Jumat, 08 Juni 2012

IDEALISME DAN REALISME DALAM MENCAPAI HAKIKAT REALITAS



Idealisme (Plato)
Pada zaman Plato , masalah yang paling popular adalah apakah hakikat realitas itu tetap (Parmenides) ataukah menjadi (Herakleitos)? Plato mengemukakan pendapatnya sebagai bentuk penyelesaian, yaitu: “Yang tetap” itu dapat dikenal melalui akal budi, sedngkan “Yang menjadi” dikenal dengan pengalaman. Di dalam pengalaman hidup sehari-hari, kita mengenal banyak jenis manusia, ada yang lelaki dan ada yang perempuan. Kelelakian dan keperempuannya pun berbeda-beda. Tetapi dunia akal budi (idea) hanya mengenal satu manusia saja, yang bersifat tetap dan tidak berubah. Dunia pengalaman disebut sebagai “dunia semu” atau “dunia bayang-bayang”. Sedang dunia idea (akal budi) disebutnya sebagai “dunia asli”, dunia yang sesungguhnya. Jadi manusia yang kita saksikan melalui pengalaman ini, yang jumlah dan jenisnya beraneka ragam, merupakan bayang-bayang dari manusia yang hanya ada satu di dunia idea itu. Sedangkan mengenai pertanyaan, mengapa manusia yang beraneka ragam itu ada, hal itu disebabkan karena perbedaan tentang caranya menjadi bayang-bayang itu.
melalui pancaindra, kita bisa mengenal manusia yang beraneka ragam ini. Kemudian persoalannya, bagaimana kita dapat mengenal dunia idea sebagai realitas yang sesungguhnya? Plato berpendapat bahwa sebelum ada didunia pengalaman ini, manusia berada didunia idea. Setelah berkumpul dengan badan maka bertemulah ia dengan bayang-bayang yang berasal dari dunia idea (bayang-bayangnya sendiri). Dari pertemuan itu, ia teringat bahwa sebenarnya ia pernah mengenalnya. Jadi dengan jalan mengingat, maka dunia idea dapat dikenal.
berdasarkan pandangannya itu, Plato sampai kepada ajaran etika. Dalam ajaran etikanya, ia mengajarkan bahwa  siapa pun manusia itu harus mampu mencapai pemahaman tentang dunia idea. Disebutkan bahwa idea tertinggi  adalah idea kebaikan. Dengan pemahaman idea kebaikan ini, maka kebahagian hidup dapat diharapkan. Orang dapat mencapai pemahaman idea kebaikan bila mampu menyelami dunia pengalaman. Inilah yang kemudian dikenal sebagai ajaran mengenal diri sendiri (to know himself).

Realisme (Aristoteles)                                         
Berbeda halnya dengan Plato, yang juga merupakan guru Aristoteles, persoalan kontradiktif tentang hakikat realitas, apakah  itu tetap atu menjadi, maka Aristoteles lebih menerima yang serba berubah dan menjadi, yang bermacam-macam, yang semuanya ada di dalam dunia pengalaman, sebagai realitas yang sesungguhnya. Itulah sebabnya mengapa pandangan Aristoteles disebut sebagi realisme.
Dalam pembahasannya, ia mengatakan bahwa setiap hal atau benda itu tersusun dari “hule” dan “morfe”, yang kemudian dikenal dengan “teori hulemorfistik”. Hule adalah dasar permacam-macam. Karena hule-nya, maka suatu benda adalah benda itu sendiri, benda tertentu.
Sedangkan morfe adalah dasar kesatuan, yang menjadi inti dari segala sesuatu. Karena morfe-nya, maka segala sesuatu itu sama dengan yang lain (satu inti) termasuk kedalam satu jenis yang sama. Morfe ini berbeda dengan hule. Dan dapat dikenal dengan akal budi saja. Baik hule maupun morfe, merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan hule-nya, segala sesuatu itu maujud di dalam realitas, dan karena morfe-nya segala sesuatu itu mengandung arti hakikat sebagai sesuatu.
Pandangan hulemorfismenya itu sejalan dengan pandangan atau teori aktus dan potensia-nya. Aktus adalah dasar kesungguhan, sedangkan potensia adalah dasar kemungkinan. Segala sesuatu itu sungguh-sungguh karena aktusnya, dan segala sesuatu itu mungkin (mengalami perubahan dinamis) karena potensianya. Jadi, jika dipakai untuk memahami sesuatu yang konkreat, maka hule merupakan potensianya sedangkan morfe adalah aktusnya. Segala macam perubahan dan perkembangan. (permacam-macam) ini terjadi karena hule yang mengandung potensi dinamis yang bergerak menuju kebentuk-bentuk aktus yang murni. Sedangkan aktus murni itu tidak mengandung potensi apa-apa, jadi bersifat berubah-ubah dan abadi.
Untuk mengetahui makna hakiki setiap sesuatu, maka Aristoteles mengembangkan teori pengetahuan dengan menempuh jalan atau “metode abstraksi”. Menurutnya pengetahuan itu ada dua jenis yaitu: a). pegetahuan indra dan b). pengetahuan budi. Pengetahuan indra bertujuan untuk pengenalan tentang hal-hal konkret yang bermacam-macam dan serba berubah. Dan sedangkan pengetahuan budi bertujuan untuk mencapai pengetahuan abstrak, umum dan tetap.  Pengetahuan budi inilah yang kemudian disebut sebagai ilmu pengetahuan.
Antara kedua jenis pengetahuan ini, ada satu kesatuan struktural. Obyek pengetahuan itu bermacam-macam dan bersifat konkret. Karena itu selalu berada di dalam perubahan-perubahan dan perbedaan-perbedaan. Obyek demikian ini dikenal oleh indra, untuk kemudian diolah oleh budi. Budi bertugas untuk mencari idea yang sama yang terkandung dalam permacam-macaman itu, sebagai pengetahuan yang macamnya hanya satu dan karena itu bersifat umum, tetap dan abstrak. Idea yang merupakan pengertian umum ada bersama-sama dengan macam-macam hal yang konkret. Jadi idea itu ada di dalam realitas konkret. Oleh sebab itu Aristoteles berbeda dengan Plato. Aristoteles menerima baik permacam-macaman maupun idea kesamaan itu sebagai hal yang realistis adanya. Sedangkan Plato menolak permacam-macaman itu sebagai kebenaran (yang bermacam-macam itu semu, bayangan) dan menerima dunia idea sebagai kebenaran satu-satunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar