A. Pendahuluan
Latar Belakang
Dewasa ini,
Bank sudah tak asing lagi bagi semua masyarakat, karena seluruh masyarakat telah
mengenalnya. Istilah Bank berasal dari bahasa Italia yaitu banko. Pada awalnya
merupakan kegiatan para penukar uang (money-changer) di pelabuhan-pelabuhan,
yang banyak kelasi kapal dan para wisatawan yang datang dan pergi. Mulanya
kegiatan itu dilakukan dengan cara meletakan uang penukar diatas meja
ditempat-tempat umum. Meja tempat meletakkan uang itulah yang disebut banko.
Dengan
demikian, istilah bank merupakan pengembangan lebih lanjut dari istilaah banko,
yang sebenarnya dimaksudkan sebagai simbol bagi alat penukaran.
Menurut
Undang-undang Nomer 7 Tahun 1992 tetang perbankan yang dimaksud dengan bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan, dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka mengangkat taraf hidup rakyat
banyak (Pasal 1 angka 1).[1]
Larangan
riba dalam al-Qur’an diturunkan secara bertahap, hal ini memang salah satu
karakteristik al-Qur’an dalam memberlakukan hukum, adalah menggunakan
pendekatan berangsur-angsur atau bertahap (at-tadrij fi at-tasyri’).
Ayat al-Qur’an tentang pelarangan riba dimaksud adalah surat ar-Rum:39,
surat an-Nisa:160-161, surat Ali ‘Imran:130, dan surat al-Baqarah:275-280.
Urutan ayat al-Qur’an tetang pelarangan riba tersebut mengacu tafsir al-Maragi
dan as-sabuni. (Shihab, 1992:260). Riba yang dibicarakan dalam surat ar-Rum,
pelarangannya belum sekeras larangan riba di ayat lain.
Shihab,
setelah mnguraikan panjang lebar tentang pengertian yang terkandung dalam
ayat-ayat riba, menarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan riba adalah
kelebihan yang dipungut bersama jumlah hutang yang mengandung unsur
penganiayaan dan penindasan (Shihab, 1992:267).[2]
Makalah ini
akan membahas tetang seluk-beluk
berdirinya Bank, pembagian Bank, riba dan hukum riba. Karena tidak dapat
kita pungkiri bahwa sanya masyarakat Indonesia masih tergantung pada bank-bank
yang mengusung konsep riba (bunga). Dari sinilah kami tertarik untuk menyusun
makalah yang berjudul Bank dan Riba.
B. Pokok masalah
Dari latar
belakang yang ada pada makalah ini, bank merupakan badan usaha yang menghimpun
dana masyarakat serta mendistribusikan dana kepada badan usaha atau masyarakt. Sedangkan
riba sendiri yaitu kelebihan yang
dipungut bersama jumlah hutang yang mengandung unsur penganiayaan dan
penindasan dapat di tarik akar pokok
masalahnya yaitu:
1) Sejak kapan berdirinya bank ?
2) Bagaimana jenis dan sistem pengelolaan bank ?
3) Bagaimana hukum bermuamalah dengan bank konvensional?
4) Apa Pengertian riba menurut para ulama ?
5) Apakah hukum riba itu ?
C. Tujuan penulisan
1) Untuk mengetahui sejarah berdirinya Bank
2) Mengerti jenis atau sistem pengelolaan Bank
3) Guna mengetahui bagaimana hukum bermuamalah dengan bank konvensional
4) Agar dapat memahami pengrtian Riba secara mendalam
5) Untuk lebih paham tetang hukum Riba
D. pembahasan
1. Sejarah Berdirinya Bank
Istilah Bank berasal dari bahasa Italia yaitu banko. Pada awalnya
merupakan kegiatan para penukar uang (money-changer) di pelabuhan-pelabuhan,
yang banyak kelasi kapal dan para wisatawan yang datang dan pergi. Mulanya
kegiatan itu dilakukan dengan cara meletakan uang penukar diatas meja
ditempat-tempat umum. Meja tempat meletakkan uang itulah yang disebut banko.
Sedangkan
menyangkut proses kelahiran bank. Pada awalnya merupakan wujud dari
perkembangan cara penyimpanan harta benda. Para saudagar khawatir membawa
perhiasan dan barang berharga lainnya dari kejaran pencuri. Dari keadaan
seperti itulah kemudian berkembanglah bank sebagaimana dewasa ini.
Bank pertama
kali berdiri pada awal abad ke 14 dikota dagang Venesia dan Genoa di Italia.
Dari kedua kota itu kemudian sistem bank menjalar ke Eropa Barat, dan kemudian
pada tahun 1696 di Inggris berdiri pula sebuah bank yang bernama Bank Of England.
Sedangkan di
Indonesia, bank pertama kali didirikan pada tahun 1824. Ketika itu pemerintah
Hindia Belanda mendirikan sebuah bank yang diberi nama Handel maatschappij (NHM),
yang dewasa ini dikenal dengan nama Bank Ekspor Impor Indonesia (BEI). Kemudian
pada tahun 1827 pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan De Javasche Bank sekarang
dikenal dengan nama Bank Indonesia dan NV Escompto Bank cikal bakal bank
swasta, yang sekarang ini dikenal dengan nama Bank Dagang Negara.[3]
2. Jenis Dan Sistem Pengelolaan Bank
Dilihat dari
segi jenis atau sistem pengelolaannya, bank dapat dikelompokan menjadi dua,
yaitu bank konvensional dan bank Islam (syari’ah)
a) Bank Konvensional
Bank konvensional yaitu sebuah lembaga keuangan yang
fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan dana,
baik perorangan atau badan usaha guna investasi dalam usaha-usaha yang
produktif dan lain-lain dengan sistem bunga. Sistem bunga merupakan sistem yang
pergunakan oleh bank konvensional. Di Indonesia, ia merupakan satu-satunya
sistem yang menjadi landasan kegiatan usaha perbankan dan berlangsung sampai
tahun 1992 atau sampai ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. UU
menyebutkan dua pilihan dalam mengembalikan kredit; dengan bunga atau dengan
imbalan pembagian hasil keuntungan. Bunga merupakan ciri khas dari perbankan
konvensional yang berdasarkan sistem ekonomi kapitalis dan dinilai sebagai
kunci untuk keberhasilan usaha perbankan.[4]
b) Bank Islam (Syari’ah)
Bank Islam, ialah sebuah lembaga keuangan yang
menjalankan operasinya menurut hukum syariat Islam. Sudah tentu Bank Islam
tidak memakai sistem bunga, sebab bunga dilarang oleh Islam. Sebagai pengganti
sistem bunga, Bank Islam menggunakan berbagai cara yang bersih dari unsur riba,
antara lain ialah sebagai berikut:
i.
Wadiah (titipan uang, barang dan surat berharga
atau deposito). Bisa diterapkan Bank Islam dalam operasinya menghimpun dana
dari masyarakat, dengan cara menerima deposito berupa uang, barang dan
surat-surat berharga sebagai amanat yang wajib dijaga keselamatannya oleh Bank
Islam. Bank berhak menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus membayar
imbalannya (rente/riba), tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu
pada waktu pemiliknya (depositor) memerlukannya
ii.
Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dengan
pelaksana atas dasar perjanjian profit and loss sharing). Dengan mudharabah
ini, bank islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk
perusahaannya dengan perjanjian bagi hasil dan rugi yang perbandingannya sesuai
dengan perjanjian, misalnya fifty-fifty. Dalam mudharabah ini,
bank tidak mencampuri manajemen perusahaan
iii.
Musyarakah/syirkah (persekutuan). Dibawah kerja sama musyarakah/syirkah
ini, pihak dan pihak pengusaha sama-sama mempunyai andil (saham) pada usaha
patungan (join venture). Karena itu, kedua pihak berpartisipasi
mengelola usaha patungan ini dan menanggung untung ruginya bersana atas dasar
perjanjian profit and loss sharing (PLS agreement)
iv.
Murabahah (jual beli barang dengan tambahan harga
atau cost plus atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur).
Dengan murabahah ini, orang pada hakikatnya ingin merubah bentuk
bisnisnya dari kegiatan pinjam meminjam menjadi transaksi jual beli (lending
activity menjadi sale and purchase transaction). Dengan system murabahah
ini, bank bisa membelikan/menyediakan barang-barang yang diperlukan oleh
pengusaha untuk dijual lagi, dan bank minta tambahan harga (cost plus)
atas harga pembelinya. Syarat bisnis dengan murabahah ini ialah si
pemilik barang, dalam hal ini bank harus memberi informasi yang sebenarnya
kepada pembeli tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersihnya (profit
margin) dari pada cost plus-nya itu
v.
Qard Hasan (pinjaman yang baik atau benefolent loan).
Bank Islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga (benefolent loan)
kepada para nasabah yang baik, terutama nasabah yang punya deposito di Bank Islam
itu sebagai salah satu service dan penghargaan bank kepada para deposan,
karena deposan tidak menerima bunga atas depositonya dari bank Islam.
3. Hukum Bermuamalah Dengan Bank Konvensional
Dalam kehidupan modern seperti sekarang
ini, umat Islam hampir tidak bisa menghindari diri dari bermuamalah dengan bank
konvensional yang memakai system bunga itu dalam segala aspek kehidupannya,
termasuk kehidupan agamanya. Misalnya ibadah haji di Indonesia umat Islam harus
memakai jasa bank, apalagi dalam kehidupan ekonomi tidak bisa lepas dari jasa bank. Sebab tanpa jasa
bank, perekonomian Indonesia tidak selancar dan semaju seperti sekarang ini.
Namun para ulama dan cendekiawan Muslim hingga kini masih tetap berbeda
pendapat tentang hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga
bank.
Perbedaan pendapat mereka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Pendapat Abu Zahrah, Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Cairo,
Abul A’la al-Maududi (Pakistan), Muhammad Abdullah al-A’rabi, Penasihat Hukum
pada Islamic Congress Cairo dan lain-lain yang menyatakan bahwa bunga
bank itu riba nasiah, yang dilarang oleh Islam. Karena itu umat Islam
tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai system bunga, kecuali kalau
dalam keadaan darurat atau terpaksa. Dan mereka mengharapkan lahirnya bank
Islam yang tidak pakai system bunga sama sekali
2. Pendapat A. Hasan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persia) yang
menerangkan bahwa bunga bank seperti di Negara kita ini bukan riba yang
diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana dinyatakan dalam Qs.
Al-Imran:130
3. Pendapat Majelis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo Jawa Timur tahun
1968 yang memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank negara
kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya, adalah termasuk syubhat atau
mutasyabihat, artinya belum jelas halal/haramnya. Maka sesuai dengan
petunjuk hadits, kita harus berhati-hati menghadapi masalah-masalah yang masih
syubhat itu. Karena itu, jika kita dalam keadaan terpaksa atau kita dalam
keadaan hajah, artinya keperluan yang mendesak/penting, barulah
diperbolehkan bermuamalah dengan bank dengan system bunganya itu sekadarnya
saja.
Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa’, Guru Besar
Hukum Islam dan Hukum Perdata Universitas Syiria, bahwa sistem perbankan yang
kita terima selama ini, sebagai realitas yang tak dapat kita hindari. Karena
itu umat Islam boleh bermuamalah dengan bank konvensional itu atas pertimbangan
dalam keadaan darurat dan bersifat sementara. Sebab umat Islam harus berusaha
mencari jalan keluar dengan mendirikan bank tanpa sistem bunga, demi
menyelamatkan umat Islam dari cengkeraman bank bunga (conventional bank).
[5]
4. Riba Menurut Para Ulama
Al-Qur’an dan Hadis menggunakan istilah ‘riba’ yang oleh para ahli
diterjemahkan sebagai ‘bunga’. Kita tidak menjumpai definisi bagi istilah
tersebut baik di dalam Al-Qur’an maupun didalam Hadis Nabi SAW. Oleh karena
itu, yang paling baik kita lakukan adalah mengutip pandangan para ahli tafsir
Al-Qur’an dan para fuqaha Islam yang menerangkan arti dan hakikat riba.
Diantaranya yaitu :
a. Menurut Muhammad Asad
Dalam pengertian terminologi yang umum, istilah
tersebut bermakna “tambahan” kepada atau “kenaikan” dari sesuatu melebihi dan
di atas jumlah atau ukurannya yang asal. Didalam terminologi Al-Qur’an, istilah
itu menunjukan tambahan haram apa pun, melalui bunga, terhadap sejumlah
uang atau barang yang dipinjamkan oleh
seseorang atau lembaga kepada orang atau lembaga lain.
b. Menurut Syeh Abu A’la al-Maududi
Kata Arab ‘riba secara literal, berarti “peningkatan
atas”, atau “tambahan untuk” apa pun juga. Secara teknis, istilah itu digunakan
untuk menyebut sejumlah tambahan yang dikenakan oleh kreditor kepada debitor
secara tetap pada pokok utang yang ia pinjamkan, yakni bunga.
c. Menurut Afzalur Rahman
Afzalur Rahman menerangkan arti riba secara rinci berdasarkan
beberapa pendapat fuqaha Islam klasik sebagai berikut:
Al-Qur’an menggunakan kata riba untuk bunga. Menurut
kamus, arti riba adalah kelebihan atau peningkatan atau surplus, tetapi, dalam
ilmu ekonomi, kata itu berarti surplus pendapatan yang didapat oleh pemberi
utang dari pengutang, lebih tinggi dan diatas jumlah pokok utang.
Riba didalam Islam, secara khusus menunjuk pada
kelebihan yang dituntut dengan suatu cara tertentu.[6]
d. Menurut Qurais Shihab
Bahwa yang
dimaksud deangan riba adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah hutang yang mengandung unsur
penganiayaan dan penindasan.[7]
5. Hukum Riba Dalam Al-Qur’an Dan Assunnah
Riba (usury atau interest,
bhs. Inggris) yang berasal dari bahasa Arab, artinya tambahan (ziyadah,
Arab/addition, Inggris), yang berarti: tambahan pembayaran atas uang
pokok pinjaman.
Ada yang membedakan antara riba dan
renta/bunga seperti Mohammad Hatta, mantan Wakil Presiden RI, bahwa riba adalah
untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedang rente/riba untuk pinjaman yang
bersifat produktif. Demikian pula istilah usuary dan interest,
bahwa usuary ialah bunga pinjaman yang sangat tinggi, sehingga melampaui
suku bunga yang diperbolehkan oleh hukum. Sedangkan interest ialah bunga
pinjaman yang relative rendah.
Semua agama samawi (reveled religion)
melarang praktik riba, karena dapat menimbulkan dampak bagi masyarakat pada
umumnya dan bagi mereka yang terlibat riba pada khususnya. (footnote)
Dalil dari Al-Qur`an di
antaranya adalah:
3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4
“Allah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Ayat inilah yang
menjadi hukum mengenai status riba. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Juga dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu.” (Al-Baqarah: 278-279)
Nabi muhammad SAW bersabda dalam sebuah hadisnya yang diriwayatkan dari
jabir :
ل
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
dari Jabir dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat pemakan riba, orang yang menyuruh makan riba, juru tulisnya dan saksi-saksinya." Dia berkata, "Mereka semua sama."
Dari ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW jelaslah bahwa sanya bunga/riba itu hukumnya haram.[8]
Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Bunga
setelah MUI menimbang,
mengingat dan memperhatikan kemudian memutuskan bahwa hukum bunga itu haram.
Seperti pada praktik pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang
terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktik
pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.
Praktik penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank,
Asuransi, Pasar Modal, Koperasi dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan
oleh individu.
Selain itu pula dikalangan organisasi Islam di Indonesia dan para
cendikiawan nusantara terdapat perbedaan pendapat, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Keputusan Muktamar Tarjeh Muhammadiyah Tahun 1989 di Malang
Dari lembaga ini menyatakan bahwa ilat keharaman riba itu adalah ekploitasi pihak pemodal (bank) terhadap yang lemah. Sebagaimana keputusan muktamar lembaga tersebut bahwa bunga bank itu bersifat musytabihah (meragukan), apabila banknya adalah bank swasta, bahkan cenderung mengharamkan bunga bank swasta. Berbeda dengan bunga bank pemerintah yang bunga dari peminjam digunakan untuk kemaslahatan bersama bangsa Indonesia. Namun hal itu dibantah oleh Kasman Singodimedjo, bahwa menurutnya berdasarkan Konsideran Keputusan Tarjeh Muhammadiyah tersebut dengan ilat zalim, sebenarnya juga tidak dijumpai dalam bank swasta, maka keduanya semestinya dihalalkan, asal tidak ada unsur penganiayaan atau penindasan.
Dari lembaga ini menyatakan bahwa ilat keharaman riba itu adalah ekploitasi pihak pemodal (bank) terhadap yang lemah. Sebagaimana keputusan muktamar lembaga tersebut bahwa bunga bank itu bersifat musytabihah (meragukan), apabila banknya adalah bank swasta, bahkan cenderung mengharamkan bunga bank swasta. Berbeda dengan bunga bank pemerintah yang bunga dari peminjam digunakan untuk kemaslahatan bersama bangsa Indonesia. Namun hal itu dibantah oleh Kasman Singodimedjo, bahwa menurutnya berdasarkan Konsideran Keputusan Tarjeh Muhammadiyah tersebut dengan ilat zalim, sebenarnya juga tidak dijumpai dalam bank swasta, maka keduanya semestinya dihalalkan, asal tidak ada unsur penganiayaan atau penindasan.
b.
Keputusan Lajnah Bahsul Masail Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung
Keputusan Lajnah Bahsul Masail yang dilaksanakan di Bandar Lampung, para musyawirin masih berbeda pendapat tentang hukum bunga bank konvensional, yaitu dapat disimpulkan antar lain:
Keputusan Lajnah Bahsul Masail yang dilaksanakan di Bandar Lampung, para musyawirin masih berbeda pendapat tentang hukum bunga bank konvensional, yaitu dapat disimpulkan antar lain:
1.
Ada pendapat yang
mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingganya hukumnya
haram.
2.
Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba,
sehingga hukumnnya boleh.
3.
Ada pendapat yang menyatakan hukumnya syubhat (tidak identik dengan
haram)
Maka dari berbagai pendapat dikalangan Nahdlatul Ulama, Lajnah memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih berhati-hati adalah yakni menyebut bunga bank adalah haram. Namun, pada akhirnya dikalangan Nahdlatul Ulama Indonesia, mereka telah menyepakati bahwa bunga bank tidak termasuk riba yang diharamkan, baik bunga bank yang terdapat pada bank pemerintah maupun pada bank swasta.
Maka dari berbagai pendapat dikalangan Nahdlatul Ulama, Lajnah memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih berhati-hati adalah yakni menyebut bunga bank adalah haram. Namun, pada akhirnya dikalangan Nahdlatul Ulama Indonesia, mereka telah menyepakati bahwa bunga bank tidak termasuk riba yang diharamkan, baik bunga bank yang terdapat pada bank pemerintah maupun pada bank swasta.
c. Pendapat Cendikiawan Nusantara yaitu:
1. Ahmad Hassan (Tokoh
Persis)
Menurutnya bahwa bunga bank yang ada di Indonesia, tidak termasuk
riba yang diharamkan Al-Qur'an, karena unsur penganiayaan tidak ada.
2.
Angku Mudo Abdul Hamid Hakim (Tokoh Pembaharu Dari Sumatra Barat)
Menurut beliau bahwa bunga bank itu termasuk kepada kategori riba fadl, dan diperbolehkan apabila dalam keadaan darurat. Karena menurutnya, riba fadl merupakan jalan kepada riba an-Nasi'ah. Oleh sebab itu keharaman riba fadl lebih bersiafat preventif dan dibolehkan apabila darurat atau kebutuhan mendesak; sesuai dengan kaidah fikih yang mengatakan "darurat itu membolehkan yang dilarang" dan " kebutuhan mendesak dapat menempati posisi darurat".
Menurut beliau bahwa bunga bank itu termasuk kepada kategori riba fadl, dan diperbolehkan apabila dalam keadaan darurat. Karena menurutnya, riba fadl merupakan jalan kepada riba an-Nasi'ah. Oleh sebab itu keharaman riba fadl lebih bersiafat preventif dan dibolehkan apabila darurat atau kebutuhan mendesak; sesuai dengan kaidah fikih yang mengatakan "darurat itu membolehkan yang dilarang" dan " kebutuhan mendesak dapat menempati posisi darurat".
3.
Syarifuddin Prawiranegara
(Tokoh Masyumi)
Beliau menyatakan bahwa bunga bank tidak termasuk riba, karena pada
dasarnaya bunga bank adalah jasa yang dikeluarkan atau dipungut dari dan untuk
pembiayaan
administrasi dari bank tersebut. (dikas)
E.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kiranya penyusun menyimpulkan beberapa hal mengenai Bank dan Riba. Adapun hal-hal tersebut sebagai berikut:
a. Bank pertama kali berdiri pada awal abad ke 14 dikota dagang Venesia dan
Genoa di Italia. Sedangkan di Indonesia, bank pertama kali didirikan pada tahun
1824. Oleh pemerintah Hindia Belanda mendirikan sebuah Bank yang diberi nama Handel
maatschappij (NHM).
b. Bank dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu bank konvensional dan bank
Islam (syari’ah). Bank Islam menggunakan beberapa cara yang bersih dari unsur
riba, antara lain ialah: wadiah, mudharabah, musyarakah/syirkah, murabahah dan
qard hasan.
c. Diantara para ulama dan cendekiawan Muslim masih terdapat perbedaan pendapat tentang
hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga bank. Seperti Abu
Zahrah dan Majelis Tarjih Muhammadiyah melarang umat Islam bermuamalah dengan
bank yang memakai system bunga, karena menurutnya bunga bank termasuk riba
nasiah, yang dilarang oleh Islam. Tetapi,
A Hasan dan Mustafa A Zarqa, memperbolehkan umat Islam untuk bermuamalah
dengan bank konvensional dengan pertimbangan dalam keadaan darurat dan bersifat
sementara.
d. Riba yaitu tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. Berdasarkan
fatwa MUI bahwa hukum riba (bunga bank) itu haram.
Daftar Pustaka
Thamrin Abdullah, Francis Tantri.2012 ” bank
dan lembaga keuangan,” Jakarta rajawali pers
Zuhdi, M. 1994.“Masail Fiqhiyah”,
Jakarta: Haji Masagung
Didik Ahmad Supadie, 2013. Sistem Lembaga Keuangan Ekonomi Syari’ah
Dalam Pemberdayaan Ekonimi Rakyat, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra
Lubis, Suharwadi K. 2000.“Hukum Ekonomi
Islam”, Jakarta: Sinar Grafika
Syarif,
Muhammad Chaudhry. Penerjemah, Suherman Rosyidi 2012, Sistem Ekonomi Islam,
Jakarta: Kencana Perdana
[2] Didik Ahmad Supadie, 2013. Sistem Lembaga Keuangan
Ekonomi Syari’ah Dalam Pemberdayaan Ekonimi Rakyat, Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra
[6] Syarif, Muhammad Chaudhry. Penerjemah, Suherman
Rosyidi 2012, Sistem Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana Perdana Media Group
[7] Didik Ahmad Supadie, 2013. Sistem Lembaga Keuangan
Ekonomi Syari’ah Dalam Pemberdayaan Ekonimi Rakyat, Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra
[8] Syarif, Muhammad Chaudhry. Penerjemah, Suherman
Rosyidi 2012, Sistem Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana Perdana Media Group
Tidak ada komentar:
Posting Komentar