Selasa, 24 April 2012

KONSEP AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latarbelakang
Allah berfirman dalam surat Ali ‘Imran ayat 110:


Artinya: “kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
عن أبي سعيد الخدري -رضي الله عنه- قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان
Artinya: “Dari Abu Sa’id Al Khudry -radhiyallahu ‘anhu- berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no. 49)




BAB II
PERMASALAHAN

A.    Permasalahan
  1. Bagaimana konsep amar ma’ruf nahi munkar yang harus ditegakan didalam Islam.
  2. Dengan apa kita bisa menjalankan konsep amar ma’ruf nahi munkar.


BAB III
PEMBAHASAN

A.    Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar Dengan Mengiblat Al-Qur’an
Seperti yang sudah ada dalam pendahuluan diatas, bahwasanya konsep amar ma’ruf di dalam Al-Qur’an yaitu memerintah orang untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kemunkaran. Di sini ada banyak hal yang dapat kita jelaskan maksud dan tujuan konsep amar ma’ruf nahi munkar. Sesuai firman Allah SWT dalam surat Ali’imran ayat 110:


Artinya: “kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Ayat ini mengandung suatu dorongan kepada kaum mukminin agar tetap memelihara sifat-sifat utama itu dan agar mereka tetap mempunyai semangat yang tinggi.
Umat yang paling baik didunia adalah umat yang mempunyai dua macam sifat. Yaitu mengajak kebaikan serta mencegah kemungkaran dan senantiasa beriman kepada Allah. Semua sifat itu telah dimiliki oleh kaum muslimin pada masa Nabi, dan telah menjadi darah daging dalam diri mereka karena itu mereka menjadi kuat dan jaya. Dalam waktu yang singkat mereka mampu menjadikan tanah arab tunduk dan patuh pada naungan Islam.
Kalian adalah umat yang paling baik di alam wujud sekarang, karena kalian adalah orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar, kalian adalah orang-orang yang iman dengan cara yang benar. Yang bekasnya tampak pada jiwa kalian, sehingga terhindarlah kalian dari kejahatan, dan kalian mengarah pada kebaikan, padahal sebelumnya kalian umat yang dilanda kejahatan dan kerusakan. Kalian tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar, bahkan tidak iman secara benar.
Gambaran dengan sifat ini memang cocok dengan keadaan orang-orang yang mendapatkan khitab ayat ini pada masa permulaan. Mereka adalah Nabi SAW. Dan para sahabat yang bersama beliau yang pada sewaktu Al-Qur’an di turunkan. Pada masa sebelumnya, mereka adalah orang-orang yang saling bermusuhan. Kemudian hati mereka dirukunkan. Mereka berpegang pada tali agama Allah, melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Orang-orang yang lemah diantara mereka tidak takut terhadap orang-orang kuat. Sebab iman telah masuk dalam kalbu dan perasaan mereka, sehingga bisa ditundukan untuk mencapai tujuan Nabi saw, disegala keadaan dan kondisi.
Keimanan yang seperti inilah yang dikatakan Allah dalam firman-Nya:

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.”

Dan dalam ayat lain Allah berfirman:
  
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”
Keadaan umat nabi Muhammad masih tetap dalam keadaan baik sampai mereka meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Sekali-kali mereka tidak meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar melainkan karena kediktatoran dari para raja dan amir Bani Umayah, termasuk antek-anteknya.
Perkara ma’ruf yang paling agung adalah agama yang haq, iman , tauhid, dan kenabian. Kemungkaran yang paling diingkari adalah kafir terhadap Allah. Oleh karena itu, kewajiban berjihad didalam agama ialah pembebanan bahaya yang paling besar kepada seseorang guna menyampaikan manfaat yang paling besar, dan membebaskannya dari kejelekan yang paling besar. Untuk itu, jihad termasuk dalam kategori ibadah, bahkan yang teragung dan termulia. Dalam Islam, hal ini (jihad) lebih kuat dari pada yang terdapat dalam agama lain.
Kebaikan umat ini tidak akan bisa tetap (terbukti) tanpa mau memelihara tiga pokok yaitu amar ma’ruf, nahi munkar, dan iman kepada Allah dengan tiga pokok ini maka umat akan menjadi umat yang terbaik, dan sebaliknya kalau tiga pokok tersebut tidak ada maka hancurlah umat itu atau hilanglah keistimewaan umat ini. Hjhojpip iuyhioioji
Disini amar ma’ruf nahi munkar penyebutannya didahulukan dibanding iman kepada Allah. Padahal iman itu selalu berada didepan dari berbagai jenis ketaatan. Hal ini lantaran amar ma’ruf nahi munkar merupakan pintu keimanan dan yang memeliharanya.
Jadi didahulukannya kedua tersebut yaitu amar ma’ruf nahi munkar,dalam peraturan sesuai dengan kebiasaan yang terjadi dikalangan umat manusia, yaitu menjadikan pintu berada didepan segala sessuatu.
Keberanian menyatakan, bahwa ini adalah ma’ruf, tetapi lebih sulit menyatakan, bahwa itu adalah munkar. Sebab besar kemungkinannya akan dimurkai orang. Kadang-kadang kita dianjurkan supaya mengatakan yang sebenarnya. Teatpi apabila yang sebenarnya yang kita katakana, orang akan marah. Sebab masyarakat biasanya amat berat melepaskan kebiasaannya. “manusia adalah budak kebiasaannya.” Demikian kata pepatah. Maka kalau iman kepada Allah di dalam ini dijadikan bahan yang terahir, sebab dialah dasar kalau iman kepada Allah itu lemah, niscaya amar ma’ruf nahi munkar tidak akan berlangsung. Kekurangan iman kepada Allah menghilangkan keberanian untuk berbuat amar ma’ruf nahi munkar. Dan kalau keberanian ini tidak ada lagi, kamu tidak lagi dihitung sebaik-baik umat. Maka menurut ukuran tinggi dan rendah bersemangat atau kendur semangat, ketiganya inilah (amar ma’ruf nahi munkar dan iman kepada Allah) menjadi penilaian sebaik-baik umat itu.
Pimpinan yang baik ialah yang berkemauan baik. Inilah yang membentuk pendapat umum yang dalam istilah politik disebut pendapat politik yang sehat.
Itulah yang ma’ruf ! arti ma’ruf ialah terkenal ! bertali dengan ma’rifat !.
Kemudian datanglah kebebasan yang kedua. Kebebasan berpikir dan kebebasan menyatakan pikiran itu, menimbulkan keberanian menentang yang munkar, yang salah. Munkar artinya ditolak, yang tidak diterima oleh pri kemanusian yang sehat.
Bebas dan berani mengatakan : “Itu salah ! Ini yang benar !” Itu buruk ! Inilah yang baik !”dan untuk itu saya berani menanggung resiko.
Tetapi kebebasan seseorang berani menjadi pandu dan pemimpin kaumnya menuju yang ma’ruf dan bebas serta berani menentang yang munkar, adalah bersumber pada bebasnya jiwa itu sendiri. Jiwa yang telah terlepas dari segala macam rantai dan belenggu.
Beriman kepada Allah. Itulah awal permulaan kebebasan jiwa. Berani melarang yang munkar. Itulah akibat pertama iman kepada Allah. Berani menyuruhkan yang ma’ruf dan memimpin sesama manusia kepada yang ma’ruf itulah tugas hidup!.




B.     Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar Dengan Mengiblat Kepada Al-Hadist
عن أبي سعيد الخدري -رضي الله عنه- قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان
Artinya: “Dari Abu Sa’id Al Khudry -radhiyallahu ‘anhu- berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no. 49)

Hadits ini adalah hadits yang jami’ (mencakup banyak persoalan) dan sangat penting dalam syari’at Islam, bahkan sebagian ulama mengatakan, “Hadits ini pantas untuk menjadi separuh dari agama (syari’at), karena amalan-amalan syari’at terbagi dua: ma’ruf (kebaikan) yang wajib diperintahkan dan dilaksanakan, atau mungkar (kemungkaran) yang wajib diingkari, maka dari sisi ini, hadits tersebut adalah separuh dari syari’at.” (Lihat At Ta’yin fi Syarhil Arba’in, At Thufi, hal. 292)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah: Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin itu melakukannya, akan tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah maksudnya, bahwa barang siapa yang tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki keimanan sama sekali, oleh karena itu Rasulullah bersabda, “Tidaklah ada sesudah itu”, maka beliau menjadikan orang-orang yang beriman tiga tingkatan, masing-masing di antara mereka telah melakukan keimanan yang wajib atasnya, akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan demikian diketahui bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam keimanan yang wajib atas mereka sesuai dengan kemampuannya beserta sampainya khitab (perintah) kepada mereka.” (Majmu’ Fatawa, 7/427).
Hadits dan perkataan Syaikhul Islam di atas menjelaskan bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
·         Mengingkari dengan tangan.
·         Mengingkari dengan lisan.
·         Mengingkari dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya, dan mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata.
Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, “Bagaimana beramar ma’ruf dan nahi mungkar?” Beliau menjawab, “Dengan tangan, lisan dan dengan hati, ini paling ringan,” saya bertanya lagi: “Bagaimana dengan tangan?” Beliau menjawab, “Memisahkan di antara mereka,” dan saya melihat beliau melewati anak-anak kecil yang sedang berkelahi, lalu beliau memisahkan di antara mereka.
  Dalam riwayat lain beliau berkata, “Merubah (mengingkari) dengan tangan bukanlah dengan pedang dan senjata.” (Lihat, Al Adabusy Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/185)
Adapun dengan lisan seperti memberikan nasihat yang merupakan hak di antara sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar ma’ruf dan nahi mungkar itu sendiri, dengan menggunakan tulisan yang mengajak kepada kebenaran dan membantah syubuhat (kerancuan) dan segala bentuk kebatilan.
Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci kemungkaran- kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa.
Imam Ibnu Rajab mengomentari perkataan Ibnu Mas’ud di atas dan berkata “Maksud beliau adalah bahwa mengetahui yang ma’ruf dan mungkar dengan hati adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap orang, maka barang siapa yang tidak mengetahuinya maka dia akan binasa, adapun mengingkari dengan lisan dan tangan ini sesuai dengan kekuatan dan kemampuan.” (Jami’ul Ulum wal Hikam 2/258-259)
Seseorang yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia adalah orang yang mati dalam keadaan hidup, sebagaimana perkataan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu tatkala ditanya, “Apakah kematian orang yang hidup?” Beliau menjawab:
من لم يعرف المعروف بقلبه وينكر المنكر بقلبه  
Artinya: “Orang yang tidak mengenal kebaikan dengan hatinya dan tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya.”

Kemudian dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar ada berapa kaidah penting dan prinsip dasar yang harus diperhatikan, jika tidak diindahkan niscaya akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dan banyak:
  1. Mempertimbangkan Antara Maslahat Dan Mafsadah.
Ini adalah kaidah yang sangat penting dalam syari’at Islam secara umum dan dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar secara khusus, maksudnya ialah seseorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar ia harus memperhatikan dan mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadat dari perbuatannya tersebut, jika maslahat yang ditimbulkan lebih besar dari mafsadatnya maka ia boleh melakukannya, tetapi jika menyebabkan kejahatan dan kemungkaran yang lebih besar maka haram ia melakukannya, sebab yang demikian itu bukanlah sesuatu yang di perintahkan oleh Allah Ta’ala, sekalipun kemungkaran tersebut berbentuk suatu perbuatan yang meninggalkan kewajiban dan melakukan yang haram.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Jika amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan kewajiban dan amalan sunah yang sangat agung (mulia) maka sesuatu yang wajib dan sunah hendaklah maslahat di dalamnya lebih kuat/besar dari mafsadatnya, karena para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan dengan membawa hal ini, dan Allah tidak menyukai kerusakan, bahkan setiap apa yang diperintahkan Allah adalah kebaikan, dan Dia telah memuji kebaikan dan orang-orang yang berbuat baik dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, serta mencela orang-orang yang berbuat kerusakan dalam beberapa tempat, apabila mafsadat amar ma’ruf dan nahi mungkar lebih besar dari maslahatnya maka ia bukanlah sesuatu yang diperintahkan Allah, sekalipun telah ditinggalkan kewajiban dan dilakukan yang haram, sebab seorang mukmin hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam menghadapi hamba-Nya, karena ia tidak memiliki petunjuk untuk mereka, dan inilah makna firman Allah:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, Maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”


Oleh karena itu perlu dipahami dan diperhatikan empat tingkatan kemungkaran dalam bernahi mungkar berikut ini:
1.      Hilangnya kemungkaran secara total dan digantikan oleh kebaikan.
2.      Berkurangnya kemungkaran, sekalipun tidak tuntas secara keseluruhan.
3.      Digantikan oleh kemungkaran yang serupa.
4.      Digantikan oleh kemungkaran yang lebih besar.
Pada tingkatan pertama dan kedua disyari’atkan untuk bernahi mungkar, tingkatan ketiga butuh ijtihad, sedangkan yang keempat terlarang dan haram melakukannya.
  1. Karakteristik Orang Yang Beramar Ma’ruf Dan Nahi Mungkar.
Sekalipun amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan kewajiban setiap orang yang mempunyai kemampuan untuk itu sesuai dengan maratib (tingkatan-tingkatan) di atas, akan tetapi orang yang melakukan hal itu harus memiliki kriteria berikut ini:
1.      Berilmu.
2.      Lemah lembut dan penyantun.
3.      Sabar.
  1. Syarat Perbuatan Yang Wajib Diingkari
Tidak semua kemungkaran dan kesalahan yang wajib diingkari, kecuali perbuatan dan kemungkaran yang memenuhi persyaratan berikut ini:
a)      Perbuatan tersebut benar suatu kemungkaran, kecil atau besar.
Maksudnya: Nahi mungkar tidak khusus terhadap dosa besar saja, tetapi mencakup juga dosa kecil, dan juga tidak disyaratkan kemungkaran tersebut berbentuk maksiat, barang siapa yang melihat anak kecil atau orang gila sedang meminum khamr maka wajib atasnya menumpahkan khamr tersebut dan melarangnya, begitu juga jika seseorang melihat orang gila melakukan zina dengan seorang perempuan gila atau binatang, maka wajib atasnya mengingkari perbuatan tersebut sekalipun dalam keadaan sendirian, sementara perbuatan ini tidak dinamakan maksiat bagi orang gila.
b)      Kemungkaran tersebut masih ada.
Maksudnya: Kemungkaran tersebut betul ada tatkala seorang yang bernahi mungkar melihatnya, apabila si pelaku telah selesai melakukan kemungkaran tersebut maka tidak boleh diingkari kecuali dengan cara nasihat, bahkan dalam keadaan seperti ini lebih baik ditutupi, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من ستر مسلما ستره الله في الدنيا والآخرة
Artinya: Barangsiapa yang menutupi (kesalahan) seorang muslim, maka Allah akan menutupi (dosa dan kesalahan)nya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)

Sebagai contoh: Seseorang yang telah selesai minum khamr kemudian mabuk, maka tidak boleh diingkari kecuali dengan cara menasihati apabila ia telah sadar. Dan ini (menutupi kesalahan dan dosa seorang muslim) tentunya sebelum hukum dan permasalahan tersebut sampai ke tangan pemerintah atau pihak yang berwenang, atau orang tersebut seseorang yang berwibawa dan tidak dikenal melakukan kemungkaran dan keonaran, apabila permasalahan tersebut telah sampai ke tangan pemerintah dengan cara yang syar’i, dan orang tersebut dikenal melakukan kerusakan, kemungkaran dan keonaran, maka tidak boleh ditutupi dan diberi syafaat.
Adapun kemungkaran yang diperkirakan akan muncul dengan tanda-tanda dan keadaan tertentu, maka tidak boleh diingkari kecuali dengan cara nasehat lewat ceramah agama, khutbah dll.
c)      Kemungkaran tersebut nyata tanpa dimata-matai.
Maksudnya: Tidak boleh memata-matai suatu kemungkaran yang tidak jelas untuk diingkari, seperti seseorang yang menutupi maksiat dan dosa di dalam rumah dan menutup pintunya, maka tidak boleh bagi seorang pun memata-matai untuk mengingkarinya, karena Allah ta’ala melarang kita untuk memata matai, Allah ta’ala berirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujuraat: 12)

Persyaratan ini diambil dari hadits di atas, (من رأى منكم منكرا), Manthuq (lafadz)-nya menjelaskan bahwa pengingkaran berkaitan dengan penglihatan, Mafhumnya: Barangsiapa yang tidak melihat maka tidak wajib mengingkari.
d)     Kemungkaran tersebut suatu yang disepakati, bukan permasalahan khilafiyah.
Maksudnya: Jika permasalahan tersebut khilafiyah, yang berbeda pendapat ulama dalam menilainya maka tidak boleh bagi yang melihat untuk mengingkarinya, kecuali permasalahan yang khilaf di dalamnya sangat lemah yang tidak berarti sama sekali, maka ia wajib mengingkarinya, sebab tidak semua khilaf yang bisa diterima, kecuali khilaf yang memiliki sisi pandang yang jelas.



BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Konsep amar ma’ruf nahi munkar yang ditawarkan kepada umat manusia yaitu:
1.      Memelihara konsep yang sudah ada sejak zaman nabi, agar kita bisa mengetahui apa yang di kerjakan dan di perbuat pada zaman nabi Muhammad, karena pada zaman beliau amar ma’ruf nahi munkar benar-benar tegak dengan kukuh dan melakukannya dengan ikhlas, oleh karna itu Allah memberikan peringkat kepada umat muslimin menjadi umat yang terbaik diantara umat-umat yang lain. 
2.      Konsep amar ma’ruf nahi munkar yang ditawarkan kepada kaum mukminin sangatlah sederhana, tetapi berat untuk dilaksanakan kita ambil contoh: Keberanian menyatakan, bahwa ini adalah ma’ruf, tetapi lebih sulit menyatakan, bahwa itu adalah munkar. Sebab besar kemungkinannya akan dimurkai orang. Kadang-kadang kita dianjurkan supaya mengatakan yang sebenarnya. Teatpi apabila yang sebenarnya yang kita katakana, orang akan marah. Sebab masyarakat biasanya amat berat melepaskan kebiasaannya. “manusia adalah budak kebiasaannya.” Demikian kata pepatah. Maka kalau iman kepada Allah di dalam ini dijadikan bahan yang terahir, sebab dialah dasar kalau iman kepada Allah itu lemah, niscaya amar ma’ruf nahi munkar tidak akan berlangsung.  
3.      Bebas dan berani mengatakan : “Itu salah ! Ini yang benar !” Itu buruk ! Inilah yang baik !”dan untuk itu saya berani menanggung resiko.Tetapi kebebasan seseorang berani menjadi pandu dan pemimpin kaumnya menuju yang ma’ruf dan bebas serta berani menentang yang munkar, adalah bersumber pada bebasnya jiwa itu sendiri. Jiwa yang telah terlepas dari segala macam rantai dan belenggu.Beriman kepada Allah. Itulah awal permulaan kebebasan jiwa. Berani melarang yang munkar. Itulah akibat pertama iman kepada Allah. Berani menyuruhkan yang ma’ruf dan memimpin sesama manusia kepada yang ma’ruf itulah tugas hidup!.
4.      Amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
·         Mengingkari dengan tangan.
·         Mengingkari dengan lisan.
·         Mengingkari dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya dengan tangan jika ia mampu melakukannya
Adapun dengan lisan seperti memberikan nasihat yang merupakan hak di antara sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar ma’ruf dan nahi mungkar itu sendiri
Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci kemungkaran- kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa.

DAFTAR PUSTAKA

Prof . DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar,yayasan nurul islam, Jakarta,1981.
Al-Maraghi Mustafa Ahmad, Terjemah Tafsir Al-Maraghi,cv Toha Putra, Semarang, 1993.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Departemen Agama RI, Jakarta, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar