Tinggal
menghitung hari, Negara kita tercinta akan mengadakan gelaran pesta demokrasi
“katanya”. Pesta lima tahunan , merupakan pesta rakyat Indonesia, mulai dari Sabang sampai
Marauke, semuanya masyarakat mempunyai hak pilih untuk menentukan dan
menggantungkan nasibnya (rakyat Indonesia) kepada para wakil yang duduk di DPRD
maupun di DPR-RI.
Aroma politik
begitu terasa mneyengat, berbagai artibut partai sudah mulai berjejalan
dimana-mana, baik di Kota maupun di Desa. Tak mau kalah dengan partainya, para
calon wakil kita (rakyat) “ktanya”? juga ikut memasang baleho yang bergambarkan
dirinya. Mulai dari yang kecil sampai yang besar, semuanya membuat pemandangan
yang tidak nyaman. Aroma persaingan yang kental, tidak hanya dikarenakan
artibut partai ataupun baliho para caleg yang terpampang di berbagai sudut
jalan. Baliho yang menggambarkan sosok-sosok yang mengaku akan membela rakyat
kecil. Janji demi janji meraka tulis besar-besar dengan kata yang melanakan,
raut wajah mereka di buat menjadi wajah sok bijaksana, sok alim, dan sok
merakyat.
Semua meraka
lakukan hanya berlomba untuk mencari simpati masyarakat. Berbagai cara mereka
lakukan agar masyarakat mau memilih mereka (para caleg). Pasang iklan,
pencitraan di media, pasang baliho, dan yang mengerikan dan itu menjadi sesuatu
yang pasti ada dalam semua pemilu yang telah berlangsung yaitu bagi-bagi duit
yang istilah kerennya yaitu money politic.
Ada
beberapa faktor yang menjadikan politik duit berkembang dari peredarannya
antara lain yaitu: di karenakan ketidak tahuan masyarakat tentang politik,
ekonomi masyarakat yang lemah, pendidikan kurang memadai, dan yang sering di
lakukan karena persaingan para calon yang maju dalam pemilu.
Pemilhan
umum adalah suatu keharusan dalam alam demokrasi, karena dalam sistem demokrasi
yang dianut adalah kekuasaan ditangan rakyat, meskipun pengalaman membuktikan
bahwa rakyat yang punya kuasa justru sering dibuat tak berdaya oleh para
penguasa yang notabene dulu di pilih oleh rakyat. (Ali Khoiron dosen Ma’had Aly
Al-Falah, dalam Bulutin Alfalah, edisi 7).
Negara
Indonesia adalah Negara demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Yang mana pemilik kekuasaan tertinggi adalah rakyat. Kekuasaan harus disadari berasal
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bahkan kekuasan hendaklah
dilaksanakan bersama-sama dengan rakyat.
Demokrasi
tidak boleh hanya di jadikan hiasan bibir dan bahan retorika belaka. Demokrasi
juga bukan hanya menyangkut pelambangan gagasan-gagasan luhur tentang kehidupan
bernegara yang ideal, melainkan juga merupakan persoalan tradisi dan budaya
politik yang egaliter dalam realitas pergaulan hidup yang berkeragaman atau
plural, dengan saling menghargai perbedaan satu sama lain. (Jimly Asshidiqie,
dalam bukunya: konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, hal 70)
Ketika
kita menemukan berbagai cara para calon yang bersaing dalam pemilu,dan pilkada tidak terlepas dari demokrasi yang di
anut oleh Negara republik Indonesia. demokrasi dalam masalah politik adalah
aliran politik yang dibangun atas pondasi pemberian kesempatan pada rakyat
untuk menyelenggarakan urusan politik dalam Negara, dimana putusan tertinggi
ada di tangan rakyat dan tidak ada yang lebih tinggi darinya. Dengan kata lain,
rakyatlah yang berhak membuat undang-undang untuk diri mereka dan lebih berhak
untuk menghukum diri mereka sendiri. Sitem yang dianut kita adalah sitem yang
baik hanya saja, pelaku sistem itu sendiri yang tidak baik. ( Rapung Samuddin,
LC, MA dalam bukunya fiqih Demokrasi hl: 165).
Dalam
masyarakat demokratis, pemilu merupakan suatu proses pergantian kekuasaan
secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai dengan prinsip-prinsip yang
digariskan konstitusi. Dengna demikian dapatlah dipahami bahwa pemilu merupakan
kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah Negara yang menganut
prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan
rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap warga Negara berhak ikut aktif dalam
setiap proses pengambilan keputusan
kenegaraan. (Dahlan Thaib, dalam bukunya
Ketatanegaraan Indonesia, hal:98).
Negara
Indonesia menghendaki bahwa pemilu tegak atas landasan persamaan. persamaan
antara suara orang jahil dan alim, orang baik dan orang buruk dan lain
sebagainya. Seluruh masyarakat setara dalam proses pemilu, hingga ilmu,
ketakwaan, pengalaman dan pandangan kritis tidak memiliki pengaruh sedikitpun
dalam proses pemilihan. Darisinilah mengapa maraknya politik duit yang kian mengerikan.
Politik
bukanlah suatu yang kotor. Tapi ketika di sangkutkan dengan pemilu, pilkada
ataupun pilpers yang menggunakan politik duit (uang) inilah yang baru dikatakan
politik kotor. Dalam konstitusi Negara
pemilihan secara jujur, bersih, inilah yang di cita-citakan oleh sebuah Negara
yang belandaskan demokrasi. Begitupun
apa yang di inginkan Negara Republik Indonesia yang menghedaki pemilu dengan
jujur dan adil.
Kejujuran
dan keadilan dalam pemilu hendaknya di junjung tinggi. Dengan landasan jurdil
ini maka Negara akan mempunyai pemimpin yang layak dan berkompeten untuk
memimpin dan mewakili rakyat. Dalam pemilu raya, tidak ubahnya seperti ladang
untuk para kapitalis merauk suara banyak, karena merekalah yang mempunyai
keinginan untuk menduduki sebuah Negara. Dari sini apakah kita akan rela
menyerahkan kepemimpinan kepada kapitalis dan orang-orang yang akan
menghancurkan Negara? Tentu kita tidak akan mau menyerahkannya bukan?.
Dari
beberapa pemilihan secara langsung yang telah di laksanakan di berbagi plosok
negeri, misalkan pilkada yang beberapa bulan lalu sudah digelar, telah banyak
ditemukan politik duit (uang). Tak bisa di pungkiri bahwa masyarakat kita masih
awam dengan politik, sehingga mereka mudah untuk di beli suaranya. Mereka tak
memperdulikan pemimpin yang kelak memimpinya. Mereka memilih bukan karena
reputasi calon, tetapi berapa uang yang diberikan, sehingga politik duit pun
merajai dan mengeras bagaikan batu karang dilaut.
Ketika
duit menjadikan pemimpin, maka tidak heran kalau kerjaan pemimpin sekarang
hanaya mementingkan duit, bagaimana mendapatkan duit sebanyak-banyaknya, dan
bagaimana mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan besrta dengan bunganya.
Maka tidak mengherankan jika meja hijau, lembaga pemasyarakatan banyak dihuni
oleh mantan-mantan wakil rakyat yang korupsi secara berjamaah. (Alis Asikin
dosen IAIN Walisongo, dalam bulletin Al-Falah, edisi 2).
Ini
merupakan fenomena yang terjadi di Negara kita, Negara Indonesia tercinta. Dari
kasus-kasus yang menjerat para wakil rakyat yang telah kita pilih, apakah kita
masih akan mementingkan duit yang tidak seberapa? Yang menyebabkan Negara kita
terjangkit virus Korupsi. Korupsi yang merajalela sekarang adalah ulah kita
sendiri, yang memilih wakil rakyat hanya dengan melihat duitnya, bukan melihat
kemampuan dan kiprah wakil rakyat tersebut.
Apakah
kita akan rela kalau 5 tahun kedepan Negara kita masih menjadi Negara terkorup,
Negara tertinggal, Negara termiskin (padahal sumber daya alam kita melimpah),
dan Negara terbelakang dalam pendidikan. Mungkinkah kita akan melestarikan
budaya politik kotor, politik duit, dan politik kapitalis?, tentu kita tidak
rela bukan, menjadikan Negara tercinta Indonesia sebagai Negara yang
berkedaulatan duit. Maka dari pengalaman yang sudah-sudah hendaknya kita
sebagai warga Negara tidak mudah untuk di suap, di sogok dan suara kita di
jadikan barang dagangan. Mari kita berbaiki pemilu kali ini dengan jujur dan
adil, dengan mengedepankan calo-calon yang kredibel dalam bidang politik
kenegaraan, dan marilah kita memilih wakil-wakil kita tidak hanya karena paras
yang di permak menjadi sok alim, sok bijaksana, dan sok merakyat. Kenalilah
wakil rakyatmu sebelum memilih. Ingatlah 5 menit kita di TPS (tempat pemungutan
suara) itu akan menentukan 5 tahun kedepan negara.
Mari
kita tolak politik duit, kita abaikan para calon yang berpolitik duit. Karena
korupsi dan hal-hal yang merugikan Negara awalnya adalah dari para calon yang
menghambur-hamburkan duitnya untuk mewakili kita. Apakah kita mau menjadi
penghuni neraka karena di suap?, mau menjadikan Negara kita Negara terkorup dan
tertinggal?.
DAFTAR
BACAAN
Ali
Khoiron dosen Ma’had Aly Al-Falah, dalam Bulutin Alfalah, edisi 7
Alis Asikin
dosen IAIN Walisongo, dalam bulletin Al-Falah, edisi 2
Dahlan Thaib,
dalam bukunya Ketatanegaraan Indonesia
Jimly
Asshidiqie, dalam bukunya: konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia
Rapung Samuddin, LC, MA dalam bukunya fiqih
Demokrasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar