Satu
Namanya Dinda
Hembusan angin menderu, hari terasa
sedikit panas. Musim kemarau nampaknya akan segera datang. Ya, sekarang masuk
akhir bulan mei. Dimana setiap bulan mei adalah awal musim kemarau, karena
sudah siklus tahunan di negara tropis seperti Indonesia. Angin terus menderu,
udara terasa panas, pepohonan berkelibat terkena hembusan angin yang terus
menderu-deru.
Perkenalkan namaku Bima Choiri,
sahabat-sahabatku biasanya memanggil Bima. Sekarang aku duduk di kelas 5
Madrasah disebuah pondok pesantren yang cukup terkemuka di kab. Brebes, ya di
kota pengahasil bawang merah, dan telur asin itulah aku berada. Tepatnya
disebuah Desa kecil dilereng gunung slamet. Pesantren ku ini bernama al-Kautsar,
dimana pesantren tersebut menaungi beberapa lembaga pendidikan, mualai TK, MI,
SLTP, SLTA dan bahkan sampai perguruan tinggi.
Sekolah
ku tidak seperti sekolah pada umumnya. Kebanyakan sekolah yang ada di negara
tercinta kita, biasanya mengikuti kurikulum yang disamakan oleh pemerintah.
Begitu juga sekolah yang ada di al-Kautsar, tapi berbeda dengan sekolahku ini,
dimana mata pelajaran yang digunakan tidak sama dengan sekolah umunya. Sama
halnya dalam hal seragam. Karena sekolah ku semua muridnya tak bersepatu,
celana, dan seragam yang seperti biasanya dipake anak sekolahan, para muridnya memakai
sarung, sandal, peci dan baju taqwa. Ya, dari seragamnya pun kami berbeda
dengan yang lain.
Dalam
hal pelajaran yang diajarkan. Tak ada pelajaran umum, semua mata pelajarannya
dari kitab kuning, pelajarannya yaitu, kitab tauhid mulai
dari yang ringkas sampai kitab yang penjelasannya panjang lebar, kitab fiqh
dari matan sampai khasiah, begitu juga kitab sastra, dari
jurmiyah sampai al-fiyah, tafsir pun sama demikian dan masih banyak lagi kitab-kitab yang
digunakan.
Akhir bulan mei ini, sekolahku
mengadakan hataman kitab nahwu.
Dimana kitab ini berisikan bait-bait (nadham).
Acara hataman selalu diadakan setiap tahunnya. Yaitu untuk kelas 2 dengan nadham al-Imrity, dan kelas 5 dengan nadham al-Fiyah ibn Malik.
Acara
akan dimulai sekitar jam 3 sore, aku sebagai salah satu peserta, dimana
acaranya diadakan di halaman sekolah. Lantunan bait-bait syair nadhom al-Fiyah
ibn Malik berkumandang, dari muqadimah,
“Qala Muhammdun huwa ibn Maliki # Ahmadu
Rabbillaha khaira maliki,
musalian ‘ala nnabiyil mustafa # waalihi
mustakmilina syarafa”.
Lantunan bait-bait terus berkumandang, bab
demi bab telah dikumandangkan dengan begitu semangat. Tak terasa lantunan bait-bait yang jumlahnya ada 1002 bait hampir
selesai, kira-kira tinggal 12 bait lagi. Dan 12 bait itu akan kami lantunkan
setelah salat isya.
Acara
berjalan dengan khikmat, banyak pasang mata yang menyaksikan acara hataman, mulai dari wali murid,
masyarakat, tamu undangan dan para santri putra dan putri. Dari sekian
pengunjung ada satu pengunjung yang menjadi perhatianku. Dia duduk diteras
kelas bersama teman-temannya, hati ini terus bertanya-tanya siapa gerangan,
siapa gadis itu, aku bertanya-tanya sendiri.
Aku
hanya bisa memandangi si gadis berkerudung putih itu, wajahnya nampak
kearab-araban, hidungnya mancung, bola matanya agak besar, alisnya seperti
bulan sabit, dan kulitnya hitam manis. Tapi kalau dilukiskan dengan kata-kata
maka kata-kata itu tak sanggup tuk mewakilinya. sosok seperi gadis itu-lah yang
selama ini aku idam-idamkan. Aku terus memandanginya, karena hanya inilah yang
bisa aku lakukan.
Seiring
bergulirnya acara, ada sesi dimana gadis itu mendekat kedepan panggung, hati
ini tak karuan ketika gadis itu tak jauh dari aku. Ya, jarak kita Cuma beberapa
meter, dan kilatan cahaya kamerapun berkilat, dan juga terdengar suara kamera
“trek”. Ternyata gadis itu membidik temanku, hati yang bergetar ini tambah
melaju cepat getarannya, karena aku bisa memandangi gadis itu dengan lebih
dekat.
Acara
di lanjutkan setelah discor sekitar 1 setengah jam, untuk menunaikan salat
maghrib berjamaah. Setelah salat kami
menuju aula pesantren untuk menyatap hidangan makan malam, disaat makan malam
aku menghampiri temanku yang tadi di foto gadis kerudung putih itu.
“fa,
mau seng moto ente arane sapa?”
“yang
mana Bi”
“yang
pake kerudung putih, ciri-cirinya matanya belo, hidungnya mancung, itu-loh yang dari tadi
duduk di depan kelas kita”
Ihfa
menjawab “owh yang itu namanya Dinda Salsabila”, emang kenapa Bi? Naksir yah”
“enggelah
Cuma nanya aja ko” aku sambil berlalu dari hadapan Ihfa, sory fa aku mau
nyamperin Rifki dulu”
“ya
silahkan”
Aku
menuju pojok aula pesantren, sambil membayangkan gadis kerudung putih. Sambil
tersenyum kecil, dalam hati aku bergumam “oww namanya Dinda toh”.
Rifki
memanggilku “Bi kesini makan bareng disini”
“oke
Ki”
Ow
ya, kenalin nih sahabatku yang satu ini, namanya Muhammad Rifki. Dia anak yang
cerdas, teman sekelas memanggilnya dengan Profesor. Dia dijuluki profesor
karena kecerdasannya diatas rata-rata, dia selalu menjadi bintang kelas, dari
mulai kelas 2 sampai sekarang ini. Tentang hafalannya pun lancar banget. Beda
dengan aku, paling perstasi terbaiku waktu kelas 2, lumayan masuk 3 besar. Aku
dan Rifki masuk langsung kelas 2, tanpa merasakan kelas 1 terlebih dulu.
Sekolahku
ini mempunyai program 6 tahun, mulai dari kelas 1-6. Siswanya tidak seperti
umumnya, karena mulai dari lulusan SD/MI sampai lulusan SLTA semuanya diterima.
Kebetulan aku dan Rifki masuk setelah kita lulus dari SLTP. Jadi kita langsung
masuk kelas 2, kalau bisa dikatakan bahwa sekolahanku ini mempunyai program,
dimana kelas 1-3 itu setara dengan tingkat SLTP, dan 4-6 setara dengan SLTA.
Di
pojok aula pesantren aku dan Rifki ngobrol ngalor
ngidul, sampai tak terasa adzan isya
berkumandang di corong-corong menara masjid Jam’i. Kami berbondong-bondong
menuju masjid untuk melaksanakan salat isya berjamaah. Setelah selesai salat
acara yang tadi discor-pun dilanjutkan kembali.
Aku
sudah diatas panggung lagi untuk melanjutkan membacakan 12 bait yang tersisa.
Setalah selesai 12 bait tersebut acara dilanjutkan dengan mauidah hasanah yang disampaikan oleh syeh dari timur tengah, kali
ini kami kedatangan tamu agung.
Mataku
tak henti-hentinya mencari gadis berkerudung putih itu, yang ternyata namanya
Dinda. Mataku terus menelusuri setiap sudut tapi hasilnya sama ga ketemu juga.
Aku sedikit kecewa dengan keadaan, yah mungkin dia sudah kembali lagi keasrama
putri.
Acara
hataman-pun selesai dan kali ini acaranya sangat meriah. Jam menunjukan pukul
23:30, dan para pengujung sudah berkurang. Hilir mudik pengunjung tak ku
hiraukan, bayangan gadis itu selalu menggodaku, sepertinya aku merasakan ada
yang aneh, aku tak tau apa yang sedang melannda kalbu, aku hanya bisa
menuliskan rasa ini disecarik kertas.
“Gadis itu, seperti aku sering melihatnya
tapi entah dimana
Gadis itu,
sepertinya aku mengenalnya tapi entah dimana
Tiba-tiba dia
mengisi, tapi entah apa
Aku tak tau
dengan perasaan ini
Aku menjadi
asing
Aku tak tau
dengan keadaanku
Gadis
berkerudung putih itu terus mengiringi langkahku
Tapi aku tak
tau”
Setelah
sekian lama aku tak merasakan galau, sekarang aku merasakan lagi. Aku menjadi
sering bertanya-tanya dengan diriku sendiri, ada apa gerangan, ada apa dengan
perasaanku ini, aku masih sulit menafsirkan hatiku sendiri, begitu sulit dan
berat kurasakan. Memang benar ternyata, kesan pertama akan sulit tuk dilupa.
Aku sadar rasa ini hanya aku yang menanggung, aku hanya bisa merenung dengan
perasaan yang sulit di mengerti. Betapa berat beban menahan rasa, sulit di
gambarkan dan sulit pula diungkapkan.
Matahari
tampak malu-malu untuk menampakan diri. Perlahan dan pasti ia mulai menampakan
sedikit demi sedikit sinarnya untuk menerangi alam raya. Walau sedikit malu.
Pagi hari ini seperti biasa, seperti
hari-hari sebelumnya. Aktifitas dimulai dari pagi-pagi buta, dari berkokoknya
ayam aku sudah bersimpuh dihadapan Illahi. Sehabis shalat subuh kegiatan
harianku sudah terjadwal rapi. Mulai kajian tafsir dari jam 6:00 sampai 7:15,
jam 7:20 aku sudah harus ada dikelas sampai 13:00. Dengan beberapa materi yang
selalu disuguhkan oleh para ustadz. Jam 13:30 sampai jam 15:00 ini adalah jam
terbebasku di pesantren. Dan dari jam 15:00-22:00 inilah jam-jam terpadat.
Seperti
biasa sehabis subuh aku langkahkan kaki ini menuju rumah sahabat ku Rifki. Kami
berdua sudah lama ikut kajian tafsir. Kadang aku yang nyamperin Rifki dan
kadang sebaliknya. Kebetulan kali ini aku yang kerumah Rifki, aku melangkah
dengan hati galau. Aku ingin cepet bertemu Rifki dan menumpahkan kegalauan yang
terjadi akhir-akhir ini.
“Ki mangkat ngaji yuh”
aku memanggil Rifki dari jalan samping rumahnya.
Dari
dalam kamar Rifki menjawab “hayo”
“aku tunggu neng ngarep ya”
“oke Bi”
Selang
beberapa mennit nongol juga si Rifki
Aku
coba membuka percakapan disela-sela kita melangkah ke Masjid tempat aku dan
Rifki ikut kajian tafsir.
“
Ki ada yang mau aku ceritain”
“cerita
apa Bi, kayanya serius banget tuh muka”
“
iya Ki aku lagi sedikit galau”
“
Kenapa bisa galau Bi?, ada masalah apa sampai bisa galau segala”
Aku
melambatkan langkah sambil menghirup udara pagi yang segar, “gini Ki, kamu
masih inget pas kita hataman?”
“ya
ingetlah Bi, kan baru kemaren’’ emang ada hubungan apa antara hataman kita
dengan ke galauan kamu Bi?”
“ya
ada tapi bukan gara-gara hatamannya sih”
“terus
gara-gara apa Bi?”
“kemaren
pas kita di panggung aku liat gadis yang istimewa Ki”
“maksud
dari istemewa Bi?”
“ya,
gimana yah aku juga masih bingung Ki, tapi beda ketika aku liat gadis itu
dengan gadis-gadis lain. Rasanya ada yang aneh, entah apa rasa itu, tapi aku
dari kemaren terbayang terus akan parasnya”
“wah-wah
aku ngerti Bi maksud dari pembicaraan ini”
“emang
apa Ki?”
“kamu
itu lagi jatuh cinta, jatuh cinta pandangan pertama”
“ga,
ah Ki, orang Cuma lagi bingung aja ko”
“udah
Bi, ga papa, sah-sah aja kali orang jatuh cinta mah”
“masa
secepet itu Ki?”
“entar
lanjutin ceritanya ini sudah mau nyampe Bi”
“cepet
banget Ki, ga kaya biasanya”
Kita
berdua langsung dengan cepat masuk masjid, karena sebentar lagi kajian tafsir
jalailain akan dimulai. Sampai juga aku dan Rifki di barisan terdepan. Sebelum
kajian dimulai kami melantunkan asmaul
husna. Setelah bacaan asmaul husna
selesai, kajian-pun dimulai dengan bacaan ummul kitab.
Kali
ini Abah Yai
membahas syurat Yusuf yang menjelaskan betapa Zulaiha cinta akan seorang Yusuf. Dimana
Beliau membahas begitu detail dan sangat detail ayat 23 dan 24 surat Yusuf yang
artinya
“23.Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal
di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan Dia
menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini." Yusuf
berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan
aku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan
beruntung. 24. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan
itu) dengan Yusuf, dan Yusuf-pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu
andaikata Dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami
memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu
Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.
Bahwa
beliau menjelaskan jika cinta kepada lawan jenis tidak disertai dengan iman
yang kuat, maka yang terjadi hanyalah dosa. Menurut Beliau cinta adalah
kecondongan hati pada sesuatu, baik berupa wanita benda dan semua yang
menimbulkan rasa akan cinta. Beliau menjelaskan panjang lebar tentang ayat ke
23-24 dan hubungannya dengan cinta yang hak. Beliau juga menerangkan bahwa Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa Nabi
Yusuf a.s. punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu (Zulaikha), akan
tetapi godaan itu demikian besanya sehingga andaikata Dia tidak dikuatkan
dengan keimanan kepada Allah s.w.t tentu Dia jatuh ke dalam kemaksiatan.
Aku
teringat dengan pembahasan cinta oleh M. Qurish Shihab dalam bukunya lentera
al-Qur’an. Bahwa beliau mengaitkan cinta dengan benci, dimana ada suatu nasihat yang oleh para ulama dinilai
sebagai hadis Nabi Muhammad saw: “cintailah
kekasihmu secara wajar saja, siapa tahu
suatu ketika ia menjadi seterumu. Dan bencilah seterumu secara wajar
juga, siapa tahu suatu saat ia mennjadi kekasihmu. Nasihat ini ditunjukan
kepada manusisa, demikian juga kekasih dan seteru yang dimaksud. Manusia
memiliki kalbu, yang dalam bahasa aslinya berarti “bolak-balik”. Hati manusia
dinamai kalbu karena ia sering berubah-ubah, sesekali kekiri dan sesekali ke kanan.
Lebih
lanjut Beliau M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa cinta dan benci mengisi suatu
waktu, sedangkan waktu itu terus berlalu. Karenanya, cinta dan benci pun dapat
berlalu. Sebelum bercinta, seseorang merasa dirinya sesuatu yang “ada”. Tetapi
ketika bercinta, ia dapat merasa memiliki yang “ada” atau tidak menghiraukan
yang ada. Dan ketika cintanya putus, ia merasa “tidak ada” dan hampa.
Demikianlah cinta mempermainkan manusia.
Kali
ini semua tema tentang cinta, mulai dari kajian tafsir, buku yang aku baca,
semuanya bertemakan cinta. Apalagi puisi-puisi dari Khalil Gibran semuanya
tentang cinta. Cinta tema yang tak pernah mati, dan tak akan pernah habis, dari
dulu hingga sekarang, cinta masih menjadi pembahasan yang menarik.
Aku
sadar dari ingatanku tentang cinta dan benci menurut M. Quraish Shihab.
Ternyata aku masih dalam suasana kajian tafsir, dan sebentar lagi kajian akan
segera selesai, walaupun masih banyak pembahsan tapi waktu yang tak cukup, dan
pembahasannya akan dilanjutkan pada kajian tafsir selanjutnya. Jam menunjukan
jam 7:05, kajian tafsir pada pagi ini pun ditutup dengan ummul kitab
(al-fatihah) dan bacaan do’a penutup majlis.
Dua
Kasak-kusuk
Hari
seakan-akan menjadi sangat panjang, padahal hari dari dulu begitu-begitu saja,
tak ada yang panjang dan yang pendek. Semua hari sama 24 jam, tapi kali ini aku
merasakan betapa panjang hari-hariku ini. Mungkinkah semua karena ada kegalauan
dalam hidupku kali ini, ataukah hanya perasaan yang sedang tak menentu yang
menjadikan hari sepanjang ini, entahlah.
Aku
terus teringat saat-saat aku menatap matanya. Mata yang hitam dan sedikit agak
lebar, aku tergoda dengan tatapan itu, aku terlena dibuatnya. Aku ingin
mengenalnya, aku ingin gadis itu mengenalku. Dan aku ingin kita saling
mengenal, saling tau dan saling mengerti.
Setelah
aku tau namanya, walaupun aku belum secara langsung memperkenalkan diri kepada
gadis yang bernama Dinda, tapi namanya sudah sering aku sebut dalam lamunanku,
dalam kegalauanku dan dalam setiap malamku. Aku benar-benar telah menjadikan
namanya selalu ada dalam ingatan. Aku tau keadaan ini bukan milik aku dan Dinda,
tapi hanya aku yang merasakan, aku yang menanggung, dan hanya aku yang tau.
Beberapa
hari setelah kajadian itu, dimana aku terkena cinta pandangan pertama, diam-diam
aku sering mencuri dengar kasak kusuk yang terjadi dikelas. Baru aku tau gadis
berkerudung putih itu ternyata satu angkatan denganku. Dinda ternyata satu
angkatan. Aku dan Dinda satu reting, tetapi kita beda kelas dan beda sekolah,
tapi aku dan Dinda sering mengikuti kajian yang sama. Kelas dan sekolah kita
berbeda tapi ada kalanya kita satu kelas dan satu mata pelajaran. Ya, setiap
satu minggu, dua hari kita satu kelas. Berarti
lamunanku benar adanya. Aku sering melihat tapi entah dimana, sekarang terbayar
sudah, aku tau dia, setiap aku dan Dia ada pelajaran gabungan. Yah dia ternyata
Dinda.
Kemana
selama ini kamu Bi?, aku bergumam dalam hati. Aku tak menyalahkan diri sendiri,
tapi aku hanya bertanya-tanya kenapa tidak dari dulu kenapa baru sekarang.
Inilah rahasia hati sulit tuk dimengerti, karena mungkin baru kali ini aku
sadar bahwa ada gadis yang bernama Dinda, padahal sudah 2 tahun pelajaran bareng.
Aku baru sadar ada gadis satu angkatan yang seperti Dinda.
Aku
bertekad ingin lebih tau Dinda, aku mencari tau dan aku sedikit tau dari kasak
kusuk dikelas. Dan apesnya dari kasak kusuk itu aku mendengar bahwa Dinda suka
sama temanku. Kasak kusuk ini semakin hari semakin menjadi. Setiap aku masuk
kelas yang aku dengar berita tentang Dinda yang suka sama temanku, setiap aku
dengar kasak kusuk ini semakin aku pesimis dan lemah. Mungkinkah cintaku tak
akan disambut. Pertanyaan ini sering muncul, pertanyaan yang seharusnya tak
perlu ditanyakan, pertanyaan yang pasti semua orang tau jawabannya. “Tapi hati yang
terdalam mengatakan bahwa Dinda masih sendiri, dan bahwa Dinda pasti kenal yang
namanya Bima Choiri keyakinan inilah yang membuat sedikit optimis.”
Setelah
aku mendengar, langit terasa mendung, mungkin mewakili keadaanku dan langit tau
hatiku berawan gelap. Aku tak tau dengan keadaanku sendiri. Aku bertanya-tanya
kenapa aku merasakannya, rasa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, rasa
yang tak bisa diukur dengan alat pengukur, rasa yang tak mengerti dengan rasa
itu sendiri. Begitu pelikkah rasa yang sedang ku tanggung ini, sampai-sampai
aku sendiri tak tau dengan rasa ini.
Tak
terasa aku jadi sering memikirkannya, aku diam-diam sering mencari informasi
tentang gadis itu, ya walaupun hasilnya sama, karena aku tak mendapatkan
informasi. Seiring berjalannya waktu, aku semakin gelisah, gelisah yang tak
menentu. Kegelisahan yang tak berujung dan tak bertuan. Aku merasakan yang
seharusnya tak kurasakan, karena rasa ini begitu pelik tuk di artikan.
Malam-malam
penuh gelisah kini menghapiri aku bertubi-tubi, aku lemah karena aku ingin
mengenal dinda, tapi semakin aku menginginkanya semakin sadar bahwa
kesempatanku mengenalnya sedikit. Disinilah rasa pesimis sering merasuk dalam
sanubari hati yang terkena api asmara. Tapi ada sedikit rasa optimis ketika hati
yang terdalam mengatakan bahwa Dinda masih sendiri, dan bahwa Dinda pasti kenal
yang namanya Bima Choiri keyakinan inilah yang terus muncul ketika pesimis
menghampiri.”
Dinda bagiku kau
istimewa
Kau datang
disaat yang istimewa
Dinda kau tak
akan tau kau menjadi yang istimewa
Kau mampu untuk
menjadi istimewa
Dinda namamu
selalu istimewa.
Angin
malam-pun membawa aku dalam kedinginan. Dingin melanda tubuhku, aku coba
memejamkan mata semakin aku memejamkan mata, semakin sulit terpejam. Mata ini terus memandangi langit-langit tanpa
mau berkedip. Dan entah kenapa di langit-langit itu tergambar sesosok gadis
berkerudung putih Dinda, aku semakin tak tau tentang ini semua. Setelah
berjam-jam mata mulai merasakan berat
dan lama-lama terpejam juga.
Tiga
Lewat Facebook Aku Mengenal Dinda
Lantunan
ayat suci terdengar merdu, menambah keheningan sepertiga malam, disebuah
pesantren di bukit gunung Slamet. Pesantren yang berdiri sekitar 100 tahun yang
lalu. Pesantren yang telah meluluskan beribu-ribu alumnus. Pesantren salaf yang
berefolusi menjadi pesantren modern. Pesantren al-Kautsar namanya, disinilah
setiap hari aku menimba ilmu.
Disinilah
aku mencari harapan untuk menambah rasa syukur kepada sang Khalik Allah SWT. Di
Al-Kautsar-lah aku berada. Ayat suci al-Qur’an terus berkumandang di
corong-corong sepeker pesantren. Ayat demi ayat berlalu dengan keindahan Qori’
melantunkannya. Baik Qori’ luar
negri maupun Qori’ dalam negri
seperti KH. Muamar ZA.
Keheningan
pagi di pesantren menyejukan setiap santri yang sedang mengadu dengan do’a-do’a
kepada sang Illahi Rabbi. Do’a yang oleh Allah akan dikabulkan sesuai dengan
firmannya.
Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Menurut
Alexis Carrel seorang ahli bedah Prancis yang meraih dua kali Nobel, menegaskan
bahwa keguanaan do’a dapat dibuktikan secara ilmiah sama kuatnya dengan
pembuktian dibidang fisika. Oliver Lodge secara halus menyidir orang yang tak
melihat manfaat do’a: “kekeliruan mereka, karena menduga bahwa do’a berada
diluar fenomena alam. Do’a harus diperhitungkan sebagaimana memperhitungkan
sebab-sebab lain yang dapat melahirkan suatu peristiwa.” Inilah penjelasan
tentang manfaat do’a. Aku ingat ini dari bukunya M. Qraish Shihab.
Lebih
husus Allah berfirman dalam Qur’an surat al Isra ayat 79 tentang keutamaan
salat tahujud, dimana dalam salat tahajud terdapat keistimewaan yang agung
sehingga Allah akan memberikan kehormatan dan kedudukan disisinya yang terpuji.
Dan
pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah
tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.
Setiap
sepertiga malam, di pesantren al-Kautsar ada beberapa santri yang tekun mengadu
pada Illahi. Mengadu dengan hati penuh harapan akan ridha-Nya, harapan untuk terus
diberikan nikmat iman, Islam, dan ihsan. Tak jarang linangan air mata menetes
tanpa ada komando. Air mata penyesalan akan dosa-dosa dan air mata keharuan.
Inilah suasana sepertiga malam di al-Kautsar.
Adzan
subuh berkumandang, tanda panggilan untuk seluruh Muslimin, tanpa terkecuali,
baik yang muda maupun yang tua. Kumandang adzan begitu merdu dan menggetarkan
hati setiap muslim yang mendengarkannya, dan mengiyakan seruan untuk meraih
kemenangan dan menunaikan salat berjamaah.
Sudah
rutinitas di sebuah pesantren, setelah salat subuh para santri membentuk
kelompok untuk belajar baca al-Qur’an pada para ustadz. Aku pun termasuk yang
ada dikelompok kajian baca al-Qur’an. Sekitar satu jam kami para santri belajar
baca al-Qur’an dengan fasih. Kajian baca al-Qur’an-pun selesai, setelah kajian
baca al-Qur’an, para santri mempunyai waktu bebas untuk menyiapkan keperluan
sekolah dan makan pagi. Ada juga yang mengikuti kajian tafsir, dan kajian
tafsir ini tidak diwajibkan jadi kajian tafsir hanya untuk yang ingin menambah
wawasan lebih tentang kandungan al-Qur’an.
Tak
terasa liburan akan tiba. Sekarang adalah akhir kegiatan rutinitas pesantren.
Ya, seperti biasa pesantren meliburkan para santri setahun dua kali. Libur naik
kelas dan libur akhir Ramadhan. Rencana libur kenaikan kelas pun mulai aku
susun. Aku ingin liburan kali ini, berlibur sambil terus belajar, tidak hanya
liburan semata dan juga tidak hanya belajar saja. Kalau kata pepatah sih,
sambil berenang minum air.
Karena
libur sebentar lagi, maka pesantren memberikan kelonggaran para santri. Kali
ini aku meluangkan kelonggaran ini untuk pergi ke warnet mencari informasi dan
mencari refrensi untuk mengisi liburan ku kali ini. Aku ke warnet bareng Eri,
aku minta diajari buat email dan cara browsing, maklum di Pesantren tidak
diperkenankan membawa barang elektronik. Setelah aku dan Eri diwarnet aku coba
dengan mulai mengoprasikan komputer dan aku pun lagi-lagi masih gaptek.
Dengan
sabar Eri mengajari aku komputer, ya walau hanya untuk internet dan buat email.
“begini
Bi, kalau mau internetan” Eri menunjukan bagaimana cara internetan yang dia
tau, “buka Mozilla Firefox, terus ketik aja google dari keyboard, kemudian
ketik email, kalau kamu mau buat email”
“terus
setelah itu gimana Ri”, aku coba bertanya sedikit tentang internet, yang aku
kurang memahami.
Dengan
sabar Eri mencoba memberikan sedikit ilmu internetnya, dan tak begitu lama
bagiku untuk bisa memahami cara internetan.
“Bi,
kamu sudah punya facebook belum”
“belum
Ri, kamu tau sendiri aku baru kali ini ke warnet”
“ow,
tau ga Bi temen-temen kelas sudah banyak yang punya facebook lo”
“kamu
ko tau Ri ?, emang kamu sudah punya”
“sudah
Bi, sekitar sebulan yang lalu aku punya akun facebook”
“temen-temen
kita yang sudah punya siapa saja?”, aku sambil berharap semoga Dinda juga punya
akun facebook
“banyak
Bi, ni liat aja sendiri,” Eri memperlihatkan akun facebooknya kepadaku dan
siapa saja yang sudah punya akun facebook. Aku dengan teliti membaca nama-nama
teman dari akun facebook Eri, dan aku menemukan akun yang aku harapkan tadi, ya
aku menemukan akun Dinda. Di akun itu tertuliskan nama Dinda Salsabila, aku
memperhatikan nama itu dan aku minta Eri untuk membuka profilnya.
Baru
pertama kalinya aku memandangi Dinda, dia membuatku semakin tak menentu. Raut
wajah yang sudah lama menghantui setiap lagkahku, setiap malam-malam ku, raut
wajah yang dihiasi dengan mata sedikit lebar, hidung kecil dan mancung, alis
bulan sabit, dan aku tidak bisa lagi mengungkapkannya dengan kata-kata, karena aku
sadar, aku telah terkena mantra cinta. Dan aku pandangi raut wajah itu tanpa
rela sedikit-pun untuk mengedipkan mata. Aku baru sadar ketika Eri menepuk
pundak-ku.
“kenapa
Bi ko dipandangi terus, apa ada yang aneh?”
“ya
Cuma pengen tau aja Ri, salah tah kalau aku liat profilnya terus?”
“salah-lah
katanya mau buat email, kan kalau buat email harus masuk lagi ke gmail atau
yahoo, kamu mau yang mana Bi” Eri terus melanjutkan pendapatnya tentang email. “Kalau
aku sih pake yahoo Bi, temen kita juga
kebanyakan pake yahoo Bi, dan aku juga bisanya Cuma yang email yahoo aja
Bi”
“aku
hanya mengangguk, ya maklum aku belum tau mana yang lebih bagus dan mana yang
kurang bagus,
Eri
terus buka halaman baru untuk masuk ke yahoo, dengan kemampuan pas-pasannya Eri
membuatkan email untukku. Eri terus tanya padaku
“Bi,
mau pake naman asli atau samaran”
“nama
asli aja Ri”, Eri terus berselancar lagi, menekan keyboard dengan sangat pelan.
Dan beberapa menit alamat emailku jadi, Eri terus menyarankanku untuk langsung
buat facebook, dan aku-pun setuju saja, karena aku juga pengen punya Facebook,
biar keliatan tau komputer dan internet, kan ga keliatan gaptek bangetlah.
Akun
facebook ku mulai di garap Eri dengan sedikit teliti, ya menurut aku sih dia
teliti, dari kolom satu ke kolom yang lain, dari huruf satu ke huruf lain.
Inilah pertama kalinya aku masuk ke warnet dan buat akun facebook, itupun Eri
yang buat akun ku. Setelah mengisi biodata dan sebagainya yang berkaitan dengan
membuat facebook selesai, kini jadilah sudah akun facebook dengan namaku
sendiri, ya aku enggan pake nama samaran, kan niatnnya mau cari pertemanan yang
banyak, jadi aku memilih nama asli saja.
Kini
aku punya akun facebook, ya walaupun aku awalnya masih bingung tapi dengan
sabar Eri membantuku, dan mengajariku cara menggunakan akun ku. Aku jadi ingat
buku Habits dari Felix, dalam buku itu dijelaskan bahwa kebiasaan akan
menjadikan kita tau dan mahir, misalkan ketika pertama kita naik sepeda kita
tak akan langsung bisa, tapi kita memerlukan waktu untuk menaikinya, dan waktu
yang kita butuhkan pun tidak sebentar. Dalam buku itu juga di katakan bahwa
seseorang yang menginginkan sesuatu untuk menjadikan ia terbiasa, maka orang
itu butuh 30 hari untuk bisa melakukan hal yang sama tanpa harus memikirkan terlbih
dahulu, inilah habits. Apa ada hubungannya dengan akun facebook ku, ya sedikit
bisa dihubungkan. Aku kan punya akun facebook, dan ini baru pertama kalinya aku
membuatnya, jadi maklum kalau aku masih belum bisa menggunakannya, dan kalau
aku mau lancar menggunkan akun facebook ku butuh waktu 30 hari berturut-turut
agar bisa dan menimbulkan kebiasaan, entahlah ini Cuma angan-anganku saja
kebetulan aku inget tentang penjelasan habits dari Felix, dan itu sedikit
menghiburku yang belum bisa menggunakan facebook.
Lama
aku mencoba akun baru, pertama terasa begitu sulit dan membingungkan, tapi
dengan kesabaran dan ketekukan serta arahan dari sahabatku Eri, lambat tapi
pasti aku mulai mengerti cara menggunakan akun facebook. Dan aku pun mencari
teman-taman ku yang sudah mempunyai akun terlebih dahulu, katanya sih sudah
banyak temanku yang punya akun facebook, maklum zaman sudah berganti dan
teknologi-pun semakin canggih. Aku tak mau ketinggalan, sekarang aku mengikuti
tren anak remaja masa kini yaitu mempunyai facebook.
Dengan
arahan Eri, aku meminta pertemanan dengan beberapa teman kelasku, tak
ketinggalan juga dengan Dinda, gadis yang selama ini menemani langkahku dan
membayangi setiap tidurku. Alasanku menggunakan akun facebook-pun karena aku
pernah dengar dari kasak-kusuk dikelas bahwa Dinda mempunyai akun facbook. Aku
meminta pertemanan kepada akun yang bernama Dinda salsabila. Tak terasa sudah
satu jam aku di dalam warnet bersama Eri, akhirnya kami pun melangkah menuju
penjaga warnet:
“Mas,
sudah selesai”, Eri mengatakan kepada penjaga warnet, dan penjaga warnet itu
mengecek apa yang tertulis di komputer yang ada didepannya.
“tiga
ribu mas” jawab si penjaga warnet, aku mengambil uang disaku dan memberikannya,
“uangnya pas yah”, dengan sedikit melangkahkan kaki kami hampir bersamaan
menjawab “Iya mas”.
Sudah
tiga hari berlalu setelah aku membuat akun facebook dan meminta pertemanan
dengan Dinda, tiga hari itu juga aku sedikit merasakan ketegangan yang aku pun
lagi-lagi tak tahu kenapa dan karena apa. Dan tepat tiga hari setelah kewarnet
pesantren libur selama satu bulan, rencana liburan pesantren kali ini aku sudah
putuskan untuk tidak pulang kampung halaman, aku berencana liburan kali ini
diisi dengan kegiatan yang bermanfaat. Ya, liburan kali ini aku ingin berlibur
sambil belajar, lama aku merenungkan untuk merealisasikan keinginanku. Dan aku
mencoba mencari tahu dan meminta pendapat sahabat-sahabatku, semoga sahabatku
ada yang mempunyai refrensi untuk liburanku kali ini, berlibur sambil belajar.
Dari
beberapa sahabat yang aku minta pendapatnya rata-rata menganjurkan aku ke
kampung Inggris, dengan argumen yang cukup membuat hatiku terkesima dan
tertarik. Ya, di kampung Inggris aku bisa berlibur sambil belajar. Kenapa aku
memilih liburan kali ini dengan berlibur sambil belajar, karena aku inget satu
hadis Nabi yang artinya kurang lebih “carilah ilmu dari ayunan sampai liang
lahat”, inilah pemicu semngat belajarku.
Setelah
yakin liburan kali ini ke kampung Inggris, lalu aku mencari informasi tentang
keadaan kampung Inggris tersebut. Aku tanya ke salah satu teman kelas yang
pernah menetap disana selama tiga bulan, dari obrolan yang tak terlalu lama aku
bisa menyimpulkan bahwa sangat tepat kalau liburanku kali ini di kampung
Inggris. Ada salah satu sahabat ku yang menyarankan untuk mencari informasi di
internet, dan usulan ini mengingatkanku pada tiga hari yang lalu, dimana aku
meminta pertemanan dengan Dinda. Tanpa pikir panjang aku melangkahkan kaki kewarnet,
kali ini aku mencoba sendiri. Aku menuju penjaga warnet,
“mas
masih ada yang kosong”, aku bertanya pada penjaga warnet dan si mas penjaga
warnet dengan sigap mencari ruangan yang kosong melalui monitor yang ada di
depannya,
“ada
mas, nomor 12 masih kosong”, setelah menunjukan nomor 12 itu mas penjaga
kembali disibukan dengan mous dan monitornya lagi,
“terimakasih
mas”, aku menuju nomor yang dimaksud mas penjaga tadi.
Aku
coba mempraktikkan ilmu menyalakan komputer dan ilmu internet yang aku terima
dari sahabatku Eri. Baru kali ini aku kewarnet sendiri, pertama aku bingung,
aku sedikit lupa dan perlahan ingatan itu muncul. Aku inget Eri kemaren ngmong
“kalau mau nyalain komputer tinggal pencet tombol power yang ada di cpu”, aku
masih ingat mana cpu dan mana monitor. “Terus setelah itu tunggu sampai muncul
gambar, biasanya kalau mau internetan kelik tabel. Biasannya tabel itu di sudut
kanan atas atau kiri bawah, lalu klik presonal kalau kamu mau internetan.” Itulah
yang Eri ajarkan ke aku.
Jari
jemari perlahan menekan tombol yang ada huruf-hurufnya, mulai dari qwerty
itulah keyboard, dan sekarang aku coba untuk menekan huruf demi huruf untuk
bisa menjadi satu kata google. Ya, aku
teringat ketika Eri mengajariku cara internetan. Dan setelah didalam layar
telah tertuliskan google, aku kembali menekan beberapa tombol, dan yang
kutilaskan kali ini yaitu “belajar bahasa di kampung Inggris”, dan dalam waktu
sekejap telah muncul beberapa kata kunci yang aku cari. Setealah aku rasa cukup
dengan informasi yang ada di beberapa wabsait dan bloog. kemudian aku
berselancar lagi, tapi kali ini aku beralih dengan membuka akun facebook yang
kemaren aku buat.
Tiba-tiba
badan ini terasa gemetar tak menentu, aku kebingungan sendiri. Dalam hati aku
bergumam “apa yang terjadi padaku kali ini kenapa badan ini terasa lemas dan
gemetar, ada apa ini?”, pertanyaan hatiku terus menjadi-jadi, aneh kenapa aku
bisa gemetar. Dan akun facebook ku sekarang telah ku buka, aku memandangi dan
mengarahkan krusor kegambar bola dunia, di situ ada beberapa pemberitahuan.
Tanpa ragu lagi aku buka pemberitahuan itu, aku mengharapkan gadis yang
akhir-akhir ini terus membayangi langkahku, gadis yang selalu ada disetiap
mimpiku, gadis yang tak pernah pergi dari lamunanku, menerima permintaan teman
yang telah aku kirimkan tiga hari yang lalu.
Harapan
kini tinggal harapan belaka, sudah berulang kali aku baca pemberitahuan di akun
facebook, dari atas kebawah dan dari bawah keatas hasilnya sama, hasilnya
membuat hati ini begitu kecewa, hasilnya memang hampa, dan hasil itulah yang
aku terima. Gadis itu belum juga menerima permintaan pertemananku, gadis itu
belum bisa menjadi teman diakun facbook ku, padahal aku mengharapkan gadis
itulah yang pertama menjadi temanku. Padahal harapan itu sangatlah besar,
harapan itu yang selama tiga hari ini aku nanti. Dan harapan kini tinggal
harapan.
Dengan
rasa kecewa aku keluar dari akun facebook. Aku matikan komputer, aku bangkit
dari depan monitor, aku langkahkan kaki ini dengan sedikit muram karena tak
sesuai harapan.
Rasa
kecewa telah menghapiri batinku, kecewa karena menantikan sebuah harapan. Aku
tak ingin berlarut dalam kekecewaan yang timbul karena harapan, aku harus
bangkit dan menatap kedepan dengan positif. Aku yakin kali ini mungkin bukan
waktunya aku bisa mengenal gadis berkerudung putih Dinda, walaupun hanya
sekedar lewat akun facebook. Tapi aku yakin suatu saat nanti bukan hanya lewat
facebook aku mengenal Dinda, bukan hanya sekedar dunia maya. Karena entah
kenapa hati ini sangat yakin bahwa aku akan mengenal Dinda, dan Dinda
mengenalku. Inilah keyakinan yang selalu muncul dalam batinku.
Lewat facebook
aku mengenalmu Dinda
Mengenal tanpa
dikenal
Lewat facebook
aku menyapamu Dinda
Menyapa dengan
sejuta senyum
Karena hanya senyumlah
yang aku bisa
Lewat facebook
aku memandangi keindahan matamu, senuymmu, dan keelokan parasmu Dinda
Karena hanya
inilah yang aku mampu
Dinda aku ingin
mengenalmu meski
hanya lewat dunia maya
Lewat facebook
aku mengenal Dinda
Perkenalan
ku dengan Dinda bukan saling mengenal, karena akulah yang mengenalnya meski
lewat akunnya. Karena selama ini hanya akulah yang mempunyai rasa itu, akulah
yang inginkan Dinda dan akulah yang terpesona olehnya.
Empat
Perjalanan ke Kampung Inggris
Suara
kereta membuyarkan lamunanku, tak terasa aku sekarang sudah di Setasiun Bumiayu,
Setasiun kereta yang terletak di selatan Kab. Brebes. Di Setasiun ini aku tidak
sendirian, banyak sekali lalu lalang para penumpang. Mereka hilir mudik
berganti orang. Aku duduk disebelah timur Setasiun bersama seorang kawan,
menunggu kereta yang akan membawaku ke kampung Inggris. Kampung dimana aku akan
menghabiskan liburan kali ini. Liburan yang sudah lama aku idam-idamkan,
belajar sambil berlibur.
Kereta
yang akan membawaku ke kampung Inggris akhirnya datang juga. Kereta gaya baru
malam namanya, kereta ekonomi yang sarat akan penumpang. Aku bergegas memasuki
gerebong, aku terkejut ketika melihat isi gerebong yang penuh penumpang,
dimana-mana disudut kereta sudah terisi penuh oleh penumpang berbagai tujuan.
Kursi kereta sudah terisi penuh, di bagian lorong antara satu tempat duduk
dengan tempat duduk lain juga sama terisi juga, di pemisah gerebong sudah rapat
akan penumpang. Beginilah potret kereta ekonomi yang laris manis diserbu
penumpang. Karena harga tiket murahlah yang dicari para penumpang kelas
menengah bawah.
Aku
berdiri dipemisah kursi, hilir mudik pedagang asongan-pun menjadikan kereta
gaya baru malam ini seperti pasar. Berbagai barang dagangan ditawarkan, mulai
dari makanan, minuman, buah tangan, alat tulis, dan berbagai macam makanan khas
dimana kereta ini singgah, serta masih banyak lagi dagangan yang mereka jajakan
di dalam kereta.
Selain
pedagang asongan, para pengamen-pun menjajakan suara khasnya. Suara pas-pasan yang
mengharapkan uluran tangan sang dermawan ala kadarnya. Koin demi koin
dikumpulkan untuk menyambung hidup, hidup di Negara tercinta. Mereka para
pengamen berdalih bahwa kegiatan meminta-mintanya karena lapangan kerja sulit
dan sempit, padahal kalau kita ingat satu hadis Nabi yang menjelaskan bahwa
orang yang meminta-minta maka kelak di akhirat tidak mempunyai muka. Dan ada
juga hadis yang sangat populer yaitu lebih baik tangan diatas dari pada tangan
dibawah, artinya bahwa kita harus memberi bukan menerima. Tapi inilah keadaan
di Negara tercinta Indonesia, dimana para peminta masih marak dimana-mana.
Suasana
kereta ekonomi memang tak bisa di ungkapkan dengan kata-kata, hanya ada satu
kata yang bisa mengungkapkan kondisi kereta ekonomi, yaitu semrawud,
inilah trasportasi masal yang ada, inilah potret kemiskinan di Negera kita.
Sudah
sekitar satu jam perjalanan aku masih berdiri, kaki mulai merasa pegal-pegal
agaknya mau keram. Aku sedikit menggerakan kaki yang sedari tadi untuk tumpuan
tubuh yang membawa bebaban. Rasa sakit itu sedikit berkurang, dengan sedikit
gerakan maju mundur dan menyamping.
Aku
tidaklah sendiri berlibur di kampung Inggris, aku bersama seorang kawan, dia
bernama Choirus. Ya, namanya agak aneh gitu tapi orangnya baik ko. Kita
berangkat dari pesantren kira-kira jam 16:30 WIB. Pesantren kita beda, tapi
kita satu kelas. Sebelum berangkat kesetasiun aku dan Choir mempersiapkan semua
keperluan selama dikampung Inggris, ada beberapa potong pakain yang dibawa.
Perjalanan
menuju setasiun kereta kira-kira 30 menit. Aku dan Choir mencari angkot yang
menuju ke arah setasiun, kita menunggu angkot di makbaroh.
Sambil menunggu angkot kita ngobrol, pertama sih soal pelajaran yang habis di
ujikan kemaren. Dan obrolan itu terus berlanjut, dari arah timur nampak angkot
yang kita tunggu.
“Bi,
angkotnya sudah
ada tuh”, sambil mengacungkan jarinya Choir menunjukan angkot yang hanya
kelihatan bagian depannya.
“mana
Choir?,” aku mencari-cari, pandangan mataku mengikuti telunjuk Choir
“itu
Bi masa kamu belum liat, keliatan depannya aja sih”
“ow
itu yah,” angkot semakin mendekat pada tempat kita berdiri, dan akhirnya sampai
dihadapan kita. Tanpa basa-basi aku dan Choir naik angkot tujuan setasiun.
Didalam angkot kita tak hanya berdua, sudah ada beberapa penumpang lain, berbagai
tujuan yang disinggahi angkot. Aku masih asik ngobrol, dan tak terasa kita
sudah hampir sampai di Setasiun.
“Kiri pak” aku dan Choir hampir
bersamaan, kita keluar dari angkot dan
tak lupa membayar ongkos.
“Berapa pak?” sambil mengambil uang di dompet,
“berdua empat ribu mas”,
Aku ambil uang
pas empat ribu dan memberikannya pada sopir angkot, setelah membayar angkot,
aku dan Choir langsung jalan kaki dari jalanraya ke setasiun. Jarak antara
jalanraya dan setasiun kira-kira 300 meter, jadi dengan jalan kaki-pun tak
masalah.
Sampai juga di setasiun kereta Bumiayu, aku dan Choir
langsung menuju loket untuk membeli tiket, untuk kami melangkah ke kampung
Inggris. Antrian di loket cukup panjang, karena bulan ini adalah musim libur,
jadi berbeda dengan hari-hari biasa. Banyak penumpang berbagai tujuan mengantri
di depan loket untuk membeli tiket berbagai tujuan di pulau jawa.
Akhirnya giliran aku didepan loket. “Bu, setasiun
Jombang dua”, aku melanjutkan pertanyaan sedikit, harganya pertiket berapa Bu”.
Dengan sigap penjaga loket memberi tahu harga tiket ke
Jombang, “satunya 32.000 mas, kalau dua 64.000, lanjut penjaga loket sambil
meminta KTP aku dan Choir”.
Tiket sudah ada digenggaman, sekarang waktunya
menunggu kereta gaya baru malam tujuan Jakarta Surabaya. Dalam tiket tertulis
TANPA TEMPAT DUDUK, dan jadwal kedatangan kereta dari Jakarta ditiket
tertulisakan jam 17:36. Sekarang masih jam 17:00 bararti kami menunggu sekitar setengah
jam, aku dan Choir menuju tempat duduk sebelah timur setasiun.
Ternyata benar apa yang ada dan tertuliskan di tiket
TANPA TEMPAT DUDUK, aku baru tahu bahwa kereta ekonomi ini begitu ramai oleh
penumpang, pedagang asongan dan para pengamen. Sudah sekitar satu jam aku
berdiri di lorong pemisah antara kursi penumpang, kaki yang keram perlahan
sembuh setelah beberapa ayunan untuk melemaskan. Tiba-tiba dari arah belakang
ada ayunan tangan menepuk pundak.
“Bi cari kursi kosong” aku menoleh kebalakang dan aku
meng iyakan ajakan Choir
“ayo, ow ya sebentar lagi kan sampai setasiun
Purwokerto mungkin ada penumpang turun” lanjut aku sambil melangkahkan kaki
kearah depan, kebetulan aku dan Choir di gerbong bagian belakang.
Aku langkahkan kaki dari gerbong satu ke grebong lain,
mataku menyisir dari satu kursi ke kursi lain, berbagai posisi para penumpang aku
tangkap, ada yang duduk dengan sedikit nyaman, ada yang duduk berhimpitan dan
ada juga yang tiduran di kolong kursi dengan beralaskan beberapa lembar Koran
bekas. Koran-koran yang sedari tadi dijajakan ternyata berfungsi untuk alas
tempat duduk bahkan untuk alas tubuh. Betapa memprihatinkannya transportasi
umum yang melebihi kapasitas dan terus dipaksa mengangkut penmpang.
Setasiun Purwokerto, tak seperti yang aku bayangkan
dan aku harapkan. Ternyata di setasiun Purwokerto penumpang yang turun dari
kereta dan naik lebih banyak yang naik, alamat kursi sedari tadi aku
idam-idamkan tak bisa aku raih, kursi yang akan mengurangi beban tubuh sudah
dipastikan tak ada. Disinilah aku belajar sabar, karena kesabaran akan membawa
kita kepada keimanan, sebagaimana apa yang sering kita dengar “assabru minal
iman”, kesabaran sebagian dari iman.
Setasiun Purwokerto-pun sudah berlalu, aku dan Choir masih
berdiri, langkah kaki terhenti setelah beberapa gerebong kita lalui.
“Bi”, panggil Choir sambil meletakan tas ransel yang
sedari tadi menempel dipundak. Tas berisi beberapa potong pakaian itu telah
memberikan beban untuk Choir.
“iya Choir” aku menengok kearah Choir,
“Bi aku mau kedepan mau cari kursi yang kosong, kam
disini aja nunggu tas aku, nanti kalau sudah dapat kursi aku kesini lagi”.
“Ok, aku tunggu disini yah jangan kelamaan”, dengan
perlahan Choir menyibak kerumunan penumpang, langkah demi langkah. akhirnya
tubuh Choir sudah tertelan kerumunan penumpang kereta gaya baru malam yang
sarat akan penumpang.
Lama aku menunggu. Tiba-tiba HP aku berbunyi tanda SMS
masuk, “Bi ke gerbong depan ada dua tempat duduk nih tapi masih ada orangnya
katanya sih mau turun di stasiun Kebumen, kamu kesini aja sama bawa tas aku”.
Aku balas SMS dari Choir “OK”.
Aku langkahkan kaki ini menuju gerbong depan, ransel
aku gendong dan aku jinjing. Tubuhku terbebani dua ransel yang menempel sedari
tadi, aku ambil HP dari saku celana, “Choir kamu digerbong berapa?”. Sambil
melangkahkan kaki ini aku kirim SMS ke Choir.
HP berbunyi “aku ada di gerbong kedua dari gerbong
tadi”, SMS Choir masuk.
Berat kaki ini tuk melangkah, beban yang ada di badan
terasa berat, tapi demi tempat duduk aku langkhkan kaki ini. Dari gerbong
kerata satu ke gerbong lain terasa lama, ya karena untuk melangkahpun harus
menyibak kerumunan penumpang lain, kerta ekonomi ini bagiku tak nyaman. Mungkin
bukan hanya aku yang merasakan ketidak nyamanan pelayan pulblik ini.
Untuk sampai ke gerbong depan aku mebutuhkan waktu 20
menit. 20 menit yang melelahkan, 20 menit yang menguras tenaga. Inilah
kenyataan yang harus aku rasakan. Al-hamdulillah akhirnya sampai juga di
gerbong depan, gerbong harapan, gerbong yang akan mengurangi beban. Lambaian
tangan-pun kini Nampak sudah, “Bi disini” Choir menunjukan tempat duduk yang
masih ada orangnya.
Langkahku kini terasa ringan dengan sedikit harapan,
harapan untuk bisa duduk, harapan untuk bisa istirahat, harapan untuk menghilangkan
rasa lelah. Satu dua langkah untuk sampai di tempat duduk itu, tempat duduk
yang lama aku nanti.
Aku turunkan tas dari punggung ini, aku letakan tas di
tempat yang telah disediakan, karena tempat tas ada yang kosang, berbeda dengan
keadaan gerbong di belakang, di gerbog ini tak sepadat dan tak seramai
gerbong-gerbong sebelumnya. Walaupun banyak penumpang tapi tak terlalu sumpek.
Beban telah sedikit berkurang, badan-pun terasa lebih
ringan setelah tas aku letakan. Sekarang aku dan Choir duduk dilorong antara
kursi penumpang, aku masih menunggu tempat duduk, aku masih belum merasakan
tempat duduk, karena tempat duduk itu masih ada penumpang lain, aku dan Choir
harus menunggu sampai setasiun Kebumen, aku kali ini belajar lebih sabar lagi
untuk merasakan tempat duduk.
“kira-kira berapa jam lagi yah sampai kesetasiun
Kebumen” tanyaku pada Choir,
“kata penumpang tadi sih setengah jam Bi” sambung
Choir sambil menyenderkan tubuhnya di samping kursi penumpang
“lama juga yah”
“ya lumayan sih, dari pada kita berdiri tarus mending
nunggu disini, ya walaupun agak lama sih”, lanjut Choir
“sekarang dimana Choir, perasaan kereta sudah lama
jalan dari setasiun Purwokerto”, aku sambil memandangi jendela kereta yang
gelap, hanya ada sedikit cahaya berkelibat, dari rumah penduduk.
“ya sabar aja dulu Bi, nanti juga kalau sudah dekat
pasti ada informasi dari masinis”.
Setelah menunggu sekian lama akhirnya sampailah kereta
di stasiun Kebumen, setasiun harapan. Penumpang tujuan akhir Stasiun Kebumen
perlahan menuruni kereta Gaya Baru Malam, Nampak dari mereka tersenyum karena
sudah sampai tujuan dan ada juga yang dengan secepat kilat menuruni kereta
sambil lari-lari kecil menuju kamar kecil disudut Stasiun.
Akhirnya aku bisa duduk untuk meringankan beban, akhir dari penantian yang panjang untuk
merasakan duduk dikursi kereta. Tak terasa, mata mulai sedikit berat, rasa kantuk kini melanda ku. Hanya beberapa
menit saja setelah merasakan tempat duduk mataku terpejam sudah.
Beberapa Setasiun telah terlewati. kini kereta yang
aku naiki sudah ada di Setasiun Jombang. Di Setasiun inilah aku dan Choir akan
berlabuh, berlabuh menuju Kampung Inggris.
lima
Alun-alun Jombang
Udara dingin
menyambut pagi, sejuk aku rasakan. Pagi ini berbeda dengan pagi biasanya,
karena pagi ini aku ada diluar pesantren al-Kautsar. Sekitar pukul 2:00 WIB aku
sampai di Stasiun Jombang, setasiun persinggahan untuk mencapai tujuan.
Perjalanan Hati di Kota Kediri
Enam
Jum’at yang Mendebarkan
Tujuh
Simpang Siur
Delapan
Senin 12-7-2010
Sembilan
Penjara Suci
Sepuluh
Senyum Pagi
Sebelas
Mukenah
Duabelas