PENGANTAR
A. Latar Belakang
Hukum sebagia sub sistem
sosial, sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence M. Friedmann, tersusun atas tiga
komponen penting, yaitu substansi, struktur, dan kultur hukum. Substansi hukum
berbentuk aturan hukum, yang dengannya relasi antara subyek hukum diatur.
Struktur hukum merupakan lembaga yang membuat, mengelola, dan menegakan hukum.
Sedangkan kultur hukum adalah sikap, prilaku dan respon dari subyek hukum yang
diharapkan melaksanakan substansi hukum.
Substansi hukum suatu bangsa,
harus mencerminkan bangsa itu sendiri. Begitu juga yang seharusnya terjadi di
Indonesia. Seharusnya substansi hukum di Indonesisa mencermikan nilai moral dan
falsafah mayoritas bangsa Indonesia, yaitu Islam. Karena fakta historis
menjelaskan hukum Islam bahkan termasuk aspek pidananya pernah berlaku di
Nusantara sampai datangnya penjajahan Belanda. Demikian juga, pasal 29 UUD
1945, menjadi landasan konstitusional bagi keberlakuan hukum Islam Indonesia,
sebagai hukum nasional, meskipun hanya mengikat umat Islam saja.[1]
Dalam hukum perdata
penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui jalur litigasi dan non litigasi.
Penyelesaian sengketa melalui ligitasi yaitu penyelesaian perkara melalui badan
peradilan. Sedangkan penyelesaian sengketa non litigasi yaitu penyelesaian
perkara perdata yang diluar peradilan bisa dengan cara perdamain atau
arbitrase.[2]
Dewasa ini pertumbuhan ekonomi
syari’ah di Indonesia begitu pesat, khususnya dalam bidang perbankan dan
lembaga keuangan lainnya yang berlandaskan
syari’ah. Berdirinya lembaga-lembaga perekonomian syari’ah tentunya
sekaligus akan membuka kemungkinan terjadinya perselisiahan di antara para
pihak.[3] Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) merupakan produk legislasi yang pertama kali memberikan kompetensi
kepada peradilan agama dalam penyelesaian perkara
ekonomi syariah. Kemudian Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UUPS) diberlakukan untuk
memperteguh kompetensi peradilan agama dalam menangani perkara ekonomi syariah,
khususnya perbankan syariah.Berdasarkan UUPA dan UUPS tersebut, semestinya peradilan
agama sudah secara praktis memiliki kompetensi dalam menangani perkara ekonomi
syariah.[4]
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang pada makalah ini, pemakalah akan merumuskan
masalah yang dianggap pemakalah perlu untuk di rumuskan menjadi sebuah rumusan
masalah sebagai berikut
1.
Apakah
kompetensi Peradilan Agama di Indonesia?
2.
Bagaimna
prespektif penyelesaian perkara ekonomi syari’ah di Peradilan Agama?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui kompetensi Peradilan Agama di Indonesia
2.
Guna
mengetahui prespektif penyelesaian perkara ekonomi syari’ah di Peradilan Agama
D.
Pembahasan
1. Kompetensi
Peradilan Agama di Indonesia
Peradilan islam
di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan “Peradilan Agama” telah ada di
berbagai tempat di Nusantara, jauh sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan
menurut pakar sejarah peradilan, Peradilan Agama sudah ada sejak abad ke-16.
Dalam sejarah, tanggal 19 Januari 1882 ditetapkan sebagai hari jadinya, yaitu
bersamaan dengan diundangkannya ordonantie Stbl. 1882-152, tentang
Peradilan Agama di pulau Jawa dan Madura.[5]
Kompetensi Peradilan Agama
telah mengalami dinamika yang cukup pelik serta mengarah pada pasang surut. Kendati tidak sampai dihapuskan, namun
lingkup kompetensi peradilan agama kerap dibatasi pada perkara keperdataan
tertentu. Kenyataan ini sesungguhnya tidak terlepas dari kehendak politik
(political will) para penguasa pada masanya yang tercermin dalam
kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh penguasa bersangkutan. Takdapat dipungkiri bahwa faktor dinamika politik hukum dan
kehendak politik (political will) penguasa dari masa ke masa telah menggoreskan
catatan penting dalam dinamika peradilan agama di Nusantara, yang dalam
kenyataannya tidak selalu berada dalam perjalanan yang relatif mulus.
Kompetensi Peradilan
Agama pada dasarnya sangat terpaut erat dengan pelaksanaan hukum Islam sebagai
hukum yang hidup di masyarakat (living law). Sekalipun demikian, sejak
munculnya teori receptie produk Christian Snouck
Hurgronje, kompetensi peradilan agama pernah dibatasi, tidak lagi menangani
masalah waris karena dianggap belum menjadi hukum adat. Berdasarkan pengaruh
teori ini, kompetensi peradilan agama hanya diperkenankan untuk menangani
masalah perceraian, nafkah, talaq, dan rujuk.
Perubahan kompetensi mulai nampak dalam UU No. 1
Tahun 1974, yang meliputi perceraian, penentuan
keabsahan anak, perwalian, penetapan asal usul anak, dan izin menikah. Tidak
sebatas itu, kompetensi peradilan agama juga bertambah ketika keluar PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik, terutama dalam ketentuan Pasal 12.[6] Bahkan
pada tahun 1989, kompetensi Peradilan Agama disebutkan dalam pasal 49
Nomer 7 tahun 1989. Bahwasanya, Peradilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, kewarisan, wasiat,
hibah, wakaf dan shadaqah.[7]
Setelah di
sahkannya Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang
nomer 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kekuasaan atau kewenangan
pengadilan agama diperluas, yang tidak hanya menyangkut perkara perdata (hukum
perkawinan, hukum kewarisan, wasiat dan hibah, serta hukum perwakafan, zakat,
infaq, dan shadaqah), tetapi juga meliputi bidang ekonomi syariah.[8] Artinya, Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 ini
menegaskan secara eksplisit bahwa masalah ekonomi syariah telah menjadi
kompetensi absolut peradilan agama. Dalam skala yang lebih luas, perluasan kompetensi peradilan agama sebagaimana diatur dalam undang-undangtersebut merupakan respon terhadap perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Muslim.
2.
Prespektif
penyelesaian perkara ekonomi syari’ah di Peradilan Agama
Kewenangan mengadili sengketa dibidang ekonomi
syari’ah merupakan wewenang peradilan agama melalui undang-undang no 3 tahun 2006, maka Peradilan Agama menjadi perangkat hukum bagi
pelaksanaan ekonomi syari’ah. Artinya setiap terjadi sengketa ekonomi syari’ah,
penyelesaianya melalui peradilan agama. Untuk dapat menyelesaikan suatu
sengketa, peradilan agama akan melakukan kegiatan menerima perkara, memeriksa
perkara, dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Sebagia perangkat hukum
ekonomi syari’ah, kegiatan terpeenting peradilan agama adalah mengadili yakni
memberi keadilan pada pihak-pihak yang bersengketa. Dalam memberikan keadilan
peradilan agama akan mencari hukum atas peristiwa yang disengketakan melaluai
berbagai sumber hukum, seperti hukum tertulis, yurispudensi, kebiasaan,
perjanjian, dan ilmu pengetahuan atau doktrin hukum.
Secara
konstitusional, dasar hukum ekonomi syariah berpijak pada Pancasila sebagai
dasar negara dan UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi, bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa; dan (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.” Ketentuan hukum formal yang
mengatur pelaksanaan kegiatan ekonomi syariah di Indonesia adalah segala
ketentuan yang telah melalui proses positivisasi oleh negara. Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa sebagai konsekuensi logis dari koherensi al-Qur’an dan
Sunah sebagai satu bentuk konsistensi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945, maka: (1) sistem ekonomi syariah
sebagai bagian utuh dalam totalitas sistem hukum ekonomi Indonesia kontemporer,
sumber hukum dasarnya secara legal formal mencakup Pancasila, sebagaimana yang tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai sumber hukum dasar, dan UUD 1945,merupakan sumber hukum dasar tertulis; (2) sistem ekonomi sebagai satu
sub-sistem hukum muamalah Islam yang didasarkan pada ketentuan normatif
al-Qur’an dan Sunah sebagai sumber hukum fundamental yang utama dan pertama,
pada hakikatnya merupakan konsistensi dan perwujudan nyata dari hakikat “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana dimaksud
ketentuan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945.
Dengan demikian,
sumber hukum dasar tertulis sebagai sandaran ekonomi syariah paling utama dan
pertama dalam sistem hukum Indonesia kontemporer adalah ketentuan Pasal 29 UUD
1945. Adapun sandaran sumber hukum tertulis paling utama dan
pertama dalam konteks sistem hukum ekonomi saat ini, tentu saja ketentuan UU
No. 10 Tahun 1998, dengan segala produk peraturan pelaksanaannya berupa PP, PBI
atau KBI dan lain sebagainya. Sandaran sumber hukum tertulis berupa PBI atau
KBI ini, selain didasarkan pada ketentuan langsung UU No. 10 Tahun 1998, juga
telah diperkuat oleh ketentuan Pasal 4 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000.
Sedangkan sumber hukum tertulis dalam bentuk produk PP yang berlaku sebelum
diundangkannya UU No. 10 Tahun 1998, dan secara langsung menjadi sandaran
sistem operasional kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah, antara lain
berupa PP No. 72 Tahun 1992. Selain itu, tentu saja segala produk peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagai sumber hukum tertulis, baik yang secara
langsung ataupun tidak langsung terkait dengan operasional kegiatan usaha
ekonomi, juga dapat menjadi sumber hukum tertulis bagi sistem operasional
ekonomi syariah, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip hukum syariah
Islam. Dalam hal ini, fatwa DSN dapat dikategorikan sebagai sumber yang
bersifat hukum dan menjadi sumber hukum tertulis.[9]
Setelah Peraturan
Mahkamah Agung no 2 tahun 2008 disahkan maka, sumber hukum bagi peradilan agama
untuk mengadili dan menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah adalah menggunakan
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES). Berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam,
KHES diberlakukan sebagai hukum terapan di peradilan agama melalui Peraturan
Mahkamah Agung (Perma) no 2 tahun 2008. KHES merupakan kompilasi hukum ekonomi
yang dinukilkan dari sumber klasik hukum Islam (fiqh) yang dipadu dengan
perkembangan hukum dan praktek bisnis modern, serta disusun dengan mengadopsi
sistematika KUH perdata. KHES terdiri atas empat buku dan 1852 pasal, buku I
mengatur tentang subyek hukum dan harta. Buku II mengatur tentang akad mulai
dari asas-asas akad, akad yang dikenal dalam fiqh sampai akad multi jasa dan
pembiayaan rekening Koran syari’ah. Buku III mengatur zakat dan hibah, dan buku
IV mengatur akuntansi syari’ah yang meliputi antara lain akuntansi piutang,
akuntansi pembiayaan, investasi dan akuntansi equitas. Meskipun masih banyak
kekurangannya KHES dianggap cukup memadai sebagai hukum materii (terapan)
untuk mengantisipasi sengketa ekonomi syari’ah yang diajukan ke peradilan
agama.[10]
E.
Kesimpulan
Dari pembahasan
makalah ini, pemakalah akan menyimpulkan isi makalah ini sebagai berikut
1. Sebelum di sahkanya
Undang-Undang No 3 tahun 2006 yang mengubah pasal 49 Undang-undang No 7 tahun
1989 tentang kompetensi peradilan agama, yang mana kompetensi peradilan agama
yang semula hanya berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara yang meliputi: perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah, wakaf dan
sadaqah. Setelah di sahkanya undang-undang No 3 tahun 2006 maka kompetensi
peradialan agama menjadi diperluas dengan di tambahkannya ekonomi syari’ah di
dalam kompetensi absolut peradilan agama.
2. Perkara ekonomi
syari’ah jelas menjadi wewenang Peradilan Agama, karena sudah jelas bahwa
kompetensi peradilan agama lah yang mempunyai hak untuk mengadili perkara
ekonomi syari’ah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang No 3 tahun
2006, juga diperkuat dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) no 2 tahun 2008
tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah
yang menjadi hukum materiil ekonomi syari’ah bagi Peradilan Agama.
Daftar
Pustaka
Lubis, Suharwadi K. 2000.“Hukum Ekonomi Islam”,
Jakarta: Sinar Grafika
Rivai
Veithzal dkk. 2009, “Ekonomi Syari’h, konsep praktek dan penguatan
kelembagaannya”, Semarang: Pustaka Rizki Putra
Rosid, Roihan, 2010, “Hukum Acara Peradilan Agama”,
Jakarta: Rajawali Pers
Usman,
Rachmadi, 2009,”Produk dan Akad Perbankan Syariah di Indonesia”, Bandung:
PT Citra Aditya Bakti
Wirdiyaningsih,
SH., MH.,et.al, 2005,”Bank dan Asuransi Islam di Indonesisa”
Jakarta: Kencana
[1] Rivai Veithzal dkk. 2009, “Ekonomi
Syari’h, konsep praktek dan penguatan kelembagaannya”, Semarang: Pustaka
Rizki Putra
[2] Usman, Rachmadi, 2009,”Produk dan
Akad Perbankan Syariah di Indonesia”, Bandung: PT Citra Aditya Bakti
[3] Lubis, Suharwadi K. 2000.“Hukum
Ekonomi Islam”, Jakarta: Sinar Grafika
[5] Rosid, Roihan, 2010, “Hukum Acara
Peradilan Agama”, Jakarta: Rajawali Pers
[7] Rosid, Roihan, 2010, “Hukum Acara
Peradilan Agama”, Jakarta: Rajawali Pers
[8] Usman, Rachmadi, 2009,”Produk dan
Akad Perbankan Syariah di Indonesia”, Bandung: PT Citra Aditya Bakti
[10] Rivai Veithzal dkk. 2009, “Ekonomi
Syari’h, konsep praktek dan penguatan kelembagaannya”, Semarang: Pustaka
Rizki Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar