BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang
Allah berfirman dalam surat Ali ‘Imran ayat 110:
Artinya:
“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
عن
أبي سعيد الخدري -رضي الله عنه- قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من
رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك
أضعف الإيمان
Artinya:
“Dari Abu Sa’id Al Khudry
-radhiyallahu ‘anhu- berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa di
antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari)
dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan
lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah
keimanan yang paling lemah.”
(HR. Muslim no. 49)
BAB II
PERMASALAHAN
A. Permasalahan
- Bagaimana
konsep amar ma’ruf nahi munkar yang harus ditegakan didalam Islam.
- Dengan
apa kita bisa menjalankan konsep amar ma’ruf nahi munkar.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar Dengan Mengiblat Al-Qur’an
Seperti
yang sudah ada dalam pendahuluan diatas, bahwasanya konsep amar ma’ruf di dalam Al-Qur’an yaitu memerintah orang
untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kemunkaran. Di sini ada banyak hal yang
dapat kita jelaskan maksud dan tujuan konsep amar ma’ruf nahi munkar. Sesuai
firman Allah SWT dalam surat
Ali’imran ayat 110:
Artinya:
“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Ayat ini mengandung suatu dorongan kepada kaum mukminin
agar tetap memelihara sifat-sifat utama itu dan agar mereka tetap mempunyai
semangat yang tinggi.
Umat yang
paling baik didunia adalah umat yang mempunyai dua macam sifat. Yaitu mengajak
kebaikan serta mencegah kemungkaran dan senantiasa beriman kepada Allah. Semua
sifat itu telah dimiliki oleh kaum muslimin pada masa Nabi, dan telah menjadi darah daging dalam diri mereka
karena itu mereka menjadi kuat dan jaya. Dalam waktu yang singkat mereka mampu
menjadikan tanah arab tunduk dan patuh pada naungan Islam.
Kalian
adalah umat yang paling baik di alam wujud sekarang, karena kalian adalah
orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar, kalian adalah orang-orang
yang iman dengan cara yang benar. Yang bekasnya tampak pada jiwa kalian,
sehingga terhindarlah kalian dari kejahatan, dan kalian mengarah pada kebaikan, padahal sebelumnya kalian umat
yang dilanda kejahatan dan kerusakan. Kalian tidak melakukan amar ma’ruf nahi
munkar, bahkan tidak iman secara benar.
Gambaran
dengan sifat ini memang cocok dengan keadaan orang-orang yang mendapatkan
khitab ayat ini pada masa permulaan. Mereka adalah Nabi SAW. Dan para sahabat yang bersama beliau yang pada sewaktu
Al-Qur’an di turunkan. Pada masa sebelumnya, mereka adalah orang-orang yang
saling bermusuhan. Kemudian hati mereka dirukunkan. Mereka berpegang pada tali
agama Allah, melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Orang-orang yang lemah diantara
mereka tidak takut terhadap orang-orang kuat. Sebab iman telah masuk dalam
kalbu dan perasaan mereka, sehingga bisa ditundukan untuk mencapai tujuan Nabi
saw, disegala keadaan dan kondisi.
Keimanan
yang seperti inilah yang dikatakan Allah dalam firman-Nya:
Artinya:
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan
Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad)
dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang
benar.”
Dan dalam
ayat lain Allah berfirman:
Artinya:
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman
mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”
Keadaan umat nabi Muhammad masih tetap dalam keadaan
baik sampai mereka meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Sekali-kali mereka
tidak meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar melainkan karena kediktatoran dari
para raja dan amir Bani Umayah, termasuk antek-anteknya.
Perkara ma’ruf yang paling agung adalah agama yang
haq, iman , tauhid, dan kenabian. Kemungkaran yang paling diingkari adalah
kafir terhadap Allah. Oleh karena itu, kewajiban berjihad didalam agama ialah
pembebanan bahaya yang paling besar kepada seseorang guna menyampaikan manfaat yang
paling besar, dan membebaskannya dari kejelekan yang paling besar. Untuk itu,
jihad termasuk dalam kategori ibadah, bahkan yang teragung dan termulia. Dalam
Islam, hal ini (jihad) lebih kuat dari pada yang terdapat dalam agama lain.
Kebaikan umat ini tidak akan bisa tetap (terbukti)
tanpa mau memelihara tiga pokok yaitu amar ma’ruf, nahi munkar, dan iman kepada
Allah dengan tiga pokok ini maka umat akan menjadi umat yang terbaik, dan
sebaliknya kalau tiga pokok tersebut tidak ada maka hancurlah umat itu atau
hilanglah keistimewaan umat ini. Hjhojpip iuyhioioji
Disini amar ma’ruf nahi munkar penyebutannya
didahulukan dibanding iman kepada Allah. Padahal iman itu selalu berada didepan
dari berbagai jenis ketaatan. Hal ini lantaran amar ma’ruf nahi munkar
merupakan pintu keimanan dan yang memeliharanya.
Jadi didahulukannya kedua tersebut yaitu amar ma’ruf
nahi munkar,dalam peraturan sesuai dengan kebiasaan yang terjadi dikalangan
umat manusia, yaitu menjadikan pintu berada didepan segala sessuatu.
Keberanian menyatakan, bahwa ini adalah ma’ruf,
tetapi lebih sulit menyatakan, bahwa itu adalah munkar. Sebab besar
kemungkinannya akan dimurkai orang. Kadang-kadang kita dianjurkan supaya
mengatakan yang sebenarnya. Teatpi apabila yang sebenarnya yang kita katakana,
orang akan marah. Sebab masyarakat biasanya amat berat melepaskan kebiasaannya.
“manusia adalah budak kebiasaannya.” Demikian kata pepatah. Maka kalau iman
kepada Allah di dalam ini dijadikan bahan yang terahir, sebab dialah dasar
kalau iman kepada Allah itu lemah, niscaya amar ma’ruf nahi munkar tidak akan
berlangsung. Kekurangan iman kepada Allah menghilangkan keberanian untuk
berbuat amar ma’ruf nahi munkar. Dan kalau keberanian ini tidak ada lagi, kamu
tidak lagi dihitung sebaik-baik umat. Maka menurut ukuran tinggi dan rendah
bersemangat atau kendur semangat, ketiganya inilah (amar ma’ruf nahi munkar dan
iman kepada Allah) menjadi penilaian sebaik-baik umat itu.
Pimpinan yang baik ialah yang berkemauan baik.
Inilah yang membentuk pendapat umum yang dalam istilah politik disebut pendapat
politik yang sehat.
Itulah yang ma’ruf ! arti ma’ruf ialah terkenal !
bertali dengan ma’rifat !.
Kemudian datanglah kebebasan yang kedua. Kebebasan
berpikir dan kebebasan menyatakan pikiran itu, menimbulkan keberanian menentang
yang munkar, yang salah. Munkar artinya ditolak, yang tidak diterima oleh pri
kemanusian yang sehat.
Bebas dan berani mengatakan : “Itu salah ! Ini yang
benar !” Itu buruk ! Inilah yang baik !”dan untuk itu saya berani menanggung
resiko.
Tetapi kebebasan seseorang berani menjadi pandu dan
pemimpin kaumnya menuju yang ma’ruf dan bebas serta berani menentang yang
munkar, adalah bersumber pada bebasnya jiwa itu sendiri. Jiwa yang telah
terlepas dari segala macam rantai dan belenggu.
Beriman kepada Allah. Itulah awal permulaan
kebebasan jiwa. Berani melarang yang munkar. Itulah akibat pertama iman kepada
Allah. Berani menyuruhkan yang ma’ruf dan memimpin sesama manusia kepada yang
ma’ruf itulah tugas hidup!.
B. Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar Dengan Mengiblat
Kepada Al-Hadist
عن
أبي سعيد الخدري -رضي الله عنه- قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من
رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك
أضعف الإيمان
Artinya: “Dari Abu Sa’id Al
Khudry -radhiyallahu ‘anhu- berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa di antara kamu yang melihat
kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika
tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak
mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling
lemah.” (HR. Muslim no. 49)
Hadits ini adalah hadits yang jami’ (mencakup banyak
persoalan) dan sangat penting dalam syari’at Islam, bahkan sebagian ulama
mengatakan, “Hadits ini pantas untuk menjadi separuh dari agama (syari’at),
karena amalan-amalan syari’at terbagi dua: ma’ruf (kebaikan) yang wajib
diperintahkan dan dilaksanakan, atau mungkar (kemungkaran) yang wajib
diingkari, maka dari sisi ini, hadits tersebut adalah separuh dari syari’at.”
(Lihat At Ta’yin fi Syarhil Arba’in, At Thufi, hal. 292)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Sesungguhnya
maksud dari hadits ini adalah: Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini
(dengan hati) sesuatu yang dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin
itu melakukannya, akan tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir
dari keimanan, bukanlah maksudnya, bahwa barang siapa yang tidak mengingkari
hal itu dia tidak memiliki keimanan sama sekali, oleh karena itu Rasulullah
bersabda, “Tidaklah ada sesudah itu”, maka beliau menjadikan orang-orang yang
beriman tiga tingkatan, masing-masing di antara mereka telah melakukan keimanan
yang wajib atasnya, akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan)
tatkala ia yang lebih mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih
sempurna dari apa yang wajib atas yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan
apa yang wajib atas yang kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang
terakhir, maka dengan demikian diketahui bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam
keimanan yang wajib atas mereka sesuai dengan kemampuannya beserta sampainya
khitab (perintah) kepada mereka.” (Majmu’ Fatawa, 7/427).
Hadits dan perkataan Syaikhul Islam di atas
menjelaskan bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan karakter seorang yang
beriman, dan dalam mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
·
Mengingkari
dengan tangan.
·
Mengingkari
dengan lisan.
·
Mengingkari
dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang
yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam
hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya
dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap
bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya, dan
mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata.
Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin
Hambal, “Bagaimana beramar ma’ruf dan nahi mungkar?” Beliau menjawab, “Dengan
tangan, lisan dan dengan hati, ini paling ringan,” saya bertanya lagi: “Bagaimana
dengan tangan?” Beliau menjawab, “Memisahkan di antara mereka,” dan
saya melihat beliau melewati anak-anak kecil yang sedang berkelahi, lalu beliau
memisahkan di antara mereka.
Dalam
riwayat lain beliau berkata, “Merubah (mengingkari) dengan tangan bukanlah
dengan pedang dan senjata.” (Lihat, Al Adabusy Syar’iyah, Ibnu
Muflih, 1/185)
Adapun
dengan lisan seperti memberikan nasihat yang merupakan hak di antara sesama
muslim dan sebagai realisasi dari amar ma’ruf dan nahi mungkar itu sendiri,
dengan menggunakan tulisan yang mengajak kepada
kebenaran dan membantah syubuhat (kerancuan) dan segala bentuk kebatilan.
Adapun
tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci
kemungkaran- kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas
setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa
yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa.
Imam Ibnu
Rajab mengomentari perkataan Ibnu Mas’ud di atas dan berkata “Maksud beliau
adalah bahwa mengetahui yang ma’ruf dan mungkar dengan hati adalah kewajiban
yang tidak gugur atas setiap orang, maka barang siapa yang tidak mengetahuinya
maka dia akan binasa, adapun mengingkari dengan lisan dan tangan ini sesuai
dengan kekuatan dan kemampuan.” (Jami’ul Ulum wal Hikam 2/258-259)
Seseorang
yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia adalah orang yang mati dalam
keadaan hidup, sebagaimana perkataan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu
tatkala ditanya, “Apakah kematian orang yang hidup?” Beliau menjawab:
من لم يعرف المعروف بقلبه وينكر
المنكر بقلبه
Artinya: “Orang yang tidak
mengenal kebaikan dengan hatinya dan tidak mengingkari kemungkaran dengan
hatinya.”
Kemudian
dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar ada berapa kaidah penting dan prinsip dasar
yang harus diperhatikan, jika tidak diindahkan niscaya akan menimbulkan
kemungkaran yang lebih besar dan banyak:
- Mempertimbangkan Antara
Maslahat Dan Mafsadah.
Ini adalah kaidah yang sangat
penting dalam syari’at Islam secara umum dan dalam beramar ma’ruf dan nahi
mungkar secara khusus, maksudnya ialah seseorang yang beramar ma’ruf dan nahi
mungkar ia harus memperhatikan dan mempertimbangkan antara maslahat dan
mafsadat dari perbuatannya tersebut, jika maslahat yang ditimbulkan lebih besar
dari mafsadatnya maka ia boleh melakukannya, tetapi jika menyebabkan kejahatan
dan kemungkaran yang lebih besar maka haram ia melakukannya, sebab yang
demikian itu bukanlah sesuatu yang di perintahkan oleh Allah Ta’ala, sekalipun
kemungkaran tersebut berbentuk suatu perbuatan yang meninggalkan kewajiban dan
melakukan yang haram.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Jika amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan kewajiban dan
amalan sunah yang sangat agung (mulia) maka sesuatu yang wajib dan sunah
hendaklah maslahat di dalamnya lebih kuat/besar dari mafsadatnya, karena para
rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan dengan membawa hal ini, dan Allah tidak
menyukai kerusakan, bahkan setiap apa yang diperintahkan Allah adalah kebaikan,
dan Dia telah memuji kebaikan dan orang-orang yang berbuat baik dan orang-orang
yang beriman serta beramal saleh, serta mencela orang-orang yang berbuat
kerusakan dalam beberapa tempat, apabila mafsadat amar ma’ruf dan nahi mungkar
lebih besar dari maslahatnya maka ia bukanlah sesuatu yang diperintahkan Allah,
sekalipun telah ditinggalkan kewajiban dan dilakukan yang haram, sebab seorang
mukmin hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam menghadapi hamba-Nya, karena ia
tidak memiliki petunjuk untuk mereka, dan inilah makna firman Allah:
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; Tiadalah orang yang sesat itu akan
memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada
Allah kamu kembali semuanya, Maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan.”
Oleh karena itu perlu dipahami dan
diperhatikan empat tingkatan kemungkaran dalam bernahi mungkar berikut ini:
1. Hilangnya kemungkaran secara total
dan digantikan oleh kebaikan.
2. Berkurangnya kemungkaran, sekalipun
tidak tuntas secara keseluruhan.
3. Digantikan oleh kemungkaran yang
serupa.
4. Digantikan oleh kemungkaran yang
lebih besar.
Pada
tingkatan pertama dan kedua disyari’atkan untuk bernahi mungkar, tingkatan
ketiga butuh ijtihad, sedangkan yang keempat terlarang dan haram melakukannya.
- Karakteristik Orang Yang
Beramar Ma’ruf Dan Nahi Mungkar.
Sekalipun amar ma’ruf dan nahi
mungkar merupakan kewajiban setiap orang yang mempunyai kemampuan untuk itu
sesuai dengan maratib (tingkatan-tingkatan) di atas, akan tetapi orang yang
melakukan hal itu harus memiliki kriteria berikut ini:
1. Berilmu.
2. Lemah lembut dan penyantun.
3. Sabar.
- Syarat Perbuatan Yang Wajib
Diingkari
Tidak semua kemungkaran dan kesalahan yang
wajib diingkari, kecuali perbuatan dan kemungkaran yang memenuhi persyaratan
berikut ini:
a) Perbuatan
tersebut benar suatu kemungkaran, kecil atau besar.
Maksudnya: Nahi mungkar tidak khusus
terhadap dosa besar saja, tetapi mencakup juga dosa kecil, dan juga tidak
disyaratkan kemungkaran tersebut berbentuk maksiat, barang siapa yang melihat
anak kecil atau orang gila sedang meminum khamr maka wajib atasnya menumpahkan
khamr tersebut dan melarangnya, begitu juga jika seseorang melihat orang gila
melakukan zina dengan seorang perempuan gila atau binatang, maka wajib atasnya
mengingkari perbuatan tersebut sekalipun dalam keadaan sendirian, sementara
perbuatan ini tidak dinamakan maksiat bagi orang gila.
b) Kemungkaran tersebut masih ada.
Maksudnya: Kemungkaran tersebut
betul ada tatkala seorang yang bernahi mungkar melihatnya, apabila si pelaku
telah selesai melakukan kemungkaran tersebut maka tidak boleh diingkari kecuali
dengan cara nasihat, bahkan dalam keadaan seperti ini lebih baik ditutupi,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من ستر مسلما ستره الله في الدنيا
والآخرة
Artinya:
“Barangsiapa yang menutupi (kesalahan) seorang muslim, maka Allah akan
menutupi (dosa dan kesalahan)nya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)
Sebagai contoh: Seseorang yang telah
selesai minum khamr kemudian mabuk, maka tidak boleh diingkari kecuali dengan cara
menasihati apabila ia telah sadar. Dan ini (menutupi kesalahan dan dosa seorang
muslim) tentunya sebelum hukum dan permasalahan tersebut sampai ke tangan
pemerintah atau pihak yang berwenang, atau orang tersebut seseorang yang
berwibawa dan tidak dikenal melakukan kemungkaran dan keonaran, apabila
permasalahan tersebut telah sampai ke tangan pemerintah dengan cara yang
syar’i, dan orang tersebut dikenal melakukan kerusakan, kemungkaran dan
keonaran, maka tidak boleh ditutupi dan diberi syafaat.
Adapun kemungkaran yang diperkirakan
akan muncul dengan tanda-tanda dan keadaan tertentu, maka tidak boleh diingkari
kecuali dengan cara nasehat lewat ceramah agama, khutbah dll.
c) Kemungkaran
tersebut nyata tanpa dimata-matai.
Maksudnya: Tidak boleh memata-matai
suatu kemungkaran yang tidak jelas untuk diingkari, seperti seseorang yang
menutupi maksiat dan dosa di dalam rumah dan menutup pintunya, maka tidak boleh bagi seorang pun
memata-matai untuk mengingkarinya, karena Allah ta’ala melarang kita untuk
memata matai, Allah ta’ala berirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ
إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ
أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan
janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama
lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS.
Al Hujuraat: 12)
Persyaratan ini diambil dari hadits
di atas, (من رأى منكم منكرا), Manthuq (lafadz)-nya menjelaskan bahwa pengingkaran berkaitan dengan
penglihatan, Mafhumnya: Barangsiapa yang tidak melihat maka tidak wajib
mengingkari.
d) Kemungkaran
tersebut suatu yang disepakati, bukan permasalahan khilafiyah.
Maksudnya: Jika permasalahan
tersebut khilafiyah, yang berbeda pendapat ulama dalam menilainya maka tidak
boleh bagi yang melihat untuk mengingkarinya, kecuali permasalahan yang khilaf di
dalamnya sangat lemah yang tidak berarti sama sekali, maka ia wajib mengingkarinya,
sebab tidak semua khilaf yang bisa diterima, kecuali khilaf yang memiliki sisi
pandang yang jelas.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsep amar ma’ruf nahi munkar yang ditawarkan
kepada umat manusia yaitu:
1.
Memelihara
konsep yang sudah ada sejak zaman nabi, agar kita bisa mengetahui apa yang di
kerjakan dan di perbuat pada zaman nabi Muhammad, karena pada zaman beliau amar
ma’ruf nahi munkar benar-benar tegak dengan kukuh dan melakukannya dengan
ikhlas, oleh karna itu Allah memberikan peringkat kepada umat muslimin menjadi
umat yang terbaik diantara umat-umat yang lain.
2.
Konsep amar
ma’ruf nahi munkar yang ditawarkan kepada kaum mukminin sangatlah sederhana,
tetapi berat untuk dilaksanakan kita ambil contoh: Keberanian menyatakan, bahwa
ini adalah ma’ruf, tetapi lebih sulit menyatakan, bahwa itu adalah munkar.
Sebab besar kemungkinannya akan dimurkai orang. Kadang-kadang kita dianjurkan
supaya mengatakan yang sebenarnya. Teatpi apabila yang sebenarnya yang kita
katakana, orang akan marah. Sebab masyarakat biasanya amat berat melepaskan
kebiasaannya. “manusia adalah budak kebiasaannya.” Demikian kata pepatah. Maka
kalau iman kepada Allah di dalam ini dijadikan bahan yang terahir, sebab dialah
dasar kalau iman kepada Allah itu lemah, niscaya amar ma’ruf nahi munkar tidak
akan berlangsung.
3.
Bebas dan berani
mengatakan : “Itu salah ! Ini yang benar !” Itu buruk ! Inilah yang baik !”dan
untuk itu saya berani menanggung resiko.Tetapi kebebasan seseorang berani
menjadi pandu dan pemimpin kaumnya menuju yang ma’ruf dan bebas serta berani
menentang yang munkar, adalah bersumber pada bebasnya jiwa itu sendiri. Jiwa
yang telah terlepas dari segala macam rantai dan belenggu.Beriman kepada Allah.
Itulah awal permulaan kebebasan jiwa. Berani melarang yang munkar. Itulah
akibat pertama iman kepada Allah. Berani menyuruhkan yang ma’ruf dan memimpin
sesama manusia kepada yang ma’ruf itulah tugas hidup!.
4.
Amar ma’ruf dan
nahi mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam mengingkari
kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
·
Mengingkari
dengan tangan.
·
Mengingkari
dengan lisan.
·
Mengingkari
dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang
yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam
hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya
dengan tangan jika ia mampu melakukannya
Adapun dengan lisan seperti memberikan nasihat yang
merupakan hak di antara sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar ma’ruf
dan nahi mungkar itu sendiri
Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati)
artinya adalah membenci
kemungkaran- kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas
setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa
yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa.
DAFTAR PUSTAKA
Prof
. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar,yayasan nurul islam, Jakarta ,1981.
Al-Maraghi
Mustafa Ahmad, Terjemah Tafsir Al-Maraghi,cv Toha Putra, Semarang , 1993.
Departemen
Agama RI ,
Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Departemen Agama RI, Jakarta , 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar