Rabu, 12 Desember 2012

AL-QUR'AN PRODUK BUDAYA, FENOMENA SEJARAH, DAN TEKS LINGUISTIK BANGSA ARAB (QURAISY) Kajian Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latarbelakang
    Nashr hamid Abu Zayd dan kelompok modernis menyatakan bahwa, " Al-qur'an adalah produk budaya, fenomena sejarah, dan teks lingustik membawa pengertian bahwa al qur'an dihasilkan secara kolektif dari serangkaian faktor polotik, ekonomi dan sosial. Atau dengan kata lain, Al-qur'an adalah hasil pengalaman  individual yang diperoleh nabi Muhammad dalam waktu dan tempat tertentu, dimana latar belakang sejarah mengambil peranan inti dalam mewarnai pemikiran beliau dan bahasa sebagia perangkat ungkapan sejarah.
    Padahal jumhurul ulama sepakat bahwa Al qur'an adalah firman Allah SWT, yang diwahyukan kepada nabi Muhammad saw. Lafzan wa ma'nan dengan perantara malaikat jibril a,s, terjaga dalam mushaf kemudian disampaikan kepada para sahabat dan diwariskan dari generasi kegenerasi secara mutawarir tanpa keraguan sedikit pun. Membacanya adalah ibadah, didalamnya terkandung berbagai mukjizat, petunjuk dan ilmu pengetahuan.
Darisinilah perbedaan yang sangat menonjol, antara pemikiran jumhurul ulama dan Abu Zayd beserta pengikutnya yang biasa dikenal dengan kelompok modernis. 

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Al-Qur'an Produk Budaya

    Al-qur'an bukan lagi dianggap wahyu suci dari Allah swt. Kepada Muhammad saw, melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nashr Hamid Abu Zayd. Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvesional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman.
    Hermeneutika adalah ilmu penafsiran yang berasal dari warisan mitologi Yunani. Ia kemudian diadopsi oleh orang-orang Kristen untuk persoalan yang dihadapi teks Bible. Dalam perkembangannya hermeneutika dapat disandarkan kebeberapa tokoh yang focus dalam kajian hermeneutika diantaranya yaitu :
a.    Hermeneutika Schleiermacher, untuk memehami sebuah teks, Schleiermacher menemukan cara-cara melakukan penafsiran (Auslegung). Menurutnya, sebuah teks dapat dipahami dengan melakukan penafsiran tata bahasa dan psikologis. Penafsiran tata-bahasa berfungsi untuk mengidentifikasi secara jelas makna istilah bahasa yang digunkan dalam teks, sedangkan penafsiran psikologis berfungsi untuk mengidentifikasi pengarang dalam suatu waktu dari kehidupannya ketika menulis teks. Jika seorang penafsir mengetahui itu semua, seorang penafsir akan bisa memahami teks sebaik atau bahkan lebih baik dari pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri.
b.    Hermeneutika William dilthey, bagi Dilthey prespektif sejarah sangat penting Karena teks yang akan ditafsirkan adalah realitas itu sendiri beserta kesaling kaitannya. Dilthey berpendapat hermeneutika reformasi masih belum melepaskan diri sepenuhnya dari bias-bias tradisi dan dogma. Sebabnya hermeneutika reformasi masih berkutat pada hubungan antara bagian-bagian teks dengan keseluruhan teks masih belum dikaitkan dengan konteks historis yang lebih luas.

  
c.      Hermeneutika Filsafat Hans-Georg Gadamer, menurut Gadamer, pemahaman bukanlah sebuah psikologis yang dimiliki manusia, namun pemahaman adalah kita. Oleh sebab itu, ilmu tanpa praduga tidak terjadi. Kita gagal memahami hermeneutika circle, jika kita berusaha keluar dari lingkaran tersebut. Gadamer juga menegaskan penafsir dan teks senantiasa terkait oleh konteks tradisinya masing-masing. Penafsir tidak mungkin menafsirkan dari sisi yang netral. Penafsiran merupakan penafsiran ulang, memahami teks secara baru dan makna baru juga.
    Dari tokoh-tokoh inilah hermeneutika berkembang pesat sampai sekarang, mengenai hakikat teks, yang merupakan satu persoalan dalam hermeneutika. Abu zayd menegaskan kalam ilahi wujud dalam bahasa manusia, jika tidak, maka kalam ilahi tersebut tidak akan dimengerti. Al-qur'an menurut Abu Zayd adalah kata Muhammad yang meriwayatkan apa yang beliau katakan adalah kalam Ilahi. Dia juga menyatakan "bagaimanapun, kalam Ilahi perlu mengadaptasi diri dan menjadi manusiawi karena Tuhan ingin berkomunikasi kepada manusia. Jika Tuhan berbicara dengan bahasa Tuhan, manusia sama sekali tidak akan mengerti. Jadi dalam pandangan Abu Zayd, Al-qur'an adalah bahasa manusia.
    Menurut Abu Zayd, perubahan teks Ilahi menjadi teks manusiawi terjadi sejak turunnya wahyu yang pertama kali kepada Muhammad. Abu Zayd menyatakan: "teks sejak awal diturunkan –ketika teks diwahyukan dan dibaca oleh nabi ia berubah dari sebuah teks Ilahi (nash Ilahi) menjadi sebuah konsep atau teks manusiawi (nash insani), karena ia berubah dari tanzil menjadi takwil, pemahaman Muhammad atas teks mempresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks dengan akal manusia.
    Dalam pandangan Abu Zayd, teks Al-qur'an terbentuk dalam realitas dan budaya, selama lebih dari 20 tahun. Oleh sebab itu, al-qur'an adalah produk budaya (muntaj thaqifi). Ia juga menjadi produsen budaya (muntij li al-thaqafah) karena menjadi teks yang hegemonik dan menjadi rujukan bagi teks yang lain.


B.    Al-Qur'an Fenomena Sejarah (Historis)

    Pendekatan linguistik-historis yang digagas Abu Zayd secara teknisnya, memfokuskan pembacaan teks pada makna universal (al-dalalah al-kulliyyah) teks keislaman dalam konteksnya yang saling berkaitan antara parsial (juz'i), universal (kulli) dan realitas social –historis (al-waqi' al-ijtima'I al-tarikhi). Inti pemahaman makna universal versinya ini, disatu sisi menolak model pendekatan linguistik klasik (yaitu ilmu-ilmu bahasa dan retorika tradisional), yang menurutnya sering terjebak pada permasalahan legislative (tasri'i halal haaram) dan idiologis (al-aqidi, iman-kufr) dan disisi lain Abu Zayd menolak makna-makna yang terdapat dalam kisah-kisah al-qur'an dan penggambaran surga neraka yang dianggapnya hanya bersifat khurafat-mistik.
    Lebih lanjuk dalam menyikapi universalitas teks keislaman, pembacaan teks menurutnya mengacu pada tiga prinsip yang membawhi al-makasid al-kulliyyah al-khamsah yang dirumuskan oleh ulama klasik. Ketiga prinsip dasar pembacaan teks ini adalah prisnsip rasionalitas (al-aqlaniyyah), libral (al-hururiyyah), dan keadilan (al-adl). Abu Zayd menekankan bahwa ketiga prinsip ini membawahi prinsip lima tujuan ditegakannya syari'at (maqasid al-shari'ah al-khamsah).
    Interpretasi rasional terhadap teks adalah corak pendekatan interpretasi yang dilakukan oleh golongan pencerah (tanwiriyyun) yang kerap disebut sebagai golongan sekeler (ilmaniyyun). Bagi Abu zayd, pemahaman teks keagamaan dalam pemikiran Islam kontemporer melalui cara interpretasi realistis adalah keniscayaan yang tak terelakkan, sebab interpretasi adalah bagian dari pemikiran. Dan segala bentuk pemikiran manusia, termasuk didalamnya pemikiran keagamaan, adalah produk alami yang terlahir dari sebuah kondisi global historis dan realitas social pada zamannya. Baginya, corak pemahaman seperti ini adalah positif dalam rangka mengantisipasi perubahan zaman, dan mengkaji unsur-unsur kemajuan umat, baik dengan analisis, interpretasi maupun evaluasi (taqwin) terhadap teks-teks keagamaan. Lebih lanjut Abu Zayd berargumen tentang urgensitas interpretasi realistis dengan cara memaknai sifat dasar pemikiran yang pada intinya adalah sebagai gerakan yang menyikap tabir ketidakthauan (al-majhul) dengan berpijak dari hal-hal yang diketahui (ma'lum). Maka dengan sendirinya, segala bentuk pemikiran yang mengabaikan sebuah realitas tidak lain hanyalah angan-angan belaka.
    Interpretasi teks-teks keagamaan (al-qur'an dan hadits) hanya tunduk pada hukum yang mengatur gerak pemikiran manusia dan tidak berasumsi bahwa agama adalah sakral dan mutlak. Oleh karena itu Abu Zayd melakukan pemisahan antara 'agama' dan pemikiran 'keagamaan'. Agama dimaknai sebagai kumpulan teks-teks suci yang tetap secara historis. Sedangkan pemikiran keagamaan adalah segala usaha ijtihad pemikiran manusiawi untuk memahami teks-teks agama, menginterpretasikanya dan menemukan maknanya yang terus berkembang seiring dengan zaman dan menurut ruang lingkungannya.
    Dengan menyelami realitas di sekitar teks, maka Abu Zayd mempromosikan mekanismenya dalam memakai sebuah teks. Yaitu teks ditinjau dari sisi historisnya, yang kemudian disebutnya sebagai proyek penyelidikan ilmiah. Selanjutnya, dia menyarankan bahwa pendekatan historis terhadap teks-teks wahyu tidak cukup dengan hanya meniru yang telah dikembangkan Mu'tazilah.
    Abu Zayd mengatakan: bahwasanya perbuatan Tuhan bila telah teraktualisasi dalam sejarah, maka harus tunduk pada peraturan sejarah. Maka sebagai suatu yang sudah menyejarah dan terealisasi dalam dunia yang temporal-terbatas, Al-quran juga bersifat temporal historis dan harus dipahami dengan pendekatan historis.
C.    Al-Qur'an Teks Linguistik

    Abu Zayd menyatakan: "Sesungguhnya teks-teks agama bukanlah solusi akhir melainkan sekedar kumpulan teks-teks linguistik, yang berarti bahwa teks-teks tersebut bersandar pada kerangaka kebudayaan terbatas, yang sempurna pembuatannya (diproduksi) sesuai dengan aturan legal kebudayaan tersebut dan memosisikan bahasa sebagai system pemaknaanya yang sentral.
    Dalam pernyataan ini, dapat dipahami bahwa sebagai teks linguistik, teks-teks agama termasuk Al-qur'an berdiri tegak di atas kerangka kebudayaan yang terbatas (Arab), sehingga harus dipahami dengan peranti bahasa Arab yang digunakan oleh kebudayaan tersebut pada saat itu. Melalui pendekatan seperti ini, Abu Zayd meyakini bahwa pemaknaan teks yang dihasilkannya adalah ilmiah dan dapat menggambarkan unsur-unsur kebudayaan yang memengaruhinya.
D.    Keritikan  Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd

Hal ini terlihat terutama ketika Abu Zayd membuat definisi dikotomis antara agama dan pemikira keagamaan. Dalam definisinya, agama dimaknai sebagai kumpulan teks-teks suci yang tetap secara historis. Definisi ini sangat subjektif, sebab bila Abu Zayd hendak membuat definisi secara objektif-ilmiah, seharusnya dia membiarkan agama mendefinisikan dirinya melalui teks-teks sucinya. Hal ini tentunya berlawanan dengan apa yang didefinisikan Abu Zayd. Apakah sekedar tumpukan kitab suci beserta tumpukan teks-teks keagamaan lainya dapat disebut sebagi sebuah agama? Apakah Al-qur'an,Injil, Taurat dan sebagainya itu adalah agama? 
Walaupun Abu Zayd memisahkan antara makna 'agama' dan pemikiran keagamaan, antara teks dengan penafsiran, namun dengan memaknai Al-qur'an sebatas fenomena sejarah, maka disadari ataupun tidak, dia telah berlaku tidak konsisten dan menyamakan makna agama dan pemikiran keagamaan. Hal ini dapat diperhatikaan dari harapannya terhadap golongan pencerah (tanwiriyyun) untuk mempelopori kajian pemikiran keagamaan dengan memaknai tradisi keilmuan yang diwariskan ulama klasik (turath) sebatas fenomena historis yang berkembang saat itu. Pemaknaan turath sebagai representasi pemikaran keagamaan dan al-qur'an sebagai representasi agama, jelas mempunyai pengertian yang sama, dimana keduanya sama-sama diwarnai oleh budaya, ideologi, latar belakang politik, ekonomi, dan kondisi lokal.
Sebenarnya asumsi historis al-qur'an, baik dengan menyebutnya sekedr teks linguistik, produk budaya maupun teks manusia, tidaklah mempunyai dasar yang kuat. Sebab 'kesadaran ilmiah' yang diproyeksikan Abu Zayd sebagai pendekatan ilmiah dalam pengakajian keagamaan, tidak lain adalah korban kopi dari metode 'kesadaraan historis' versi Wilhem Dilthey dan tentunya bila diterapkan dalam wacana keagamaan akan membawa konsekuesi pada relativisasi (meragukan) nilai-nilai agama dan mengedepankan realitas untuk bermakna atas kekuasaan teks. Klaim historistis Al-qur'an adalah salah satu contoh bagaimana hermeneutika bermain dan memengaruhi pemikiran Abu Zayd.
Pendekatan hermeneutika yang dipropagandakan kalangan modernis semisal Abu Zayd untuk menggeser peranan tafsir dan ta'wil dalam studi Al-qur'an, tidak hanya janggal dalam tradisi keilmuan Islam, malah terbilang bertentangan. Penggunaan hermeneutika yang menghasilkan asumsi historistas Al-qur'an dengan dalih bahwa perbuatan Tuhan bila telah teraktualisasi dalam sejarah, maka harus tunduk dalam peraturan sejarah, menimbulkan konsekuensi yang rumit untuk diterima akal sehat.
E.    Sanjungan Terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd

Bila dilihat dalam konteks perkembangan dunia Islam kontemporer Nasr Hamid Abu Zayd dikatagorikan sebagai pemikir revolusioner. Abu Zayd mampu memahami prinsip-prinsip metodologis klasik dalam kajian teks keagamaan, khususnya mengenai problem pembacaan teks-teks keagamaan baik Al-qur'an maupun Hadis. Abu zayd mengajak agar belajar dan memasukan teori-teori penafsiran dari Barat, yang dikenal dengan hermeneutika, dalam menafsirkan teks-teks keagamaan.
Menurut Abu Zayd, kajaian mendalam atas teks, termasuk teks-teks keagamaan (Al-qur'an dan Hdis), menjadi niscaya mengkaji struktur budaya mengitarinya. Artinya langkah menafsirkan adalah sebuah pergumalan penafsir dengan teks sehingga sudah seharusnya kemudian penafsir juga bergumulan dengan struktur budaya yang membentuk teks agar karakter dari makna asli teks itu ditemukan dan agar dapat membedakan original makana teks dengn teks yang dikonstruksi oleh nalar idiologi tertentu dari penafsirnya.
Untuk melepaskan dari problem-problem akademik yang ditemukan dalam beberapa tradisi tafsir, Abu Zayd menghendaki perlunya pembacaan kritis atas teks-teks keagamaan, baik tek primer maupun sekunder. Pembacaan kritis perlu dikembangkan, sebab teks keagamaan adalah pusat dari sebuah perbincangan pengetahuan keagamaan disatu pihak dan keberadaannya sebagai teks juga berkaitan dengan kondisi sosial budayanya dipihak yang berbeda.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Dari pembahasan kali ini, tentang pemikiran seorang liberal Nasr Hamid Abu Zayd tentang konsepnya dalam menghujat Al-qur'an dengan menggunakan metode hermeneutika, menimbulkan persepsi bahwa Al-qur'an menurut fersinya hanyalah produk budaya, fenomena sejarah, dan teks linguistik. Jika kita tarik dari beberapa pemikirannya, kita akan menemukan kerancuan antara pemikiran liberalnya tentang Al-qur'an. Kita akan menemukan betapa hebatnya seorang penafsir, ia akan lebih tau isi yang ada pada sebuah karya yang ditafsirinya. Dengan kata lain seseorang akan lebih tahu Al-qur'an dari pada sang pencipta Al-qur'an itu sendiri.


Daftar Pustaka

Henri Shalahudin, M.A. Al-qur'an Dihujat, Al-Qalam, Jakarta, 2007.
Mu'amar, M. Arfan, Abdullah Wahib Hasan, Studi Islam, IRcisoD, Yogyakarta, 2012.
Laode M. Kamaluddin dkk, On Islamic Civilization, Unissula Press, Semarang, 2010. 
       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar