Melihat fenomena yang ada di Negara kita sekarang ini sangat menyayat hati, perbuatan keji ada
di mana-mana, setiap hari di media baik cetak maupun elektronik menampilkan perbuatan
keji yang seakan-akan tiada henti melanda negri. Mulai dari kalangan bawah hingga
kalangan atas mereka melakukan perbuatan keji dengan cara meraka masing-masing.
Lihat berita yang sedang terjadi akhir-akhir ini, korupsi telah menjangkit
kalangan atas, seperti halnya lembaga Negara mulai dari Legislatif, Eksekutif,
dan Judikatif, ketiganya telah mempunyai
wakil-wakilnya yang terkena kasus korupsi. Ya korupsi sekarang ini menjadi
berita yang paling popular, seakan tak ada henti para pemakai dasi (koruptor)
yang memakan uang rakyat sendiri. Mereka (para koruptor) sudah tidak mempunyai
lagi rasa malu, baik itu malu pada diri sendiri maupun pada orang lain.
Selain para pemakai dasi perbuatan keji juga diaktori oleh kalangan
bawah, yaitu dengan melakukan perbuatan
yang melanggar syari’at dan hukum Negara. Banyak kasus yang menjerat kalangan
bawah, mulai dari perampokan, pembunuhan, dan kasus-kasus melawan hukum
lainnya. Semuanya itu mereka lakukan dengan tanpa ada pembelajaran dan kejeraan
bagi yang lain, sudah menjadi bahasan umum dan itu yang menyedihkan bahwa
mereka menganggap lembaga pemasyarakatan itu bukan lembaga untuk membuat jera
bagi pelaku pelanggar hukum melainkan menjadi lembaga kursus gratis bagi pelaku
pemula, sebelum masuk penjara hanya bisa mencuri kambing tapi setelah masuk di
penjara mereka mencuri mobil. perbuatan melawan hukum terus ada dan terus
berkembang. Sehingga lembaga pemasyarakatan telah kewalahan menampung para
pelanggar hukum.
Pertanyaan yang timbul dalam benak kita, kenapa terjadi seperti
itu?. Kalau kita telusuri faktor kenapa semakain banyak pelaku melawan hukum,
maka kita akan menemukan beberapa faktor yang melatar belakangi terjadinya
pelanggaran melawan hukum diantaranya yaitu: pertama dari segi moral rakyat
Indonesia yang semakin terkikis habis, kedua dari segi ekonomi juga bisa menjadi
faktornya, ketiga dari segi hukum yang diterapkan di Indonesia, maksudnya dari
segi hukum itu sendiri hukum di Indonesia itu belum menjerakan para pelaku
pelawan hukum dan sebagainya.
Di tulisan ini kami akan membahas salah satu faktor tersebut yaitu
faktor pertama dari segi moral rakyat kita. Dari segi moral rakyat Indonesia
yang dulu terkenal dengan Negara yang mempunyai moral tinggi sekarang menjadi
sebaliknya, mengapa itu bisa terjadi, karena masyarakat kita telah kehilangan
salah satu moral yang mendasar yaitu malu. Kenapa kami mengatakan begitu coba
kita ambil contoh dari para koruptor mereka sudah nyata-nyata menjadi tersangka
tapi masih bisa tertawa, tersenyum dan melambaikan tangan kekamera itu contoh
kecil yang bisa kita amati. Betapa rasa malu mereka sudah dikubur dalam-dalam
dan dibuang jauh entah kemana.
Malu dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan dengan “merasa
hina atau rendah” sedangakan dalam bahasa Arab yaitu “khaya”. Imam Ibnul
Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada
yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna
ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat
malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh
kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada
saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna. Al-Junaid rahimahullâh berkata,
“Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu
kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi
untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.”
Perhatikan sabda Nabi, dari Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî al-Badri
radhiyallâhu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia
dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah
sesukamu.”
Dalam ushul fiqh kata “jika
engkau tidak malu berbuatlah sesukamu” merupakan amar yang berfaidah litahdid
(ancaman) maksud sabda nabi itu tidaklah dibenarkan untuk orang tidak
mempunyai rasa malu. Perintah ini merupakan larangan untuk tidak meninggalkan
rasa malu, karena dengan meninggalkan malu maka orang akan berbuat semaunya dan
tidak ada batasan dalam hal moral. Karena dengan hilangnya rasa malu juga orang
akan mudah terjerumus kejurang maksiat dan pelanggaran baik itu melanggar
syari’at maupun hukum Negara, mengapa demikian karena sudah tidak mempunyai
tameng yang kokoh untuk melindungi diri sendiri.
Dari sabda beliau tersebut
maka kita bisa mengkorelasikan dengan masyarakat kita khususnya para pelanggar
hukum. Sabda Nabi menunjukan betapa pentingnya “malu”, ya karena dengan malu
maka tidak mungkin masyarakat akan melakukan perbuatan yang melanggar hukum.
Coba saja kalau masyarakat kita masih malu pasti akan berfikir untuk tidak
melakukan perbuatan yang tidak di benarkan syari’at dan hukum Negara. Kalau
masyarakat mempunyai rasa malu maka akan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepadanya. Maka jika masyarakt kita masih mempunyai rasa malu, Negara
kita akan menjadi Negara yang aman tentram dan sejahtera.
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dibutuhkan
moral yang baik dibutuhkan rasa malu yang utuh. Dapat kita ambil contoh dari
masyarakat yang mempunyai rasa malu, misalkan saja masyarakat kita yang akan
melanggar hukum atau aturan yang telah ditetapkan maka mereka akan mengatakan
aku malu untuk melanggar hukum atau aturan ini. Jika masyarakat kita mempunyai
rasa malu maka tidak ada korupsi,
pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, dan sebagainya.
Selain untuk menjauhi hal-hal yang melanggar hukum, malu juga bisa
mendekatkan kepada kebaikan dan keimanan kepada sang Khalik, karena malu merupakan
salah satu cabang dari iman. seperti halnya sabda Nabi Muhammad
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang.
Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling
rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah
satu cabang Iman.” HR.al-Bukhâri
Dari hadis ini dapat diambil ibrah, bahwasanya malu sangatlah
mempunyai kedudukan yang amat penting dalam kehidupan beragama, bermasyarakat
dan bernegara. Karena dalam kehidupan beragama jika tidak mempunyai rasa malu
maka akan menimbulkan sesuatu yang merugikan agama itu sendiri dan juga jika
rasa malu tidak terdapat dalam bermasyarakat maka akan meresahkan masyarakat
dan juga meresahkan Negara. Dari sinilah dapat kita pahami hadis ini sesuai
dengan kebutuhan malu kita dan bagaimana kita menerapkan malu kita dalam
beragama, bermasyarakat dan bernegara.
Dalam salah satu riwayat nabi pernah bersabda “Malu itu tidak
mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan.” (Muttafaq ‘alaihi) dalam riwayat
Muslim “Malu itu kebaikan seluruhnya.” Hadis ini menunjukan bahwa ketika
kita masih memiliki rasa malu maka kita akan mendapatkan kebaikan baik berupa
kebaikan di dunia maupun kebaikan di akhirat.
Tetapi jangan sekali-kali kalua kita akan melakukan perbuatan yang
baik kita megatakan aku malu maka malu seperti inilah tidak dibenarkan. Di
antara sifat malu yang tercela adalah malu untuk menuntut ilmu syar’i, malu
mengaji, malu membaca Alqur-an, malu melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang
menjadi kewajiban seorang Muslim, malu untuk shalat berjama’ah di masjid
bersama kaum muslimin, malu memakai busana Muslimah yang syar’i, malu mencari
nafkah yang halal untuk keluarganya bagi laki-laki, dan yang semisalnya. Sifat
malu seperti ini tercela karena akan menghalanginya memperoleh kebaikan yang
sangat besar.
Imam Ibnu Hibban al-Busti rahimahullaah berkata, “Wajib
bagi orang yang berakal untuk bersikap malu terhadap sesama manusia. Diantara
berkah yang mulia yang didapat dari membiasakan diri bersikap malu adalah akan
terbiasa berperilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela. Disamping itu berkah
yang lain adalah selamat dari api Neraka, yakni dengan cara senantiasa malu
saat hendak mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah. Karena, manusia memiliki
tabiat baik dan buruk saat bermuamalah dengan Allah dan saat berhubungan sosial
dengan orang lain. Bila rasa malunya
lebih dominan, maka kuat pula perilaku baiknya, sedang perilaku jeleknya
melemah. Saat sikap malu melemah, maka sikap buruknya menguat dan kebaikannya
meredup.
Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat rasa malunya maka ia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam kejelekannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Siapa yang hilang rasa malunya, pasti hilang pula kebahagiaannya; siapa yang hilang kebahagiaannya, pasti akan hina dan dibenci oleh manusia; siapa yang dibenci manusia pasti ia akan disakiti; siapa yang disakiti pasti akan bersedih; siapa yang bersedih pasti memikirkannya; siapa yang pikirannya tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa baginya dan tidak mendatangkan pahala. Tidak ada obat bagi orang yang tidak memiliki rasa malu; tidak ada rasa malu bagi orang yang tidak memiliki sifat setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak memiliki kawan. Siapa yang sedikit rasa malunya, ia akan berbuat sekehendaknya dan berucap apa saja yang disukainya.”
Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat rasa malunya maka ia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam kejelekannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Siapa yang hilang rasa malunya, pasti hilang pula kebahagiaannya; siapa yang hilang kebahagiaannya, pasti akan hina dan dibenci oleh manusia; siapa yang dibenci manusia pasti ia akan disakiti; siapa yang disakiti pasti akan bersedih; siapa yang bersedih pasti memikirkannya; siapa yang pikirannya tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa baginya dan tidak mendatangkan pahala. Tidak ada obat bagi orang yang tidak memiliki rasa malu; tidak ada rasa malu bagi orang yang tidak memiliki sifat setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak memiliki kawan. Siapa yang sedikit rasa malunya, ia akan berbuat sekehendaknya dan berucap apa saja yang disukainya.”
Dari urain tulisan ini kiranya kita semua bisa mengambil sedikit
pelajaran tentang bagaimana seharusnya kita mengelola (memanag) rasa malu kita
supaya dengan rasa malu yang kita miliki bisa membawa kita menjadi hamba-hamba
yang lebih taat dan menjadikan kita warga Negara yang terhormat. Malu juga
harus ditempatkan pada tempat yang tepat, maksud dari tempat yang tepat yaitu
ketika kita melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela maka kita harus malu
karena melakukannya. Dan jangan sekali-kali malu dalam hal kebaikan karena malu
dalam melakukan kebaikan tidak akan mengutungkan melainkan membuat kerugian
bagi diri kita sendiri. Dan dari inilah
apakah kita semua akan membiarkan rasa malu kita hilang? Ataukah kita masih
menginginkan Negara kita menjadi Negara yang tak karuan seperti halnya
sekarang? Mungkinkah kita masih akan terus malu dalam hal kebaikan? Hanya Allah
lah yang tau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar