Idealisme (Plato)
Pada zaman Plato , masalah yang paling popular adalah apakah
hakikat realitas itu tetap (Parmenides) ataukah menjadi (Herakleitos)? Plato mengemukakan
pendapatnya sebagai bentuk penyelesaian, yaitu: “Yang tetap” itu dapat dikenal
melalui akal budi, sedngkan “Yang menjadi” dikenal dengan pengalaman. Di dalam
pengalaman hidup sehari-hari, kita mengenal banyak jenis manusia, ada yang
lelaki dan ada yang perempuan. Kelelakian dan keperempuannya pun berbeda-beda.
Tetapi dunia akal budi (idea) hanya mengenal satu manusia saja, yang bersifat
tetap dan tidak berubah. Dunia pengalaman disebut sebagai “dunia semu” atau
“dunia bayang-bayang”. Sedang dunia idea (akal budi) disebutnya sebagai “dunia
asli”, dunia yang sesungguhnya. Jadi manusia yang kita saksikan melalui
pengalaman ini, yang jumlah dan jenisnya beraneka ragam, merupakan
bayang-bayang dari manusia yang hanya ada satu di dunia idea itu. Sedangkan
mengenai pertanyaan, mengapa manusia yang beraneka ragam itu ada, hal itu
disebabkan karena perbedaan tentang caranya menjadi bayang-bayang itu.
melalui pancaindra, kita bisa mengenal manusia yang beraneka ragam ini.
Kemudian persoalannya, bagaimana kita dapat mengenal dunia idea sebagai
realitas yang sesungguhnya? Plato berpendapat bahwa sebelum ada didunia pengalaman
ini, manusia berada didunia idea. Setelah berkumpul dengan badan maka
bertemulah ia dengan bayang-bayang yang berasal dari dunia idea
(bayang-bayangnya sendiri). Dari pertemuan itu, ia teringat bahwa sebenarnya ia
pernah mengenalnya. Jadi dengan jalan mengingat, maka dunia idea dapat dikenal.
berdasarkan pandangannya itu, Plato sampai kepada ajaran etika. Dalam ajaran etikanya, ia mengajarkan bahwa siapa pun manusia itu harus mampu mencapai pemahaman tentang dunia idea. Disebutkan bahwa idea tertinggi adalah idea kebaikan. Dengan pemahaman idea kebaikan ini, maka kebahagian hidup dapat diharapkan. Orang dapat mencapai pemahaman idea kebaikan bila mampu menyelami dunia pengalaman. Inilah yang kemudian dikenal sebagai ajaran mengenal diri sendiri (to know himself).
berdasarkan pandangannya itu, Plato sampai kepada ajaran etika. Dalam ajaran etikanya, ia mengajarkan bahwa siapa pun manusia itu harus mampu mencapai pemahaman tentang dunia idea. Disebutkan bahwa idea tertinggi adalah idea kebaikan. Dengan pemahaman idea kebaikan ini, maka kebahagian hidup dapat diharapkan. Orang dapat mencapai pemahaman idea kebaikan bila mampu menyelami dunia pengalaman. Inilah yang kemudian dikenal sebagai ajaran mengenal diri sendiri (to know himself).
Realisme (Aristoteles)
Berbeda halnya dengan Plato, yang juga merupakan guru Aristoteles,
persoalan kontradiktif tentang hakikat realitas, apakah itu tetap atu menjadi, maka Aristoteles lebih
menerima yang serba berubah dan menjadi, yang bermacam-macam, yang semuanya ada
di dalam dunia pengalaman, sebagai realitas yang sesungguhnya. Itulah sebabnya
mengapa pandangan Aristoteles disebut sebagi realisme.
Dalam pembahasannya, ia mengatakan bahwa setiap hal atau benda itu
tersusun dari “hule” dan “morfe”, yang kemudian dikenal dengan “teori
hulemorfistik”. Hule adalah dasar permacam-macam. Karena hule-nya, maka
suatu benda adalah benda itu sendiri, benda tertentu.
Sedangkan morfe adalah dasar kesatuan, yang menjadi inti dari
segala sesuatu. Karena morfe-nya, maka segala sesuatu itu sama dengan
yang lain (satu inti) termasuk kedalam satu jenis yang sama. Morfe ini
berbeda dengan hule. Dan dapat dikenal dengan akal budi saja. Baik hule maupun
morfe, merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan hule-nya,
segala sesuatu itu maujud di dalam realitas, dan karena morfe-nya segala
sesuatu itu mengandung arti hakikat sebagai sesuatu.
Pandangan hulemorfismenya itu sejalan dengan pandangan atau teori
aktus dan potensia-nya. Aktus adalah dasar kesungguhan, sedangkan potensia
adalah dasar kemungkinan. Segala sesuatu itu sungguh-sungguh karena aktusnya,
dan segala sesuatu itu mungkin (mengalami perubahan dinamis) karena potensianya.
Jadi, jika dipakai untuk memahami sesuatu yang konkreat, maka hule merupakan
potensianya sedangkan morfe adalah aktusnya. Segala macam perubahan dan
perkembangan. (permacam-macam) ini terjadi karena hule yang mengandung potensi
dinamis yang bergerak menuju kebentuk-bentuk aktus yang murni. Sedangkan aktus
murni itu tidak mengandung potensi apa-apa, jadi bersifat berubah-ubah dan
abadi.
Untuk mengetahui makna hakiki setiap sesuatu, maka Aristoteles
mengembangkan teori pengetahuan dengan menempuh jalan atau “metode abstraksi”.
Menurutnya pengetahuan itu ada dua jenis yaitu: a). pegetahuan indra dan b).
pengetahuan budi. Pengetahuan indra bertujuan untuk pengenalan tentang hal-hal
konkret yang bermacam-macam dan serba berubah. Dan sedangkan pengetahuan budi
bertujuan untuk mencapai pengetahuan abstrak, umum dan tetap. Pengetahuan budi inilah yang kemudian disebut
sebagai ilmu pengetahuan.
Antara kedua jenis pengetahuan ini, ada satu kesatuan struktural.
Obyek pengetahuan itu bermacam-macam dan bersifat konkret. Karena itu selalu
berada di dalam perubahan-perubahan dan perbedaan-perbedaan. Obyek demikian ini
dikenal oleh indra, untuk kemudian diolah oleh budi. Budi bertugas untuk
mencari idea yang sama yang terkandung dalam permacam-macaman itu, sebagai
pengetahuan yang macamnya hanya satu dan karena itu bersifat umum, tetap dan
abstrak. Idea yang merupakan pengertian umum ada bersama-sama dengan
macam-macam hal yang konkret. Jadi idea itu ada di dalam realitas konkret. Oleh
sebab itu Aristoteles berbeda dengan Plato. Aristoteles menerima baik
permacam-macaman maupun idea kesamaan itu sebagai hal yang realistis adanya.
Sedangkan Plato menolak permacam-macaman itu sebagai kebenaran (yang
bermacam-macam itu semu, bayangan) dan menerima dunia idea sebagai kebenaran
satu-satunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar