lain juga sama terisi juga, di pemisah gerebong sudah rapat akan penumpang. Beginilah potret kereta ekonomi yang laris manis diserbu penumpang. Karena harga tiket murahlah yang dicari para penumpang kelas menengah bawah.
Aku berdiri dipemisah kursi, hilir mudik pedagang asongan-pun menjadikan kereta gaya baru malam ini seperti pasar. Berbagai barang dagangan ditawarkan, mulai dari makanan, minuman, buah tangan, alat tulis, dan berbagai macam makanan khas dimana kereta ini singgah, serta masih banyak lagi dagangan yang mereka jajakan di dalam kereta.
Selain pedagang asongan, para pengamen-pun menjajakan suara khasnya. Suara pas-pasan yang mengharapkan uluran tangan sang dermawan ala kadarnya. Koin demi koin dikumpulkan untuk menyambung hidup, hidup di Negara tercinta. Mereka para pengamen berdalih bahwa kegiatan meminta-mintanya karena lapangan kerja sulit dan sempit, padahal kalau kita ingat satu hadis Nabi yang menjelaskan bahwa orang yang meminta-minta maka kelak di akhirat tidak mempunyai muka. Dan ada juga hadis yang sangat populer yaitu lebih baik tangan diatas dari pada tangan dibawah, artinya bahwa kita harus memberi bukan menerima. Tapi inilah keadaan di Negara tercinta Indonesia, dimana para peminta masih marak dimana-mana.
Suasana kereta ekonomi memang tak bisa di ungkapkan dengan kata-kata, hanya ada satu kata yang bisa mengungkapkan kondisi kereta ekonomi, yaitu semrawud[9], inilah trasportasi masal yang ada, inilah potret kemiskinan di Negera kita.
Sudah sekitar satu jam perjalanan aku masih berdiri, kaki mulai merasa pegal-pegal agaknya mau keram. Aku sedikit menggerakan kaki yang sedari tadi untuk tumpuan tubuh yang membawa bebaban. Rasa sakit itu sedikit berkurang, dengan sedikit gerakan maju mundur dan menyamping.
Aku tidaklah sendiri berlibur di kampung Inggris, aku bersama seorang kawan, dia bernama Choirus. Ya, namanya agak aneh gitu tapi orangnya baik ko. Kita berangkat dari pesantren kira-kira jam 16:30 WIB. Pesantren kita beda, tapi kita satu kelas. Sebelum berangkat kesetasiun aku dan Choir mempersiapkan semua keperluan selama dikampung Inggris, ada beberapa potong pakain yang dibawa.
Perjalanan menuju setasiun kereta kira-kira 30 menit. Aku dan Choir mencari angkot yang menuju ke arah setasiun, kita menunggu angkot di makbaroh[10]. Sambil menunggu angkot kita ngobrol, pertama sih soal pelajaran yang habis di ujikan kemaren. Dan obrolan itu terus berlanjut, dari arah timur nampak angkot yang kita tunggu.
“Bi, angkotnya sudah ada tuh”, sambil mengacungkan jarinya Choir menunjukan angkot yang hanya kelihatan bagian depannya.
“mana Choir?,” aku mencari-cari, pandangan mataku mengikuti telunjuk Choir
“itu Bi masa kamu belum liat, keliatan depannya aja sih”
“ow itu yah,” angkot semakin mendekat pada tempat kita berdiri, dan akhirnya sampai dihadapan kita. Tanpa basa-basi aku dan Choir naik angkot tujuan setasiun. Didalam angkot kita tak hanya berdua, sudah ada beberapa penumpang lain, berbagai tujuan yang disinggahi angkot. Aku masih asik ngobrol, dan tak terasa kita sudah hampir sampai di Setasiun.
“Kiri pak” aku dan Choir hampir bersamaan, kita keluar dari angkot dan tak lupa membayar ongkos.
“Berapa pak?” sambil mengambil uang di dompet,
“berdua empat ribu mas”,
 Aku ambil uang pas empat ribu dan memberikannya pada sopir angkot, setelah membayar angkot, aku dan Choir langsung jalan kaki dari jalanraya ke setasiun. Jarak antara jalanraya dan setasiun kira-kira 300 meter, jadi dengan jalan kaki-pun tak masalah.
Sampai juga di setasiun kereta Bumiayu, aku dan Choir langsung menuju loket untuk membeli tiket, untuk kami melangkah ke kampung Inggris. Antrian di loket cukup panjang, karena bulan ini adalah musim libur, jadi berbeda dengan hari-hari biasa. Banyak penumpang berbagai tujuan mengantri di depan loket untuk membeli tiket berbagai tujuan di pulau jawa.
Akhirnya giliran aku didepan loket. “Bu, setasiun Jombang dua”, aku melanjutkan pertanyaan sedikit, harganya pertiket berapa Bu”.
Dengan sigap penjaga loket memberi tahu harga tiket ke Jombang, “satunya 32.000 mas, kalau dua 64.000, lanjut penjaga loket sambil meminta KTP aku dan Choir”.
Tiket sudah ada digenggaman, sekarang waktunya menunggu kereta gaya baru malam tujuan Jakarta Surabaya. Dalam tiket tertulis TANPA TEMPAT DUDUK, dan jadwal kedatangan kereta dari Jakarta ditiket tertulisakan jam 17:36. Sekarang masih jam 17:00 bararti kami menunggu sekitar setengah jam, aku dan Choir menuju tempat duduk sebelah timur setasiun.   
Ternyata benar apa yang ada dan tertuliskan di tiket TANPA TEMPAT DUDUK, aku baru tahu bahwa kereta ekonomi ini begitu ramai oleh penumpang, pedagang asongan dan para pengamen. Sudah sekitar satu jam aku berdiri di lorong pemisah antara kursi penumpang, kaki yang keram perlahan sembuh setelah beberapa ayunan untuk melemaskan. Tiba-tiba dari arah belakang ada ayunan tangan menepuk pundak.
“Bi cari kursi kosong” aku menoleh kebalakang dan aku meng iyakan ajakan Choir
“ayo, ow ya sebentar lagi kan sampai setasiun Purwokerto mungkin ada penumpang turun” lanjut aku sambil melangkahkan kaki kearah depan, kebetulan aku dan Choir di gerbong bagian belakang.
Aku langkahkan kaki dari gerbong satu ke grebong lain, mataku menyisir dari satu kursi ke kursi lain, berbagai posisi para penumpang aku tangkap, ada yang duduk dengan sedikit nyaman, ada yang duduk berhimpitan dan ada juga yang tiduran di kolong kursi dengan beralaskan beberapa lembar Koran bekas. Koran-koran yang sedari tadi dijajakan ternyata berfungsi untuk alas tempat duduk bahkan untuk alas tubuh. Betapa memprihatinkannya transportasi umum yang melebihi kapasitas dan terus dipaksa mengangkut penmpang.
Setasiun Purwokerto, tak seperti yang aku bayangkan dan aku harapkan. Ternyata di setasiun Purwokerto penumpang yang turun dari kereta dan naik lebih banyak yang naik, alamat kursi sedari tadi aku idam-idamkan tak bisa aku raih, kursi yang akan mengurangi beban tubuh sudah dipastikan tak ada. Disinilah aku belajar sabar, karena kesabaran akan membawa kita kepada keimanan, sebagaimana apa yang sering kita dengar “assabru minal iman”, kesabaran sebagian dari iman.
Setasiun Purwokerto-pun sudah berlalu, aku dan Choir masih berdiri, langkah kaki terhenti setelah beberapa gerebong kita lalui.
“Bi”, panggil Choir sambil meletakan tas ransel yang sedari tadi menempel dipundak. Tas berisi beberapa potong pakaian itu telah memberikan beban untuk Choir.
“iya Choir” aku menengok kearah Choir,
“Bi aku mau kedepan mau cari kursi yang kosong, kam disini aja nunggu tas aku, nanti kalau sudah dapat kursi aku kesini lagi”.
“Ok, aku tunggu disini yah jangan kelamaan”, dengan perlahan Choir menyibak kerumunan penumpang, langkah demi langkah. akhirnya tubuh Choir sudah tertelan kerumunan penumpang kereta gaya baru malam yang sarat akan penumpang.
Lama aku menunggu. Tiba-tiba HP aku berbunyi tanda SMS masuk, “Bi ke gerbong depan ada dua tempat duduk nih tapi masih ada orangnya katanya sih mau turun di stasiun Kebumen, kamu kesini aja sama bawa tas aku”. Aku balas SMS dari Choir “OK”.
Aku langkahkan kaki ini menuju gerbong depan, ransel aku gendong dan aku jinjing. Tubuhku terbebani dua ransel yang menempel sedari tadi, aku ambil HP dari saku celana, “Choir kamu digerbong berapa?”. Sambil melangkahkan kaki ini aku kirim SMS ke Choir.
HP berbunyi “aku ada di gerbong kedua dari gerbong tadi”, SMS Choir masuk.
Berat kaki ini tuk melangkah, beban yang ada di badan terasa berat, tapi demi tempat duduk aku langkhkan kaki ini. Dari gerbong kerata satu ke gerbong lain terasa lama, ya karena untuk melangkahpun harus menyibak kerumunan penumpang lain, kerta ekonomi ini bagiku tak nyaman. Mungkin bukan hanya aku yang merasakan ketidak nyamanan pelayan pulblik ini.
Untuk sampai ke gerbong depan aku mebutuhkan waktu 20 menit. 20 menit yang melelahkan, 20 menit yang menguras tenaga. Inilah kenyataan yang harus aku rasakan. Al-hamdulillah akhirnya sampai juga di gerbong depan, gerbong harapan, gerbong yang akan mengurangi beban. Lambaian tangan-pun kini Nampak sudah, “Bi disini” Choir menunjukan tempat duduk yang masih ada orangnya.
Langkahku kini terasa ringan dengan sedikit harapan, harapan untuk bisa duduk, harapan untuk bisa istirahat, harapan untuk menghilangkan rasa lelah. Satu dua langkah untuk sampai di tempat duduk itu, tempat duduk yang lama aku nanti.
Aku turunkan tas dari punggung ini, aku letakan tas di tempat yang telah disediakan, karena tempat tas ada yang kosang, berbeda dengan keadaan gerbong di belakang, di gerbog ini tak sepadat dan tak seramai gerbong-gerbong sebelumnya. Walaupun banyak penumpang tapi tak terlalu sumpek.
Beban telah sedikit berkurang, badan-pun terasa lebih ringan setelah tas aku letakan. Sekarang aku dan Choir duduk dilorong antara kursi penumpang, aku masih menunggu tempat duduk, aku masih belum merasakan tempat duduk, karena tempat duduk itu masih ada penumpang lain, aku dan Choir harus menunggu sampai setasiun Kebumen, aku kali ini belajar lebih sabar lagi untuk merasakan tempat duduk.
“kira-kira berapa jam lagi yah sampai kesetasiun Kebumen” tanyaku pada Choir,
“kata penumpang tadi sih setengah jam Bi” sambung Choir sambil menyenderkan tubuhnya di samping kursi penumpang
“lama juga yah”
“ya lumayan sih, dari pada kita berdiri tarus mending nunggu disini, ya walaupun agak lama sih”, lanjut Choir
“sekarang dimana Choir, perasaan kereta sudah lama jalan dari setasiun Purwokerto”, aku sambil memandangi jendela kereta yang gelap, hanya ada sedikit cahaya berkelibat, dari rumah penduduk.
“ya sabar aja dulu Bi, nanti juga kalau sudah dekat pasti ada informasi dari masinis”.
Setelah menunggu sekian lama akhirnya sampailah kereta di stasiun Kebumen, setasiun harapan. Penumpang tujuan akhir Stasiun Kebumen perlahan menuruni kereta Gaya Baru Malam, Nampak dari mereka tersenyum karena sudah sampai tujuan dan ada juga yang dengan secepat kilat menuruni kereta sambil lari-lari kecil menuju kamar kecil disudut Stasiun.
Akhirnya aku bisa duduk untuk meringankan beban,  akhir dari penantian yang panjang untuk merasakan duduk dikursi kereta. Tak terasa, mata mulai sedikit berat,  rasa kantuk kini melanda ku. Hanya beberapa menit saja setelah merasakan tempat duduk mataku terpejam sudah.
Beberapa Setasiun telah terlewati. kini kereta yang aku naiki sudah ada di Setasiun Jombang. Di Setasiun inilah aku dan Choir akan berlabuh, berlabuh menuju Kampung Inggris.







lima
Alun-alun Jombang
Udara dingin menyambut pagi, sejuk aku rasakan. Pagi ini berbeda dengan pagi biasanya, karena pagi ini aku ada diluar pesantren al-Kautsar. Sekitar pukul 2:00 WIB aku sampai di Stasiun Jombang, setasiun persinggahan untuk mencapai tujuan.

  



Perjalanan Hati di Kota Kediri


Enam
Jum’at yang Mendebarkan


Tujuh
Simpang Siur


Delapan
Senin  12-7-2010
Sembilan
Penjara Suci


Sepuluh
Senyum Pagi


Sebelas
Mukenah


Duabelas







[1] Sebutan untuk buku-buku yang berbahasa arab, dan biasanya kitabnya dicetak dengan kertas berwarna kuning, bukan hvs seperti sekarang. Dan penyebutan ini sudah maklum oleh kalangan santri.
[2]  Tadi yang motret kamu siapa?
[3] Yang dimaksud disini yaitu obrolan tanpa ada topik tertentu
[4] Hayo Ki berangakat ngaji
[5] Aku tunggu di depan
[6] Panggilan untuk seorang pengasuh pondok khususnya di Al-Kautsar
[7] Qur’an surat Yusuf ayat 23-24
[8] Seorang pembaca, akan tetatpi dalam hal ini adalah seorang pembaca al-Qur’an
[9]  Tidak teratur
[10] Makam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar